THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 07 Maret 2011

Pendidikan Jasmani Untuk Tuna Netra

PENDIDIKAN JASMANI TUNANETRA

Definisi Tunanetra

Pertuni (2004) mendefinisikan tunanetra sebagian dari mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas)“.

Definisi ini menyiratkan bahwa terdapat dua kelompok orang tunanetra berdasarkan sisa kemampuan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa. Kelompok pertama adalah mereka yang tidak memiliki sama sekali kemampuan untuk membaca tulisan biasa sehingga memerlukan media lain seperti Braille atau audio. Kelompok ini selanjutnya kita sebut tunanetra berat. Kelompok kedua adalah mereka yang masih memiliki kemampuan visual untuk membaca tulisan biasa dengan adaptasi tertentu. Adaptasi itu mencakup pembesaran huruf menjadi sekurang-kurangnya 18 point, atau penggunaan alat-alat magnifikasi (kaca pembesar atau CCTV). Karena status penglihatannya sering kali tidak stabil atau tidak dapat difungsikan untuk waktu yang cukup lama, maka kelompok ini juga perlu belajar membaca dengan format lain. Kelompok ini selanjutnya kita sebut tunanetra ringan atau low vision.

Untuk mengatasi kehilangan atau keterbatasan penglihatan guna melakukan kegiatan sehari-harinya, orang tunanetra sering harus melakukan kegiatan itu dengan cara alternatif. Teknik alternatif adalah cara khusus (baik dengan ataupun tanpa alat bantu khusus) yang memanfaatkan indera-indera nonvisual atau sisa indera penglihatan untuk melakukan suatu kegiatan yang normalnya dilakukan dengan indera penglihatan. Karena begitu banyak teknik alternatif yang harus digunakannya, maka pola kehidupannya pun menjadi berubah, berbeda dari orang pada umumnya. Oleh karena itu, Jernigan (1994) mendefinisikan ketunanetraan sebagai berikut: “An individual may properly be said to be "blind" or a "blind person" when he has to devise so many alternative techniques - that is, if he is to function efficiently - that his pattern of daily living is substantially altered.”

A. Ketunanetraan dan Kognisi

Kognisi adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan obyek tergantung pada bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam dunia kognitifnya, dan citra atau "peta" dunia setiap orang itu bersifat individual. Setiap orang mempunyai citra dunianya masing-masing karena citra tersebut merupakan produk yang ditentukan oleh faktor-faktor berikut: (1) lingkungan fisik dan sosialnya, (2) struktur fisiologisnya, (3) keinginan dan tujuannya, dan (4) pengalaman-pengalaman masa lalunya (Krech, Crutchfield, & Ballachey, 1982). Lebih jauh Krech et al. mengemukakan bahwa meskipun tidak ada dua orang yang memiliki konsepsi yang persis sama mengenai dunia ini, tetapi terdapat banyak fitur yang sama dalam citra semua orang mengenai dunia ini. Hal ini terjadi karena semua orang mempunyai sistem syaraf yang serupa, karena semua orang menggunakan "ungkapan rasa" tertentu secara sama, dan karena semua orang harus menghadapi persoalan tertentu yang mirip. Dunia kognitif anggota suatu kelompok budaya tertentu bahkan memiliki tingkat kesamaan yang lebih besar karena adanya tingkat kesamaan yang lebih besar dalam keinginan dan tujuannya, dalam lingkungan fisik dan sosialnya, dan dalam pengalaman belajarnya.

Dari keempat faktor yang menentukan kognisi individu sebagaimana dikemukakan oleh Krech et al. di atas, individu tunanetra menyandang kelainan dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkunganya. Banyak di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsepsi mereka tentang dunia ini sejauh tertentu mungkin berbeda dari konsepsi orang awas pada umumnya.

Perbedaan penting antara perkembangan konsep anak tunanetra dan anak awas – khususnya untuk konsep obyek fisik - adalah bahwa anak tunanetra mengembangkan konsepnya terutama melalui pengalaman taktual sedangkan anak awas melalui pengalaman visual. Lowenfeld (Hallahan & Kauffman, 1991) mengidentifikasi dua jenis persepsi taktual, yaitu synthetic touch dan analytic touch. Perabaan sintetis mengacu pada eksplorasi taktual terhadap obyek yang cukup kecil untuk dicakup oleh satu atau kedua belah tangan. Bila obyek itu terlalu besar untuk dapat dipersepsi melalui perabaan sintetis, maka dipergunakan perabaan analitis. Perabaan analitis adalah kegiatan meraba bagian-bagian suatu obyek secara suksesif dan kemudian secara mental mengkonstruksikan bagian-bagian tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh. Orang awas dapat mempersepsi bermacam-macam obyek atau bagian-bagian dari satu obyek sekaligus, tetapi orang tunanetra harus mempersepsinya satu demi satu atau bagian demi bagian sebelum dapat mengintegrasikannya menjadi satu konsep.

Satu perbedaan penting lainnya antara perabaan dan penglihatan adalah bahwa perabaan menuntut jauh lebih banyak upaya sadar untuk memfungsikannya. Sebagaimana diamati oleh Lowenfeld (Hallahan & Kauffman, 1991), indera perabaan pada umumnya hanya berfungsi bila aktif dipergunakan untuk keperluan kognisi, sedangkan penglihatan aktif dan berfungsi selama mata terbuka. Oleh karena itu, untuk memperkaya kognisinya, anak tunanetra harus sering didorong untuk mempergunakan indera perabaannya untuk keperluan kognisi. Akan tetapi, di dalam masyarakat kita, di mana obyek-obyek tertentu ditabukan untuk diraba, dorongan untuk mempergunakan indera perabaan itu sering harus dibatasi demi menghindari perilaku yang bertentangan dengan norma-norma sosial.

Baiknya persepsi taktual, sebagaimana halnya dengan baiknya persepsi visual, tergantung pada kemampuan individu untuk menggunakan berbagai macam strategi dalam memperolehnya (Berla; Griffin & Gerber – dalam Hallahan & Kauffman, 1991). Anak tunanetra yang membandingkan antara pensil dan penggaris, misalnya, dengan menggunakan bermacam-macam strategi seperti membandingkan panjang masing-masing obyek itu dengan lengannya, dan mendengarkan perbedaan bunyinya bila obyek-obyek itu diketuk-ketukkan ke meja, akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang persamaan dan perbedaan antara kedua obyek tersebut. Satu strategi umum yang sangat penting untuk pengembangan persepsi taktual adalah kemampuan untuk memfokuskan eksplorasi pada fitur-fitur stimulus terpenting – yaitu bagian-bagian yang merupakan ciri khas dari obyek itu (Davidson – dalam Hallahan & Kauffman, 1991). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin dini anak tunanetra dilatih dalam penggunaan strategi ini, akan semakin baik perkembangan konsep taktualnya (Berla - dalam Hallahan & Kauffman, 1991).

Seberapa besar perbedaannya dari anak awas, perkembangan konsep anak tunanetra itu akan sangat tergantung pada dua faktor, yaitu tingkat ketunanetraannya dan usia terjadinya ketunanetraan itu (Hallahan & Kauffman, 1991). Anak yang berkesempatan memperoleh pengalaman visual sebelum menjadi tunanetra, sejauh tertentu akan dapat memanfaatkannya untuk memahami konsep-konsep baru. Anak yang tunanetra sejak lahir pada umumnya akan lebih bergantung pada indera taktualnya untuk belajar tentang lingkungannya daripada mereka yang ketunanetraannya terjadi kemudian. Demikian pula, anak yang buta total akan lebih bergantung pada indera taktual untuk pengembangan konsepnya daripada mereka yang masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional (low vision).


B. Ketunanetraan dan Inteligensi

Apakah ketunanetraan berdampak terhadap inteligensi? Kolk dan Tillman (Kingsley, 1999) menarik kesimpulan yang berbeda. Kolk mengkaji sejumlah hasil studi mengenai inteligensi anak-anak tunanetra dan menyimpulkan bahwa pada umumnya skor IQ rata-rata tidak berbeda secara signifikan antara anak tunanetra dan anak awas. Akan tetapi, Tillman menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan. Dengan menggunakan skala verbal WISC (the Wechsler Intelligence Scale for Children), Tillman melaporkan skor IQ rata-rata 92 untuk 110 anak tunanetra usia 7 13 tahun, dibandingkan dengan 96,5 untuk kelompok kontrol yang awas. Tillman menganalisis hasil dari masing-masing item tes dan menemukan bahwa anak-anak yang awas lebih tinggi daripada anak-anak yang tunanetra dalam item tes pemahaman dan tugas-tugas yang menuntut anak untuk menemukan persamaan di antara item-item yang disajikan; tidak ada perbedaan antara anak yang tunanetra dan anak yang awas dalam skala informasi, aritmetika dan kosa kata; tetapi anak tunanetra dapat lebih baik dibanding anak yang awas dalam pengerjaan soal-soal yang menggunakan rentangan bilangan 1-10. Penjelasan yang dikemukakan oleh Tillman untuk perbedaan-perbedaan itu adalah bahwa anak-anak tunanetra kurang mampu mengintegrasikan semua jenis fakta yang sudah mereka pelajari, sehingga masing-masing item informasi itu seolah-olah disimpan dalam kerangka acuan yang terpisah dari item lainnya. Anak-anak yang tunanetra tidak mengalami kesulitan dalam item-item yang menuntut informasi/pengetahuan umum, seperti item-item dalam skala aritmetika dan kosa kata, tetapi mereka mengalami kesulitan dalam item-item seperti pada tes pemahaman atau penilaian tentang persamaan antarobyek, yang menuntut anak menghubungkan berbagai macam item informasi. Seolah-olah semua pengalaman pendidikan anak tunanetra itu disimpan di dalam ruangan yang terpisah-pisah. Jika hal ini benar, maka dapat disimpulkan bahwa, untuk pembentukan persepsi, penglihatan memfasilitasi anak untuk menghubungkan pengalaman-pengalaman yang berbeda-beda, hubungan yang membantunya dalam memanfaatkan berbagai pengalamannya secara efektif.

Perbedaan temuan di atas mungkin diakibatkan oleh hakikat jenis tes yang dipergunakan untuk kelompok anak tunanetra dan kelompok anak awas. Pelopor dalam pembuatan tes inteligensi bagi individu tunanetra adalah Samuel P. Hayes (Hallahan & Kauffman, 1991). Hayes mengambil item-item verbal dari tes inteligensi Stanford-Binet untuk mengukur inteligensi individu tunanetra. Rasionalnya adalah bahwa item-item tersebut seyogyanya merefleksikan secara tepat inteligensi orang tunanetra karena item-item tersebut tidak begitu bergantung pada penglihatan seperti item-item pada performance test. Tes lain yang dirancang khusus bagi individu tunanetra adalah The Blind Learning Aptitude Test (BLAT), yang merupakan performance test, yang dirancang oleh Newland (Hallahan & Kauffman, 1991). Salah satu fiturnya adalah bahwa tes tersebut mengukur indera taktual (perabaan) - satu kemampuan yang dibutuhkan untuk membaca Braille.

Baik dengan menggunakan tes verbal ataupun tes kinerja, kita harus sangat berhati-hati dalam membandingkan inteligensi individu tunanetra dan individu awas. Warren (Hallahan & Kauffman, 1991) mengemukakan bahwa hampir tidak mungkin kita dapat membandingkan secara langsung antara kedua kelompok tersebut karena sangat sulit untuk mendapatkan alat ukur yang sebanding. Menggunakan tes verbal tidak benar-benar memuaskan karena banyak ahli berpendapat bahwa inteligensi terdiri lebih dari sekedar fasilitas verbal. Menuntut individu awas untuk menggunakan indera perabaannya dan tidak menggunakan indera penglihatannya dalam mengerjakan tes taktual juga tidak adil, karena mereka tidak terbiasa dengan itu. Oleh karena itu, akan bijaksana bila temuan-temuan di atas disimpulkan bahwa sekurang-kurangnya ketunanetraan tidak secara otomatis membuat inteligensi orang menjadi lebih rendah, sebagaimana dikemukakan oleh Hallahan & Kauffman (1991:309), "... there is no reason to believe that blindness results in lower intelligence."

Secara keseluruhan, Lowenfeld (Mason & McCall, 1999) mengemukakan bahwa ketunanetraan mengakibatkan tiga keterbatasan yang serius pada kemampuan individu, dan, pada gilirannya, sangat berdampak pada perkembangan fungsi kognitif. Ketiga keterbatasan tersebut adalah: (1) keterbatasan dalam sebaran dan jenis pengalaman; (2) keterbatasan dalam kemampuan untuk bergerak di dalam lingkungan; dan (3) keterbatasan dalam interaksi dengan lingkungan. Akan tetapi, Kingsley (1999) mengemukakan bahwa tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa keterbatasan-keterbatasan akibat hilangnya penglihatan ini juga membatasi potensi. Ini berarti bahwa dengan intervensi yang tepat, yang dapat meminimalkan keterbatasan-keterbatasan itu – sebagaimana telah banyak dibuktikan (Beadles et al., 2000; Jindal-Snape et al., 1998)- potensi kognitif anak tunanetra itu dapat berkembang secara lebih baik. Bahwa kognisi anak tunanetra berbeda dengan kognisi anak awas pada umumnya, itu memang merupakan hakikat dari kognisi yang bersifat individual. Apakah dunia kognitif anak tunanetra lebih miskin daripada anak awas? Itu memerlukan penelitian lebih lanjut, dan tergantung pada alat ukur yang dipergunakan, karena, sebagaimana dikemukakan oleh Krech, Crutchfield, & Ballachey (1982), kognisi individu itu diorganisasikannya secara selektif. Hanya obyek-obyek tertentu, di antara semua obyek yang ada di "luar sana", yang masuk ke dalam konsepsinya tentang dunia luar, dan karakteristik obyek-obyek tersebut dapat berubah, disesuaikan dengan tuntutan psikologisnya. “The cognitive map of the individual is not, then, a photographic representation of the physical world; it is, rather, a partial, personal construction in which certain objects, selected out by the individual for a major role, are perceived in an individual manner” (Krech, Crutchfield, & Ballachey, 1982:20). Ini berarti bahwa seorang anak tunanetra mungkin miskin dengan konsep-konsep tertentu tetapi kaya dengan konsep-konsep lain – sesuai dengan selektivitasnya.

C. Ketunanetraan dan Perkembangan Bahasa Anak

Pada umumnya para ahli yakin bahwa kehilangan penglihatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan memahami dan menggunakan bahasa, dan secara umum mereka berkesimpulan bahwa tidak terdapat defisiensi dalam bahasa anak tunanetra (Hallahan & Kauffman, 1991; Kingsley, 1999; Umstead, 1975; Zabel, 1982). Mereka mengacu pada banyak studi yang menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak berbeda dari siswa-siswa yang awas dalam hasil tes intelegensi verbal. Mereka juga mengemukakan bahwa berbagai studi yang membandingkan anak-anak tunanetra dan awas tidak menemukan perbedaan dalam aspek-aspek utama perkembangan bahasa. Karena persepsi auditer lebih berperan daripada persepsi visual sebagai media belajar bahasa, maka tidaklah mengherankan bila berbagai studi telah menemukan bahwa anak tunanetra relatif tidak terhambat dalam fungsi bahasanya. Banyak anak tunanetra bahkan lebih termotivasi daripada anak awas untuk menggunakan bahasa karena bahasa merupakan saluran utama komunikasinya dengan orang lain.



Satu defisiensi yang oleh beberapa peneliti ditemukan pada bahasa anak tunanetra – tetapi dibantah oleh beberapa peneliti lain (Zabel, 1982) adalah tingginya kadar verbalisme pada bahasa mereka, yaitu penggunaan kata-kata tanpa diverifikasi dengan pengalaman konkret. Verbalisme ini, menurut DeMott (Umstead, 1975), secara konseptual sama bagi anak tunanetra maupun anak awas, karena makna kata-kata dipelajarinya melalui konteksnya dan penggunaanya di dalam bahasa. Sebagaimana halnya dengan semua anak, anak tunanetra belajar kata-kata yang didengarnya meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan pengalaman nyata dan tak ada maknanya baginya.

Penelitian tentang perkembangan bahasa dan bicara pada anak balita tunanetra dan awas yang dilakukan oleh Umstead (Umstead, 1975) menghasilkan temuan-temuan sebagai berikut. Anak tunanetra dan anak awas melalui proses yang sama dalam caranya belajar bahasa dan bicara. Kaidah dasar bahasa sudah dikuasai oleh kedua kelompok anak ini sebelum usia empat tahun. Sebagaimana halnya dengan semua anak, jika anak tunanetra mengalami kelambatan dalam perkembangan fisiknya, proses perolehan bahasanya pun akan lebih lambat pula. Pada awal perkembangan bicaranya, beberapa anak tunanetra menunjukkan kelambatan, mungkin karena anak-anak ini tidak dapat mengamati gerakan bibir dan mulut orang lain. Terbatasnya cara belajar mereka melalui pendengaran tanpa masukan visual itu tampaknya mengurangi efisiensi perkembangan bicaranya tetapi tidak mengakibatkan kesulitan yang signifikan. Kurangnya stimulasi vokal dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan bicara. Jika bayi atau anak tunanetra tidak diajak bicara dan tidak diperlakukan dengan kasih sayang, maka perkembangan bicaranya secara umum akan terhambat. Banyak anak tunanetra lambat dalam pertumbuhan kosa katanya, tetapi ini tampaknya terkait dengan cara orang dewasa memperlakukannya. Pertumbuhan kosa katanya itu akan normal jika anak itu diberi pengalaman konkret dengan obyek yang sama dan dilibatkan dalam kegiatan yang sama sehingga mereka dapat turut melibatkan diri dalam percakapan mengenai kegiatan tersebut.

Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa kalaupun anak tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata akibat langsung dari ketunanetraannya melainkan terkait dengan cara orang lain memperlakukannya. Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan informasi ataupun pemahaman kaidah-kaidah bahasa.



Penyebab dan Gejala-Gejala

Gejala-gejala neuritis optik adalah jika ditemukan satu atau lebih gejala berikut ini:

penglihatan kabur
bintik/bercak buta, terutama pertengahan lapang pandang
nyeri saat pergerakkan bola mata
sakit kepala
buta warna mendadak
gangguan penglihatan pada malam hari
gangguan ketajaman penglihata
Neuritis optik sering diakibatkan oleh penyakit sklerosis multipel. Penyebab lainnya adalah infeksi virus, jamur, ensefalomielitis, penyakit-penyakit otoimun atau tumor yang menekan saraf penglihatan atau penyakit-penyakit pembuluh darah (misalnya radang arteri temporal). Beberapa bahan kimia beracun seperti metanol dan timah hitam dapat menyebabkan kerusakkan saraf optik. Kerusakkan saraf optik dapat juga dikarenakan penyalahgunaan alkohol dan rokok. Neuritis optik dapat juga disebabkan karena gangguan sistem kekebalan tubuh.



Diagnosis

Dokter mata akan memeriksa mata penderita dan menentukan diagnosis neuritis optik. Pemeriksaan mata lengkap termasuk pemeriksaan ketajaman penglihatan, pemeriksaan buta warna serta pemeriksaan retina dan diskus optik dengan menggunakan oftalmoskop. Tanda-tanda klinis seperti gangguan reaksi pupil jelas terlihat selama pemeriksaan mata tetapi pada beberapa keadaan mata terlihat normal. Riwayat medis penderita dapat digunakan untuk mengetahui apakah pernah terpapar/kontak dengan bahan-bahan beracun seperti timah hitam yang dapat menyebabkan neuritis optik.

Pemeriksaan lebih lanjut dengan menggunakan MRI (magnetic resonance imaging) diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Dengan MRI dapat dibuktikan tanda-tanda sklerosis multipel.



Terapi

Pengobatan neuritis optik tergantung pada penyebab yang mendasarinya. Gangguan penglihatan yang disebabkan infeksi virus akan membaik sendiri setelah diberikan pengobatan terhadap virus. Neuritis optik yang disebabkan bahan-bahan beracun dapat diatasi bila sumber-sumber/kontak dengan racun dihindari.

Pemberian kortikosteroid suntikan yang dilanjutkan dengan pemberian oral pada penderita neuritis optik akibat sklerosis multipel sangat cepat memperbaiki penglihatan penderita, tetapi masih diperdebatkan penggunaanya untuk mencegah kekambuhan. Terapi Percobaan Neuritis Optik menunjukkan bahwa steroid yang diberikan dengan suntikkan intravena efektif untuk mengurangi serangan neuritis optik akibat penyakit sklerosis multipel hingga 2 tahun, tetapi perlu penelitian lebih lanjut. Prednison yang diberikan secara oral tampaknya dapat meningkatkan serangan berulang neuritis optik sehingga terapi ini tidak dianjurkan.

Pencegahan

Gangguan penglihatan yang disebabkan karena neuritis optik biasanya bersifat sementara. Remisi (penyembuhan) spontan terjadi dalam dua hingga lima minggu. Saat masa pemulihan, 65% - 80% ketajaman penglihatan penderita menjadi lebih baik. Prognosis jangka panjang tergantung pada penyebab yang mendasarinya. Jika serangan ini ditimbulkan oleh infeksi virus maka akan mengalami penyembuhan sendiri tanpa meninggalkan efek samping. Jika neuritis optik dipicu oleh sklerosis multipel, maka serangan berikutnya harus dihindari. Tigapuluh tiga persen penderita neuritis optik akan kambuh dalam lima tahun. Tiap kekambuhan menyebabkan pemulihannya tidak sempurna bahkan memperburuk penglihatan seseorang. Ada hubungan yang kuat antara neuritis optik dengan sklerosis multipel. Pada orang yang tidak mengalami sklerosis multipel maka separuh dari mereka yang mengalami gangguan penglihatan akibat neuritis optik akan menderita penyakit ini dalam 15 tahun.

Ruang Lingkup Pendidikan Jasmani Tunanetra

Pendidikan jasmani merupakan salah satu mata pelajaran yang sama pentingnya dengan mata pelajaran lain di sekolah dasar dan sekolah luar biasa. Adapun ruang lingkup dan tujuan pembelajaran pendidikan jasmani tersebut di samping meningkatkan keterampilan gerak dasar juga meningkatkan kesegaran jasmani dan kesehatan serta terapi/rehabilitasi terhadap siswa penyandang cacat/berkelainan. Pendidikan jasmani merupakan pendidikan secara keseluruhan /komprehensif artinya pendidikan untuk Jasmani dan pendidikan melalui jasmani. Hal ini dimaksudkan bahwa pendidikan Jasmani itu untuk meningkatkan kesehatan tubuh dan juga merupakan pendidikan yang merangsang perkembangan personalia/kepribadian siswa meliputi: pengembangan kognitif, afektif, psikomotor, dan sosial-emosional.

Menurut Noerbai, (2000:7) menyebutkan ruang lingkup pendidikan jasmani adalah gagasan pemikiran sebagai hasil kegiatan fisik, mental, emosional, dan yang terjadi dari pengorganisasian program yang difokuskan pada kegiatan fisik untuk mencapai tujuan. Tujuan ini akan dapat dicapai bila pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah luar biasa dilaksanakan dengan efektif. Ini dimaksudkan bahwa semua anak dalam pembelajaran merasa tertarik, senang dan gembira untuk mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani.

Ruang lingkup pendidikan jasmani pada sekolah luar biasa adalah memacu pertumbuhan dan perkembangan jasmani, mental, emosional, sosial dan bersifat terapi atau rehabilitasi bagi siswa penyandang cacat.

Secara umum jenis-jenis kegiatan yang diajarkan siswa penyandang cacat/tunanetra meliputi

1. Kegiatan pokok, terdiri atas:

a. Pengembangan kemampuan Jasmani (PKJ)

b. Atletik

c. Senam

d. Permainan

2. Kegiatan pilihan, terdiri atas:

a. Pencak silat

b. Renang;

c. Bulu tangkis:

d. Tenis meja

e. Sepak takraw

f. Permainan tradisional

Modifikasi Pendidikan jasmani Tunanetra di SLB

Pengertian modifikasi olahraga dalam pendidikan jasmani bagi penyandang cacat tidak menunjuk pada salah satu metodologi, model, alat tertentu, dan pengajaran tertentu, namun ia merujuk pada berbagai keterampilan mengajar yang diadaptasi secara baik dan benar oleh guru Dikjas bersangkutan. Dengan derrdkdan dalam pendekatan modifikasi tidak mengubah materi tertentu tetapi disesuaikan dengan kebutuhan (special need physical education) bagi Siswa penyandang cacat. Modifikasi yang diterapkan terhadap siswa tunanetra meliputi: Sport modification. Modifikasi olahraga ini meliputi alat olahraga, metode dan gerak. Hal ini dimaksudkan agar pemberian materi dengan mengutamakan pendekatan suasana bergembira (enjoy and happy) dalam mengikuti gerak aktivitas dalam pendidikan jasmani. (Soepartono dan Isrianto, 1998: 12). Dengan rasa senang tersebut maka aktivitas gerakan tanpa disadari akan meningkat dengan baik. Siswa penyandang cacat dapat tumbuh berkembang menjadi manusia yang sehat, senang percaya diri sehat jasmani dan rohani. (Haag,1978:51).

Pengertian modifikasi olahraga dalam dikjas adalah bentuk layanan adaptasi/penyesuaian aktifitas pendidikan jasmani dengan siswa penyandang cacat. Layanan ini tidak hanya sakedar menunjuk pada salah satu alat atau metode tertentu, akan tetapi lebih dari itu menunjuk pada berbagai keterampilan pengajaran dikjas, agar pelaksanaan/implementasi terhadap kurikulum dikjas di SLB lebih intensif dan efektif. Pembelajaran tradisional tetap masih dilaks-anakan sesuai dengan keadaan di daerah yang berbeda-beda. Pembelajaran tradisional dan modern masing-masing terdapat kelebihan dan kecocokan dengan daerah setempat yang berbeda-beda.

Namun mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendekatan modern diterapkan untuk memudahkan pelaksanaan pembelajaran dalam mencapai tujuan. Meskipun demikian model tradisional hingga saat ini tetap terdapat banyak pangsa pasar yang tetap digunakannya, khususnya di derah-daerah terpencil/pedalaman

Pendekatan baru yang popular saat ini adalah pendekatan modifikasi. Konsep pembelajaran dengan mengunakan modifikasi akan lebih mengutamakan unsur kegembiraan dengan tidak meninggalkan tujuan pendidikan. Sebagai mana dinyatakan oleh (Mutohir, 1996:6, Indahwati, Darmawan, Suroto, Pudjijuniarto, dan Ferianto, 1998: 57, Soepartono, dan lsrianto, 1998: 12) bahwa penekanan utama dalam pembelajaran dengan modifikasi adalah suatu strategi untuk membuat anak menjadi senang-gembira dalam mengikuti berbagai aktifitas gerak.

Tabel 6.1

Perbedaan. Pendekatan Pembelajaran Tradisional .dengan

Pendekatan Modifikas dalam Pendidikan jasmani

(Diadop dari : Indahwati, dkk. 1998:61)

Traditional Aproach
Sport Modification Approach

- Teacher Oriented
- Student Centered

- Linear (Unilateral
- Multilateral

- Invareant (monotony
- Variant

- Sport Based
- Modified Sport Based


Dengan demikian tingkat keterlibatan dan intensitas gerak dasar anak menjadi optimal- Akhirnya tujuan pembelajaran dapat dicapai dan diwujudkan melalui kegiatan pengajaran dengan perencanaan yang matang(Noebai. 2000:15).

Modifikasi pembelajaran (Irztructional modification), disebutkan. oleh Annarino, Cowell, and Hazelton, (1980:332) untuk siswa penyandang cacat dijelaskan bahwa dengan keterbatasan tingkat partisipasi penyandang cacat, serta tuntutan-tuntutan khusus, padanya, baik dalam program pendidikan jasmani regular maupun khusus, memerlukan modifikasi dan penyesuaian strategi pengajarannya. Pemahaman guru Dikjas di SLB, sering melihat bahwa suatu materi dikjas kurang cocok bagi semua siswa, khususnya bagi penyandang cacat, perlu dimodifikasi. Untuk itu materi pembelajaran disesuaikan pada kebutuhan siswa, ambisi, perasaan, tujuan dan kemampuan serta keterbatasan individu, khususnya para penyandang cacat buta.



Aktivitas-aktivitas yang dimodifikasi untuk ekualitas (keseimbangan) partisipasi siswa penyandang cacat Fait & Dunn, (1984), dengan teknik:

1. Mengurangi durasi aktivitas.

2. Mengubah aturan untuk ekualitas partisipasi.

3. Menyesuaikan tinggi net basket, bulutangkis, pingpong, dan bola volly dari standart

4 Memperpendek jarak.

5. Menggunakan tipe tanda yang berbeda.

6. Menggunakan pasangan, kelompok atau obyek (kawat, tali, kayu, pegangan).

7. Meminimalkan aktivitas kontak.

8. Membatasi luas area permainan.

9. Menambah atau mengurangi ukuran obyek permainan.

10. Menambah area ukuran area sasaran.

11. Meminimalkan penggunaan aktivitas tipe eliminasi (Minimiz¬ing the ufe of elimination-type activities).

Ini hanyalah sebagian contoh untuk modifikasi teknik pengajaran Dikjas. Kondisi siswa ponyandano, cacat sangat bervareasi/berbeda akan menuntut adanya adaptasi dan modifikasi yang lebih spesifik. Guru dikjas yang kreatif dan sensitif akan menyadari kapasitas dan keterbatasan. anak-anak penyandang cacat, yang kemungkinan mereka tidak dapat berpartisipasi secara penuh dalam aktivitas pendidikan Jasmani. Tanpa adanya adaptasi atau modifikasi agar tercapai kepuasan atau kesenangan dalam partisipasi dalam pendidikan Jasmani, maka tujuan pembelajaran dikjas siswa penyandang cacat tidak efektif dan efisien, sehingga kualitas pengajaran tidak optimal. Soepartono dan Isrianto, (1998:12) menyebutkan pendekatan tradisional yang selama ini digunakan dalam pembelajaran Dikjas di sekolah-sekolah sudah harus diganti dengan pendekatan baru misalnya:"pendekatan sport modification dalam pelaksanaan Dikjas (Physical Education)". KBM dalam pendekatan ini ditekankan pada menciptakan suasana agar siswa senang dan gembira (enjoy and happy) dalam mengikuti berbagai aktivitas gerak dengan dernikian tanpa disadari terjadi pengalaman dasar gerak mereka meningkat. Dengan demikian mereka mendapatkan pengalaman gerak dasar, perkembangan keterampilan gerak, pernahaman dan sikap positif siswa terhadap gerak. Selanjutnya akan terns meningkat yang nantinya kelak akan menjadi manusia dewasa yang sehat jasmani rohani, segar bugar serta berkepribadian yang rnantap (Australian Sport Cornnilsion, 1993).

Layanan Dikjas bagi siswa penyandang cacat dengan fasilitas alat dan lapangan yang standart bukanlah merupakan tuntutan yang mutlak, bahkan akan menyulitkan satu kondisi cacat dengan cacat lainya. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa dengan. pendekatan modifikasi dan individual dapat meningkatkan partisipasi mereka sehingga kualitas pembelajaran meningkat (Soepartono dan Isrianto, 1998:13; Indahwati, Darmawan, G., Suroto, Pudjijuniarto, dan Ferianto, (1998). Misalnya lapangan 40 X 40 m untuk Jalan cepat dan lari yang disiapkan oleh guru.

Hakekatnya pembelajaran pendidikan Jasmani untuk membuat rasa senang, gembira, dan sejahtera melalui gerak aktivitas Jasmani.. (Zeigler, 1977:61) Australian Sport Commission, (1993) menyebutkan bahwa tujuan pendidikan Jasmani dengan dasar keterampilan gerak, pemahaman, dan sikap yang positif terhadap pendidikan Jasmani, diharapkan kelak akan menjadi manusia dewasa yang sehat dan segar Jasmani dan rohani serta kepribadian yang mantap (Soepartono dan Isrianto, 1998:12, Bucher, 1995:72)

Pelaksanaan pendidikan jasmani yang dilaksanakan saat ini berpedoman pada Lesson Plan, yaitu pada setiap pokok bahasan dikembangkan dengan tahapan-tahapan. Tahapan tersebut di antaranya:

a)tahap pendahuluan dan pemanasan,

b) tahap pengembangan keterampilan,

c) tahap keterampilan puncak, dan

d) tahap terahkir pendinginan dan penutup.

Jika diperhatikan dalam proses pembelajaran Dikjas, keterlibatan siswa penyandang cacat yang mengikuti kegiatan maka tampaklah sasaran yang akan dicapai adalah skill development dan affective development atau dua pengembangan yakni ranah keterampilan dan ranah afektif. Dalam program tersebut siswa diajak agar mereka dapat mengerti tujuan peinbelajaran Dikjas, siswa menginterpretasi dan menjelaskan partisipasinya dalam mengikuti kegiatan Dikjas. Hasil dari pemahaman; rasa senang, pengertian, serta keinginan (special need) untuk diterapkan dalam kegiatan gerak dan belajar melalui gerak merupakan kriteria keberhasilan tuivan pembelajaran Dikjas di SLB.





Program Pengajaran Individual dalam dikjas adaptif Tunanetra (Individualized Education Programs)

Program Pengajaran Individual adalah program pembelajaran yang dikhususkan dan diberikan secara individual. Hal ini disebabkan bahwa hakekatnya tidak ada seorangpun yang berkemampuan sama. Terlebih pada siswa panvandang cacat. Siswa penyandang cacat tersebut kemampuannya bervariasi, ad.a yang kemampuannya di atas normal, ada yang normal, dan ada yang di bawah normal. Untuk pengajaran yang dikembangkan akhir-akhir ini mengacu kepada pengajaran individual disebutkan dengan Individualized Physical Education for Special Children and Youth: "In¬dividualized instruction has been defined as an instructional strategy that adapts the teaching-learning process for each student. It is designed to provide the best instructional match to individual needs, interests, and characteristics" (Annarino, Cowell, and Hazelton, 1980: 319, Short, 1995:33-35). Siswa penyandang cacat netra di SLB/A pada kelas IV dan V kemampuan jasmani maupun intelektualnya bervareasi. Untuk itu diperlukan pendekatan individual dalam pendidikan jasmani.

Dalam perencanaan PPI terdapat langkah-langkah persiapan, di antaranya:

1. membentuk tim penilai program pengajaran individual (TP3I)

2. mengadakan assesmen kemampuan dan kelemahan siswa.

3. merancang tujuan jangka pendek dan jangka panjang,

4. menentukan metede-prosedur KBM

5. menentukan metode evaluasi.

Beberapa langkah yang ditempuh dalarn pembelajaran individual (Bucher, 1995) mengemukakan sebagai berikut:

Pertama dilakukan assesmen terhadap siswa dengan informasi tim:

a. Hasil tes formal

b. Evaluasi dan observasi informal guru

c. Hasil survey minat dan kebutuhan pendidikan jasmani siswa

d. Hasil evaluasi pernyataan orang tua

e. Informasi para ahli lainnya

Kedua dalam kegiatannya PPI trdapat 6 pernyatan.

Kemampuan siswa saat ini.

a. Tujuan umum dan tujuan kusus

b. Layanan khusus

c. Proyeksi (kapan dan berapa lama durasinya)

d. Memperluas layanan ALB agar ia dapat berpartisipasi dalam program regular

e. Prosedur evaluasi (Murtadlo. 1998: 56, Annarino, Cowell, and Hazelton, 1980: 321)



Daftar Pustaka

Hallahan, D.p. & Kauffman, J.m. (1991). Exceptional Children Introduction to Special Education. Virginia:Prentice hall International, Inc.
Jernigan, K. (1994). If Blindness Comes. Baltimore: National Federation of the Blind.
Jindal Snape, D.; Kato, M.; Maekawa, H. (1998). "Using Self Evaluation Procedures to Maintain Social Skills in a Child Who Is Blind". Journal of Visual Impairment and Blindness, May 1998, 362 366.
Kingsley, M. (1999). “The Effects of a Visual Loss”, dalam Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers
Krech, D.; Crutchfield, R. S.; & Ballachey, E. L. (1982). Individual in Society. Berkeley: McGraw-Hill International Book Company.
McGaha, C. G. & Farran, D. C. (2001). “Interactions in any Inclusive Classroom: The Effects of Visual Status and Setting”. Journal of Visual Impairments and Blindness. February 2001, 80-94.

Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers
Marzano, R. J. (1998). A Theory Based Meta Analysis of Research on Instruction. Aurora, Colorado: Mid continent Regional Educational Laboratory.

McGaha, C. G. & Farran, D. C. (2001). “Interactions in any Inclusive Classroom: The Effects of Visual Status and Setting”. Journal of Visual Impairments and Blindness. February 2001, 80-94.
Pertuni (2004). Anggaran Rumah Tangga Persatuan Tunanetra Indonesia, Pasal 1 Ayat 1.

0 komentar: