THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 29 Maret 2011

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF

BAB 1

PENDEKATAN KONTEKSTUAL

A. Latar belakang

Ada kecendrungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang

Pendekatan kontektual(Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil

Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual

B. Pemikiran tentang belajar

Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecendrungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut.

1. Proses belajar
• Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri
• Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru
• Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki sesorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan
• Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisak, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
• Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
• Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi didrinya, dan bergelut dengan ide-ide
• Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan sesorang.

2. Transfer Belajar


• Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain
• Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit)
• Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu

3. Siswa sebagai Pembelajar

• Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru
• Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting
• Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui.
• Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.

4. Pentingnya lingkungan Belajar

• Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari guru akting di depan kelas, siswa menonton ke siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan.
• Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka.Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya
• Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar
• Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.

C. Hakekat Pembelajaran Kontekstual

Pembelajarn kontekstual (Contextual Teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment)

D.Pengertaian CTL
1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya.
2. Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat

E. Perbedaan Pendekatan Kontekstual Dengan Pendekatan Tradisional

NO. CTL TRADISONAL
2. Pemilihan informasi berdasarkan kebutuh-an siswa Pemilihan informasi di-tentukan oleh guru 1. Menyandarkan pada memori spasial (pemahaman makna) Menyandarkan pada hapalan
3. Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran Siswa secara pasif menerima informasi
4. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/-masalah yang disi-mulasikan Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis
5. Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan
6. Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu

7. Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja kelompok) Waktu belajar siswa se-bagian besar dipergu-nakan untuk mengerja-kan buku tugas, men-dengar ceramah, dan mengisi latihan yang membosankan (melalui kerja individual)
8. Perilaku dibangun atas kesadaran diri Perilaku dibangun atas kebiasaan
9. Keterampilan dikem-bangkan atas dasar pemahaman Keterampilan dikem-bangkan atas dasar latihan
10. Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan diri Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor
11. Siswa tidak melakukan hal yang buruk karena sadar hal tsb keliru dan merugikan Siswa tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman
12. Perilaku baik berdasar-kan motivasi intrinsik Perilaku baik berdasar-kan motivasi ekstrinsik
13. Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas
14. Hasil belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik. Hasil belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan.






BAB 2


PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DI KELAS


CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini.
1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya
2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik
3. kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya
4. Ciptakan masyarakat belajar
5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan
7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara

A. Tujuh Komponen CTL

1. KONSTRUKTIVISME

 Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal
 Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan

2. INQUIRY

 Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman
 Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis

3. QUESTIONING (BERTANYA)

 Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa
 Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry

4. LEARNING COMMUNITY (MASYARAKAT BELAJAR)

• Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar
• Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri
• Tukar pengalaman
• Berbagi ide
5. MODELING (PEMODELAN)

• Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar
• Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya


6. REFLECTION ( REFLEKSI)

 Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari
 Mencatat apa yang telah dipelajari
 Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok

7. AUTHENTIC ASSESSMENT (PENILAIAN YANG SEBENARNYA)

 Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa
 Penilaian produk (kinerja)
 Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual

B. Karakteristik Pembelajaran CTL

 Kerjasama
 Saling menunjang
 Menyenangkan, tidak membosankan
 Belajar dengan bergairah
 Pembelajaran terintegrasi
 Menggunakan berbagai sumber
 Siswa aktif
 Sharing dengan teman
 Siswa kritis guru kreatif
 Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain
 Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain













BAB 3


MENYUSUN RENCANA PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKSTUAL

Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan authentic assessmennya.

Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya.
Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya.

Atas dasar itu, saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut.

1. Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara Standara Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi Pokok dan Pencapaian Hasil Belajar
2. Nyatakan tujuan umum pembelajarannya
3. Rincilah media untuk mendukung kegiatan itu
4. Buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa
5. Nyatakan authentic assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran.

KONSEP DASAR EVALUASI PEMBELAJARAN

• Pengertian Penilaian, Pengukuran, dan Tes
Dalam pengertian pendidikan terdapat dua arti untuk penilaian, yaitu penilaian dalam arti evaluasi (evaluation) dan penilaian dalam arti asesmen (assessment). Penilaian pendidikan dalam arti evaluasi merupakan penilaian program pendidikan secara menyeluruh. Dalam pengertian ini, evaluasi pendidikan menelaah komponen-komponen dan saling keterkaitannya dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan.
Sedangkan asesmen merupakan bagian dari evaluasi karena merupakan penilaian sebagian komponen yang menyangkut penilaian hasil belajar yang berhubungan dengan komponen kompetensi lulusan dan penguasaan substansi serta penggunaannya.
Pengukuran adalah proses penetapan angka bagi suatu gejala menurut aturan tertentu.
Tes merupakan pengujian yang dilakukan oleh guru kepada siswa sebagai suatu alat untuk mengukur kemampuan siswa.

• Hubungan antara Pengukuran, Penilaian, dan Tes
Penilaian digunakan untuk mengetahui seberapa jauh siswa telah memiliki kompetensi sesuai dengan yang diharapkan. Sistem penilaian mulai dikembangkan secara berkelajutan, yaitu penilaian dengan semua indikator dibuat soalnya, hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar mana yang telah dan belum dimiliki oleh siswa serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Untuk itu diperlukan berbagai bentuk tes yaitu pertanyaan, lisan, kuis, ulangan harian, tugas individual, tugas kelompok, dan portofolio. Selain itu perlu dilakukan pengukuran afektif yang mencakup sikap, minat, motivasi terhadap pelajaran.

• Fungsi dan Tujuan Penilaian
1. untuk mengetahui kompetensi awal siswa,
2. untuk mengetahui tingkat pencapaian standar kompetensi,
3. untuk mengetahui perkembangan kompetensi siswa,
4. untuk mendiagnosa kesulitan belajar siswa,
5. untuk mengetahui hasil suatu proses pembelajaran,
6. untuk memotivasi siswa belajar, dan
7. untuk memberikan umpan balik kepada guru untuk memperbaiki program pembelajarnnya.

• Karakteristik Penilaian Hasil Belajar
1. Validitas, yaitu harus mengukur apa yang hendak diukur
2. Reliabilitas, yaitu hrus mengukur secara konsisten apa yang diukurnya
3. Usabilitas, yaitu mliputi biaya, mudah sukarnya penyelenggaraan, mudah sulitnya penyekoran dan daya tarik tes.

• Prinsip Penilaian
Penilaian digunakan untuk mengetahui kemampuan dari siswa. Jika sudah memperoleh penilaian secara individu, hasil penilaian perlu dianalisis untuk menentukan tindakan perbaikan (jika perlu dilakukan). Tindakan perbaikan ini berupa remidi. Apabila sebagaian siswa belum menguasai kompetensi dasar tertentu, maka perlu diadakan perlakuan kembali proses pembelajaran. Bagi siswa yang telah berhasil menguasai kompetensi dasar diberikan tugas sebagai pengayaan.

• Jenis dan Sistem Penilaian
Ada berbagai jenis instrument sebagai evaluasi pembelajaran, diantaranya:
1. ulangan harian,
2. tugas kelompok,
3. kuis,
4. ulangan blok,
5. pertanyaan lisan, dan
6. tugas individu.

ASESMEN dalam PSIKOLOGI KLINIS

M. Fakhrurrozi, S.Psi

APA ITU ASESMEN?
“Proses mengumpulkan informasi yang biasanya digunakan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan yang nantinya akan dikomunikasikan kepada pihak-pihak terkait oleh asesor” (Nietzel dkk,1998).

Kita pada dasarnya seringkali melakukan asesmen. Misalnya ketika bertemu seseorang, saat itu kita akan berusaha untuk mengumpulkan informasi, memproses dan menginterpretasikannya. Informasi tersebut dapat berupa latar belakang, sikap, tingkah laku atau karakteristik yang dimiliki orang tersebut. Kemudian informasi tersebut dihubungkan dengan pengalaman dan harapan yang kita miliki sehingga kita akan mendapatkan kesan dari orang tersebut yang selanjutnya kita jadikan dasar untuk memutuskan cara kita bersikap terhadapnya.

PROSES ASESMEN KLINIS
Inti asesmen adalah mengumpulkan informasi yang akan digunakan untuk mengenali dan menyelesaikan masalah menjadi lebih efektif.





I II III IV

I. PLANNING DATA COLLECTION PROCEDURES
• Apa yang ingin kita ketahui ?

Usaha-usaha atau penekanan asesmen yang dilakukan disesuaikan dengan pendekatan atau teori yang akan digunakan. Penekanan asesmen berkaitan dengan dinamika kepribadian, latar belakang lingkungan sosial dan keluarga, pola interaksi dengan orang lain, persepsi terhadap diri dan realita atau riwayat secara genetis dan fisiologi.

Tabel 1. Tingkat asesmen dan data yang berkaitan

TINGKAT ASESMEN JENIS DATA
1. Somatis Golongan darah, pola respon somatis terhadap stres, fungsi hati, karakteristik genetis, riwayat penyakit, dsb
2. Fisik Berat/tinggi badan, jenis kelamin, warna kulit, bentuk tubuh, tipe rambut, dsb
3. Demografis Nama, umur, tempat/tanggal lahir, alamat, nomor telepon, pekerjaan, pendidikan, penghasilan, status perkawinan, jumlah anak, dsb
4. Overt behavior Kecepatan membaca, koordinasi mata-tangan, kemampuan conversation, ketrampilan bekerja, kebiasaan merokok, dsb
5. Kognitif/intelektual Respon terhadap tes intelegensi, daya pikir, respon terhadap tes persepsi, dsb
6. Emosi/afeksi Perasaan, respon terhadap tes kepribadian, emosi saat bercerita, dsb
7. Lingkungan Lokasi dan karakteristik tempat tinggal, deskripsi kehidupan pernikahan, karakteristik pekerjaan, perilaku anggota keluarga dan teman, nilai-nilai budaya dan tradisi, kondisi sosial ekonomi, lokasi geografis, dsb




PEDOMAN STUDI KASUS :
1. Identifikasi data, meliputi : nama, jenis kelamin, pekerjaan, penghasilan, status perkawinan, alamat, tempat tanggal lahir, agama, pendidikan, suku bangsa.
2. Alasan kedatangan dan keluhan, harapan-harapan klien.
3. Situasi saat ini, meliputi : di tempat tinggal, kegiatan harian, perubahan dalam hidup yang terjadi dalam satu bulan, dsb.
4. Keluarga, meliputi : deskripsi orang tua, saudara, figur lain dalam keluarga yang dekat dengan klien (significant other), peran dalam keluarga, dsb.
5. Ingatan awal, mendeskripsikan tentang kejadian dan situasi pada awal kehidupannya.
6. Kelahiran dan perkembangan, meliputi : usia saat bisa berjalan dan berbicara, permasalahan dengan anak lain, pengaruh dari pengalaman masa kecil, dsb.
7. Kondisi fisik dan kesehatan, meliputi : penyakit sejak kecil, penggunaan obat dokter atau obat terlarang yang berturut-turut, merokok, alkohol, kebiasaan makan atau olahraga, dsb.
8. Pendidikan, meliputi : riwayat pendidikan, bidang pendidikan yang diminati, prestasi, bidang yang dirasa sulit, dsb.
9. Pekerjaan, meliputi : alasan berhenti atau pindah kerja, sikap dalam menghadapi pekerjaan, dsb.
10. Minat dan hobi, meliputi : kesenangan, ekspresi diri, hobi, dsb.
11. Perkembangan seksual, meliputi : aktivitas seksual, ketepatan dalam pemuasan kebutuhan seksual, dsb.
12. Data perkawinan dan keluarga, meliputi : alasan menikah, kehidupan perkawinan dalam budayanya, masalah selama menikah, kebiasaan dalam rumah tangga, dsb.
13. Dukungan sosial, minat sosial dan komunikasi dengan orang lain, meliputi : tingkat frekuensi untuk berhubungan dengan orang lain, kontribusi selama berinteraksi, kesediaan menolong orang lain, dsb.
14. Self description, meliputi : kekuatan dan kelemahan, daya imajinasi, kreativitas, nilai-nilai dan ide.
15. Pilihan dalam hidup, meliputi : keputusan untuk berubah, kejadian penting, dsb.
16. Tujuan dan masa depan, meliputi : harapan pada 5 – 10 tahun yang akan datang, hal-hal yang perlu disiapkan untuk itu, kemampuan untuk menetapkan tujuan, daya realistis berhubungan dengan waktu, dsb.
17. Hal-hal lain dapat dilihat dari riwayat atau latar belakang klien.

Pedoman tersebut harus selalu disesuaikan dengan pendekatan yang akan digunakan :
• Psikodinamika lebih memfokuskan pada pertanyaan seputar motif bawah sadar, fungsi ego, perkembangan pada awal kehidupan (5 tahun pertama) dan berbagai macam defense mechanism.
• Kognitif-behavior memfokuskan pada skill, pola berpikir yang biasa digunakan, berbagai stimulus yang mendahului serta permasalahan perilaku yang menyertainya.
• Fenomenologi cenderung mengikuti outline asesmen dan melihat bahwa serangkaian asesmen merupakan kolaborasi untuk memahami klien dalam hal bagaimana klien melihat atau mempersepsi dunia.

TUJUAN ASESMEN KLINIS
Ada tiga macam yaitu klasifikasi diagnostik, deskripsi dan prediksi.
1. Klasifikasi diagnostik
Maksud dari klasifikasi (penegakan) diagnostik yang tepat antara lain :
• Untuk menentukan jenis treatment yang tepat. Suatu treatment sangat bergantung pada bagaimana pemahaman klinisi terhadap kondisi klien termasuk jenis gangguannya (vermande, van den Bercken, & De Bruyn, 1996).
• Untuk keperluan penelitian. Penelitian tentang berbagai penyebab suatu gangguan sangat bergantung kepada validitas dan reliabilitas diagnostik yang ditegakkan.
• Memungkingkan klinisi untuk mendiskusikan gangguan dengan cara efektif bersama profesional yang lain (Sartorius et.al, 1996).

Diagnostic System : DSM-IV
Teknik pengklasifikasian gangguan mental sudah dilakukan sejak tahun 1900-an. Sedangkan secara formal baru pada tahun 1952 ketika APA (American Psychiatric Association) menerbitkan sistem klasifikasi diagnostik yang pertama kali, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. Sistem ini kemudian terkenal dengan nama DSM I dan berlaku hingga tahun 1968, ketika WHO mengeluarkan International Classification of Diseases (ICD). DSM I kemudian direvisi dan disamakan dengan ICD, kemudian terbit DSM II. DSM I dan II menyeragamkan terminologi untuk mendeskripsikan dan mendiagnosa perilaku abnormal, tetapi tidak menjelaskan tentang aturan sebagai pedoman dalam memutuskan suatu diagnostik. Di dalamnya tidak terdapat suatu kriteria yang jelas bagi tiap gangguan sehingga agak sulit untuk mengklasifikasikan diagnostik. Pada tahun 1980 DSM II mengalami perubahan menjadi DSM III yang diikuti pada tahun 1987 dengan edisi revisi sehingga namanya menjadi DSM III-R. Dalam DSM III ini, sudah terdapat suatu kriteria operasional untuk masing-masing label diagnostik. Kriteria ini meliputi simtom utama dan simtom spesifik serta durasi simtom muncul. Disini juga digunakan pendekatan multiaxial, dimana klien dideskripsikan ke dalam lima dimensi (axis), yaitu :
a. Axis I : 16 gangguan mental major
b. Axis II : Berbagai problem perkembangan dan gangguan kepribadian
c. Axis III : Gangguan fisik atau kondisi-kondisi yang mungkin berhubungan dengan gangguan mental
d. Axis IV :Stressor psikososial (lingkungan) yang mungkin memberi kontribusi terhadap gangguan pada Axis I dan II
e. Axis V : Rating terhadap fungsi psikologis, sosial dan pekerjaan dalam satu tahun terakhir

DSM III-R pun kemudian dikritik karena beberapa kriteria diagnostiknya masih terlalu samar dan masih membuka peluang untuk muncul bias dalam penggunaannya. Dan Axis II, IV dan V mempunyai kekurangan dalam pengukurannya. Akhirnya pada tahun1988, APA membentuk tim untuk membuat DSM IV. Di dalamnya tetap menggunakan pendekatan multiaxial seperti pada DSM III-R dan Axis I hanya dapat di tegakkan jika terdapat jumlah kriteria minimum dari daftar simtom yang disebutkan. Pada DSM IV ini terdapat beberapa modifikasi dalam terminologi sebelumnya dan skema rating yang digunakan pada beberapa axis. Sekarang ini telah diterbitkan DSM IV-TR (Text Revised). Sampai saat ini DSM IV dan DSM IV-TR digunakan sebagai pedoman klinisi dan profesional terkait untuk menentukan diagnostik.
Multiaxial DSM IV :
a. Axis I : Clinical Disorders, Other Conditions That May Be a Focus of Clinical Attentions
b. Axis II : Personality Disorders, Mental Retardation
c. Axis III : General Medical Conditions
d. Axis IV : Psychosocial and Environtmental Problems
e. Axis V : Global Assessment of Functioning (GAF)

2. Deskripsi
Para klinisi beranggapan bahwa untuk memahami content dari perilaku klien secara utuh maka harus mempertimbangkan juga tentang context sosial, budaya dan fisik klien. Hal itu menyebabkan asesmen diharapkan dapat mendeskripsikan kepribadian seseorang secara lebih utuh dengan melihat pada person-environtment interactions. Dalam fungsinya sebagai sarana untuk melakukan deskripsi terhadap kepribadian seseorang secara utuh, di dalam asesmen harus terdapat antara lain : motivasi klien, fungsi intrapsikis, respon terhadap tes, pengalaman subjektif, pola interaksi, kebutuhan (needs) dan perilaku. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif tersebut memudahkan klinisi untuk mengukur perilaku pra treatment, merencanakan jenis treatment dan mengevaluasi perubahan perilaku pasca treatment.

3. Prediksi
Tujuan asesmen yang ketiga adalah untuk memprediksi perilaku seseorang. Misalnya klinisi diminta oleh perusahaan, kantor pemerintah atau militer untuk menyeleksi seseorang yang tepat bagi suatu posisi kerja tertentu. Dalam kasus tersebut, klinisi akan melakukan asesmen dengan mengumpulkan dan menguji data deskriptif yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk melakukan prediksi dan seleksi.
Klinisi kadang dihadapkan pada situasi untuk memprediksi hal-hal yang berbahaya, misalnya pertanyaan seperti “Apakah si A akan bunuh diri ?”, “Apakah si B tidak akan menyakiti orang lain setelah keluar dari RS?”. Pada saat itu klinisi harus menentukan jawaban “ya” atau “tidak”. Prediksi klinisi tentang “berbahaya” atau “tidak berbahaya” dapat dievaluasi dengan empat kemungkinan jawaban.
a. True positive, jika prediksi klinisi berbahaya dan ternyata klien menunjukkan perilaku berbahaya.
b. True negative, jika prediksi klinisi tidak berbahaya dan ternyata klien menunjukkan perilaku yang tidak berbahaya.
c. False negative, jika prediksi klinisi tidak berbahaya tetapi klien menunjukkan perilaku berbahaya.
d. False positive, jika prediksi klinisi berbahaya tetapi klien menunjukkan perilaku tidak berbahaya.

II. COLLECTING ASSESSMENT DATA
• Bagaimana seharusnya kita mencari tahu tentang hal itu ?

SUMBER ASESMEN DATA
Ada empat macam yaitu : interview, tes, observasi dan life record.
1. Interview
Interview merupakan dasar dalam asesmen dan merupakan sumber yang sangat luas. Ada beberapa kelebihan interview antara lain:
a. Merupakan hal biasa dalam interaksi sosial sehingga memungkinkan untuk mengumpulkan sampel tentang perilaku verbal atau non verbal individu bersama-sama.
b. Tidak membutuhkan peralatan atau perlengkapan khusus dan dapat dilakukan dimanapun juga.
c. Mempunyai tingkat fleksibilitas yang tinggi. Klinisi bebas untuk melakukan inquiry (pendalaman) terhadap topik pembicaraan yang mungkin dapat membantu proses asesmen.
Tetapi interview dapat terdistorsi oleh karakteristik dan pertanyaan interviewer, karakteristik klien dan oleh situasi pada saat interview berlangsung.

2. Tes
Seperti interview, tes juga memberikan sampel perilaku individu, hanya saja dalam tes stimulus yang direspon klien lebih terstandardisasikan daripada interview. Bentuk tes yang sudah standar tersebut membantu untuk mengurangi bias yang mungkin muncul selama proses asesmen berlangsung. Respon yang diberikan biasanya dapat diubah dalam bentuk skor dan dibuat analisis kuantitatif. Hal itu membantu klinisi untuk memahami klien. Skor yang didapat kemudian diinterpretasi sesuai dengan norma yang ada.

3. Observasi
Tujuan observasi adalah untuk mengetahui lebih jauh di luar apa yang dikatakan klien. Banyak yang mempertimbangkan bahwa observasi langsung mempunyai tingkat validitas yang tertinggi dalam asesmen. Hal itu berhubungan dengan kelebihan observasi antara lain:
a. Observasi dilakukan secara langsung dan mempunyai kemampuan untuk menghindari permasalahan yang muncul selama interview dan tes seperti masalah memori, jenis respon, motivasi dan bias situasional.
b. Relevansinya terhadap perilaku yang menjadi topik utama. Misalnya perilaku agresif anak dapat diobservasi sebagaimana perilaku yang ditunjukkan dalam lingkungan bermain dimana masalah itu telah muncul.
c. Observasi dapat mengases perilaku dalam konteks sosialnya. Misalnya untuk memahami seorang pasien yang kelihatan depresi setelah dikunjungi keluarganya, akan lebih bermakna dengan mengamati secara langsung daripada bertanya, “Apakah Anda pernah depresi?”.
d. Dapat mendeskripsikan perilaku secara khusus dan detail. Misalnya untuk mengetahui tingkat gairah seksual seseorang dapat diobservasi dengan banyaknya cairan vagina yang keluar atau observasi melalui bantuan kamera.

4. Life record
Asesmen yang dilakukan melalui data-data yang dimiliki seseorang baik berupa ijazah sekolah, arsip pekerjaan, catatan medis, tabungan, buku harian, surat, album foto, catatan kepolisian, penghargaan, dsb. Banyak hal dapat dipelajari dari life record tersebut. Pendekatan ini tidak meminta klien untuk memberi respon yang lebih banyak seperti melalui interview, tes atau observasi. Selama proses ini, data dapat lebih terhindar dari distorsi memori, jenis respon, motivasi atau faktor situasional. Contohnya, klinisi ingin mendapatkan informasi tentang riwayat pendidikan klien. Data tentang transkrip nilai selama sekolah mungkin dapat lebih memberikan informasi yang akurat tentang hal itu daripada bertanya ,”Bagaimana saudara di sekolah?”. Buku harian yang ditulis selama periode kehidupan seseorang juga dapat memberikan informasi tentang perasaan, harapan, perilaku atau detail suatu situasi yang mana hal itu mungkin terdistorsi karena lupa selama interview. Dengan merangkum informasi yang di dapat tentang pikiran dan tingkah laku klien selama periode kehidupan yang panjang, life records memberikan suatu sarana bagi klinisi untuk memahami klien dengan lebih baik.

III. PROCESSING ASSESSMENT DATA
• Bagaimana seharusnya data-data tersebut dikombinasikan ?
• Bagaimana asesor dapat meminimalkan bias selama interpretasi data ?
Didasarkan pada teori apa yang akan digunakan : psikoanalisa, behavioral atau fenomenologi.

Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya dalam asesmen adalah menentukan arti dari data tersebut. Jika informasi tersebut sekiranya berguna dalam pancapaian tujuan asesmen, maka informasi itu akan dipindahkan dari data kasar menjadi format interpretatif. Langkah tersebut biasanya disebut pemrosesan data asesmen atau clinical judgment.
Klinisi cenderung melihat data asesmen melalui tiga cara yaitu : sebagai sampel, korelasi atau tanda (sign). Contoh : Seorang laki-laki menelan 20 tablet obat penenang sebelum tidur tadi malam di sebuah hotel, tapi berhasil diselamatkan oleh petugas kebersihan yang akhirnya membawanya ke RS.
1. Data dilihat sebagai sampel dari perilaku klien. Kemungkinan judgment :
• Klien mempunyai cara potensial untuk melakukan pembunuhan secara medis
• Klien tidak ingin diselamatkan sebab tidak ada seorangpun yang tahu tentang usaha bunuh diri tersebut sebelum hal itu terjadi.
• Dalam situasi yang sama, klien mungkin akan mencoba bunuh diri lagi.

Disini dapat dilihat, bahwa data berupa usaha bunuh diri dilihat sebagai contoh dari apa yang dilakukan klien dalam situasi seperti itu. Tidak ada usaha untuk mengetahui mengapa dia mencoba bunuh diri. Jika dilihat sebagai sampel, akan didapat kesimpulan tingkat rendah. Teori yang mendasarinya adalah behavioral.

2. Data dilihat sebagai korelasi dengan aspek lain dalam hidup klien. Kemungkinan judgment :
• Klien sepertinya seorang lelaki setengah baya yang masih single atau bercerai dan mengalami kesepian.
• Klien saat itu mungkin mengalami depresi.
• Klien kurang mendapatkan dukungan emosi dari teman dan keluarganya.

Ada kombinasi antara : 1). Fakta tentang perilaku klien. 2). Pengetahuan klinisi tentang apa yang sekiranya dapat dikorelasikan dengan perilaku klien. Disini kesimpulan yang diambil berada pada tingkat yang lebih tinggi. Kesimpulannya didasarkan pada data-data pendukung yang ada di luar data asli seperti hubungan antara bunuh diri, usia, jenis kelamin, dukungan sosial, dan depresi. Semakin kuat pemahaman terhadap hubungan antar variabel, maka kesimpulan yang di dapat semakin akurat. Pendekatan ini bisa didasarkan pada beragam teori.

3. Data dilihat sebagai tanda (sign) yang lain, untuk mengetahui karakteristik kilen yang masih kurang jelas. Kemungkinan judgment :
• Dorongan agresif klien berubah menyerang diri sendiri.
• Perilaku klien merefleksikan adanya konflik intrapsikis.
• Perilaku minum obat merupakan manifestasi adanya kebutuhan untuk ditolong yang tidak disadarinya.

Kesimpulan yang didapat berada pada tingkat paling tinggi. Teori yang mendasari pendekatan ini adalah psikoanalisa atau fenomenologi.

IV. COMMUNICATING ASSESSMENT DATA
• Siapa yang akan diberi laporan asesmen dan tujuannya apa ?
• Bagaimanakah asesmen akan mempengaruhi klien yang di ases ?

Hasil dari asesmen biasanya akan ditulis menjadi sebuah laporan asesmen. Ada tiga kriteria yang harus dipenuhi suatu laporan asesmen yaitu : jelas, relevan dengan tujuan dan berguna.
1. Jelas
Kriteria pertama yang harus dipenuhi adalah laporan itu harus jelas. Tanpa kriteria ini, relevansi dan kegunaan laporan tidak dapat dievaluasi. Ketidakjelasan laporan psikologis merupakan suatu masalah karena kesalahan interpretasi dapat menyebabkan kesalahan pengambilan keputusan.
2. Relevan dengan tujuan
Laporan asesmen harus relevan dengan tujuan yang sudah ditetapkan pada awal asesmen. Jika tujuan awalnya adalah untuk mengklasifikasikan perilaku klien maka informasi yang relevan dengan hal itu harus lebih ditekankan.
3. Berguna
Laporan yang ditulis diharapkan dapat memberikan sesuatu informasi tambahan yang penting tentang klien. Kadang terdapat juga laporan yang mempunyai validitas tambahan yang rendah. Misalnya klinisi menyimpulkan bahwa klien mempunyai kecenderungan agresifitas tinggi, tapi data kepolisian mencatat bahwa klien tersebut telah berulang kali ditahan karena kasus kekerasan. Informasi yang diberikan klinisi tidak memberikan suatu hal penting lainnya dari klien.

OUTLINE ASSESSMENT DATA
1. Psikoanalisa
I. Konflik
A. Persepsi diri
B. Tujuan
C. Frustrasi
D. Hubungan interpersonal
E. Persepsi lingkungan
F. Dorongan, dinamika
G. Kontrol emosi
II. Nilai stimulus sosial
A. Kemampuan kognitif
B. Faktor konatif
C. Tujuan
D. Peran sosial
III. Fungsi kognitif
A. Penurunan
B. Psikopatologi
IV. Defenses
A. Represi
B. Rasionalisasi
C. Regresi
D. Fantasi
E. Dsb

2. Fenomenologi ; pendekatan subjektif dan cenderung mengikuti format umum asesmen.
I. Klien dari sudut pandang sendiri
II. Klien seperti yang direfleksikan dalam tes
III. Klien seperti yang dilihat klinisi

3. Cognitive-Behavioral
I. Deskripsi tentang penampilan fisik dan perilaku selama asesmen
II. Permasalahan
A. Masalah saat ini
B. Latar belakang masalah
C. Situasi tertentu yang menentukan masalah
D. Variabel yang relevan
1. Aspek fisiologis
2. Pengaruh medis
3. Aspek kognitif yang menentukan masalah
E. Dimensi masalah
1. Durasi
2. Frekuensi
3. Keseriusan masalah

F. Konsekuensi masalah
1. Positif
2. Negatif
III. Masalah yang lain (diobservasi oleh asesor, tidak dinyatakan oleh klien)
IV. Aset individu
V. Target perubahan
VI. Treatment yang direkomendasikan
VII. Motivasi klien untuk treatment
VIII. Prognosis
IX. Prioritas treatment
X. Harapan klien
A. Penyelesaian masalah yang spesifik
B. Pada treatment secara umum
XI. Komentar lain

SELF ASSESSMENT

PERLUNYA SELF-ASSESSMENT
DALAM PRAKTEK PENILAIAN HASIL BELAJAR

Pendahuluan (latar belakang, tujuan, proses penulisan, cakupan bahasan)

Penilaian hasil belajar atau assessment yang dilakukan di lembaga pendidikan mulai dari jenjang taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi hampir seluruhnya dilakukan oleh guru atau pengajar. Memang tidak ada yang salah dengan hal ini, karena memang sebagian besar tanggung jawab guru atau pengajar selain dari mengantarkan bahan pelajaran itu sendiri adalah memberikan tes, mengukur dan menilai penguasaan bahan pelajaran murid-murid mereka. Namun ada satu elemen yang sangat sering terlupakan atau jarang dipakai sebagai salah satu jenis penilaian, yaitu penilaian diri sendiri, evaluasi diri atau self-assessment.
Laurie Brady and Kerry Kennedy (2005) dalam buku mereka yang berjudul Celebrating Student Achievement: Assessment and Reporting mendefinisikan self-assessment sebagai “a process by which student develop insight into their learning, and has become increasingly emphasized with the development of outcome-based education.” Bagian pertama dari definisi di atas menekankan bahwa self-assessment adalah sebuah proses, yang melibatkan murid sebagai agen utamanya, dimana ia membangun wawasan terhadap proses pembelajaran mereka sendiri. Ini berbeda dari pandangan tradisional pendidikan menaruh murid dalam posisi pasif, atau penerima dari pengajaran guru termasuk dalam hal menilai hasil belajar mereka. Murid jarang sekali dilibatkan secara sadar dalam proses pemberian umpan balik terhadap hasil belajar mereka sendiri. Namun, sudah saatnya pandangan ini diganti. Murid sebagai salah satu pemeran utama berlangsungnya proses pendidikan seharusnya juga dilibatkan secara aktif dalam pengambilan umpan balik atas pencapaian suatu tujuan pembelajaran. Selain itu, definisi di atas juga menyebutkan bahwa self-assessment mulai ditekankan penggunaannya seiring perkembangan bidang pendidikan yang menggunakan outcome atau tujuan instruksional sebagai dasar perencanaan dan pelaksanaan program pengajaran mereka. Seperti yang kita tahu, sebagian besar sekolah-sekolah di Indonesia termasuk dalam kategori ini sehingga penggunaan self-assessment seharusnya juga mulai diterapkan atau lebih ditekankan. Jeni Wilson dan Leslie Wing Jan (1998) merangkumkannya secara lengkap tentang apa itu self-assessment:
the monitoring of one’s own levels of knowledge, performance, learning, abilities, thiking, behaviour and/or strategy use. It is about judging one’s own performance. Self-assessment is neither a recount of what has been done nor is it a program evaluation. It is an analysis of what has been done and the formation of a judgment or opinion of progress based on this analysis.

Tulisan ini akan membahas alasan dasar penggunaan self-assessment dalam pendidikan, berbagai manfaat self assessment, dan bagaimana self-assessment bisa diterapkan di dalam proses pendidikan.


Pembahasan Inti

Assessment meliputi pengumpulan informasi tentang kualitas dan kuantitas suatu perubahan dari seorang murid, kelompok, kelas, sekolah, guru, atau administrator (Johnson dan Johnson, 2002). Self-assessment juga merupakan sebuah proses pengumpulan informasi tentang kualitas dan kuantitas suatu perubahan, namun spesifikasinya terletak pada siapa yang mengumpulkan informasi tersebut. Dalam praktek assessment biasa, yang mengumpulkan informasi adalah pihak luar yang dianggap mempunyai kualifikasi untuk memngumpulkan informasi tersebut. Dalam self-assessment, yang mengumpulka informasi adalah seorang atau kelompok itu sendiri. Misalnya seorang murid meng-assess dirinya sendiri, seorang guru meng-assess dirinya sendiri, sebuah sekolah menilai kinerjanya sendiri, dan lain-lain.
Menurut Johnson dan Johnson (2002) tujuan dari assessment adalah sebagai berikut: “diagnose students’ present level of knowledge and skills, monitor progress toward learning goals to help form the instructional program and provide data to judge the final level of student learning.” Self assessment juga bisa digunakan untuk mendiagnosa tingkat kemampuan dan keterampilan student pada saat itu sekaligus memonitor pencapaian tujuan pembelajaran. Self-assessment bahkan bisa digunakan untuk menilai 4 area utama, yaitu pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap (Wilson dan Jan, 1998). Bentuknya assessmentnya pun bisa berupa objektif atau uraian. Namun biasanya self-assessment jarang dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan nilai akhir dari hasil belajar siswa, lebih sebagai analisa progress. Selain itu, dari 7 kegunaan tes yang dideskripsikan Asmawi Zainul dan Noehi Nasution (2005), self-assessment mungkin juga kurang cocok untuk digunakan sebagai seleksi, penempatan, perbaikan kurikulum dan program pendidikan dan pengembangan ilmu. Namun, self-assessment sangat mungkin digunakan untuk diagnosis dan remedial, umpan balik serta memotivasi dan membimbing belajar. Secara keseluruhan, self-assessment lebih menekankan pada aspek reflektif, mengajak murid untuk lebih terlibat dalam proses belajar mereka dengan mengevaluasi cara belajar mereka, kelebihan dan kekurangan mereka, dimana progress mereka dalam mencapai tujuan belajar, apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. “Self-assessment encourages meaningful reflection, gives students greater responsibility and commitment to their own classroom environment.” (Wilson dan Jan, 1998).

Alasan Dasar Penggunaan Self-Assessment Dalam Pendidikan
Penelitian dan teori tentang pembelajaran mengidentifikasi 5 dimensi pembelajaran yang penting untuk kesuksesan dalam belajar (Marzano,Pickering & McTighe, 1993). Kelima dimensi itu mencakup:
1. Positive attitudes and perceptions about learning
2. Acquiring and integrating knowledge
3. Extending and refining knowledge
4. Using knowledge meaningfully
5. Productive habits of mind.
Penerapan self-assessment setidaknya mengacu kepada tiga dari kelima dimensi pembelajaran di atas. Pertama, self-assessment dapat mempengaruhi sikap dan persepsi yang positif terhadap pembelajaran. Dengan melibatkan murid secara aktif dalam proses penilaian hasil belajar mereka dan dalam menyusun sasaran pembelajaran (learning goal) mereka sendiri, murid akan terbangun motivasinya dalam belajar karena mereka melihat proses belajar sebagai sesuatu yang mempunyai arti bagi mereka (meaningful). Mereka juga membangun sikap “ownership” terhadap proses belajar mereka karena mereka bisa terus memantau perkembangan mereka sendiri, kapan mereka berhasil mencapai tujuan dan langkah apa yang harus diambil bila mereka masih belum mencapainya. Proses self-assessment membangun persepsi yang positif terhadap keseluruhan proses belajar.
Kedua, self-assessment juga memperluas dan memperhalus pengetahuan murid karena ketika mereka mengevaluasi diri, mereka harus menganalisa apa yang mereka telah pelajari secara lebih dalam dan lebih teliti. Dibutuhkan kemampuan berpikir yang tinggi untuk bisa memikirkan dan menganalisa apa yang kita telah pelajari (metacognition). Dengan memikirkan dan mengkomunikasikan hasil pemikiran ini, murid sudah memperluas dan memperhalus kualitas pengetahuannya karena tingkatannya bukan hanya tahu dan mengerti, tetapi sudah sampai pada analisis, sintesis, evaluasi dan metakognisi. “Self-assessment requires students to use both reflective and metacognitive skills. Reflective thinkers consciously and subconsciously think about their own learning and progress.” (Wilson dan Jan, 1998). Wilson dan Jan kemudian melanjutkan,
Metacognitive thinkers identify, monitor, and regulate their thinking processes and strategies. Students need to become metacognitive thinkers so that they are able to identify their thinking and learning process and styles, select appropriate strategies and processes for thinking and learning, and be able to set goals and act on goals.

Ketiga, kebiasaan dan kemampuan murid untuk mengevaluasi diri secara terus menerus akan menghasilkan kebiasan produktif dari pikiran (productive habits of mind). Marzano ,Pickering dan McTighe (1993) mengkategorikan dimensi ini sebagai dimensi belajar yang paling penting. Mereka mengatakan bahwa “developing mental habits that will enable individual to learn on their own whatever they want or need to know at any point in their lives is probably the most important goal of education.” Salah satu cara untuk membangun kebiasaan ini adalah dengan menerapkan kebiasaan untuk mengself-assess. Murid yang sudah terbiasa melakukan self assessment tehadap pikiran, tindakan dan pekerjaan mereka akan mempunyai pola pikir yang sistematis dan strategis. Dalam setiap tahap pekerjaan mereka akan terus menerus sadar akan proses berpikir mereka sendiri dan mengevaluasi keefektifan tindakan mereka. Jika kebiasaan ini terbangun, peran guru dalam proses belajar mereka akan semakin berkurang dan lebih sebagi pendukung dan pengamat daripada pengatur dan pengendali. Pada akhirnya, murid sendirilah yang akan berperan sebagai pengatur dan pengendali proses belajar mereka sendiri dan mereka tidak lagi memerlukan guru. Bukankah hal ini yang kita harapkan dari murid kita?
Bila dianalisa lebih lanjut mungkin masih ada hubungan antara self-assessment dengan dua dimensi belajar lainnya, namun dengan mencakup tiga dari lima termausk yang paling penting, maka sudah cukup kuat dan jelas alasan mengapa self-assessment seharusnya menjadi bagian yang harus diikutsertakan dari penilaian hasil belajar murid.
Adanya reformasi dalam bidang pendidikan membuat para pendidik harus mengevaluasi dan menata kembali cara mereka menjalankan proses pendidikan. Pergeseran fokus pembelajaran dari guru ke murid (learner-centered) dan lifelong learning adalah perubahan sifat dari tujuan pembelajaran dewasa ini belajar (Marzano,Pickering & McTighe, 1993). Self-assessment merespon perubahan ini dengan sangat baik. Dengan mengevaluasi diri, tentu saja fokusnya bukan lagi kepada guru, tetapi kepada murid. Selain itu seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kebiasaan untuk mengself-assess akan mendorong terbentuknya lifelong learning karena murid akan membiasakan dirinya untuk menganalisa, memantau pencapaian dan menetapkan tujuan belajar mereka sendiri. Hal ini akan terus mereka bawa dan terapkan walaupun mereka sudah keluar dari institusi pendidikan. Penjelasan ini semakin memperkuat alasan mengapa self-assessment diperlukan dan sepatutnya diterapkan dalam program pendidikan.

Manfaat Self-Assessment
Self-assessment dapat membawa manfaat baik untuk murid dan guru (Brady dan Kennedy, 2005), antara lain:
• memungkinkan murid untuk membangun pengertian yang lebih menyeluruh tentang kelebihan dan kekurangan mereka sendiri
• menerima tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri, baik di dalam maupun di luar sekolah
• melihat diri mereka sebagai bagian aktif dari proses pembelajaran
• membantu murid membangun pengertian diri yang lebih dalam
• menemukan suara dalam diri mereka sendiri
• merefleksikan apa yang mereka tahu
• memotivasi dalam menyelesaikan pekerjakan yang mereka anggap mempunyai arti
Self assessment juga membawa manfaat bagi guru seperti yang dijelaskan Jeni Wilson dan Leslie Wing Jan (1998) berikut ini:
Teachers benefit from the use od student self-assessment because it provides valuable insights into their students’ thinking and learning. This source of assessment data is unlike many others because it taps the students’ beliefs about their own learning and performance. It also enables teachers to plan appropriate learning experiences for their students.


Cara Menerapkan Self-Assessment
Self-assessment bisa diterapkan dengan berbagai macam cara, baik yang umum maupun yang spesifik dengan melibatkan murid dalam merefleksikan suatu ketrampilan atau kemampuan tertentu atau proses kemajuan dalam pencapaian prestasi. Cara-cara yang dapat dilakukan mencakup (Brady dan Kennedy, 2005):
• Menulis diari atau jurnal tentang proses dan progress pembelajaran
• Diskusi kelas atau kelompok kecil
• Catatan rutin refleksi
• Evaluasi diri mingguan
• Checklist
• Interviu guru-murid
• Menulis rapor sendiri
• Membuat dan menegosiasi kontrak
• Mengerjakan form tertulis yang disusun agar murid memberikan respon tertentu.
• Mengadakan konferensi dengan guru atau sesama murid
• Daftar kelas untuk memantau diperlihatkannya keterampilan tertentu
• Membuat garis continuum dimana guru meminta murid untuk berdiri di salah satu posisi di dalam rentang garis sebagai representasi keadaan mereka saat itu.

Penutup
Pepatah bilang Rome was not built in one day, begitu pula kemampuan dan ketrampilan murid dalam mengself-assess diri mereka. Dibutukan pengajaran khusus dan pengalaman belajar yang memfokuskan pada perkembangan keterampilan ini. Guru mempunyai peran kunci dalam membangun keterampilan reflektif murid. Sangat penting untuk guru memberi contoh merefleksi diri dan menyediakan waktu bagi murid untuk berlatih merefleksi dan mengself-assess. Appropriateness, consistency and progression adalah kata-kata kunci yang harus dipegang ketika akan menerapkan praktik self-assessment di sekolah.
Appropriateness atau kesesuaian harus diperhatikan. Bayak variable yang dipakai untuk memutuskan apakah suatu bentu self-assessment sesuai atau tidak, misalnya jenis mata pelajaran, jenis aktivitas, usia siswa, dll.
Consistency atau konsistensi berarti bahwa self-assessment harus dilakukan secara konsisten, bukan hanya sekali-sekali atau sewaktu-waktu. Self –assessment harus dibangun menjadi sebuah kebiasaan yang terus-menerus dilakukan supaya keterampilan berpikir reflektif dan metacognitif terus menerus diasah juga.
Progression atau gerak maju juga penting agar keterampilan tidak stagnan. Begitu murid terampil dengan satu format atau satu jenis self-assessment, maka jenis lain yang lebih menantang harus diperkenalkan dan diterapkan. Selain itu progression juga bermakna penerusan keterampilan self-assess di jenjang atau tingkat pendidikan selanjutnya, tidak saja di SD tetapi juga di SMP, SMA dan perguruan tinggi.
Menciptakan suasana yang positif dan konstruktif juga sangat penting untuk mendukung and memajukan pembelajaran murid dan memupuk perkembangan keterampilan berpikir reflektif dan metacognitif.
Dari seluruh penjelasan di tulisan ini jelas bahwa self-assessment sangat penting peranannya dalam membentuk murid yang mempunyai productive habits of mind, seorang lifelong learner. Jadi, menyepelekannya atau tidak mengikutsertakannya bersama dengan jenis-jenis assessment lainnya bisa menyebabkan murid kehilangan sebuah keterampilan dan kemampuan berhanga yang justru sangat berguna bagi masa depan mereka, ketika mereka sudah lepas dari bangku sekolah. Keterampilan dan kemampuan ini akan membedakan mereka dengan individu lain.
Reflectie and metacognitive learners are efficient and effective learners because they analyze and make judgments about their thinking, monitoring, and regulating their thinking processes and strategies. Regular self-asessment promotes the development of reflective and metacognitove skilsl which in turn facilitate richer and more informed self-assessment. (Wilson dan Jan, 1998)








Daftar Pustaka

Brady, Laurie dan Kerry Kennedy. Celebrating Student Achievement: Assessment and Reporting. Frenchs Forest: Pearson Education Australia, 2005.
Johnson, David W. and Roger T. Johnson. Meaningful Assessment: A Manageable and Cooperative Process. Boston: Pearson Education Company, 2002.
Marzano, Robert J., Debra Pickering dan Jay McTighe. Assessing Student Outcomes: Performance Assessment Using the Dimensions of Learning Model. Alexandria: ASCD (Association for Supervision and Curriculum Development), 1993.
Wilson, Jeni dan Leslie Wing Jan. Self Assessment for Students: Proformas and Guidelines. Armadale: Eleanor Curtain Publishing, 1998.
Zainul, Asmawi dan Noehi Nasution. Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Pusat Antar Universitas Untuk Peningkatan Dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2005.


Lampiran
Bagian lampiran ini berisi contoh-contoh form atau proforma yang bisa digunakan dalam membantu murid melakukan self assessment.

generalisasi

ABSTRAKSI DAN GENERALISASI
Abstraksi adalah deskripsi dari suatu masalah pada level generalisasi tertentu, sehingga memungkinkan kita untuk berkonsentrasi pada aspek kunci dari masalah tersebut tanpa memperhatikan hal-hal detail. Abstraksi dapat membantu kita untuk fokus pada hal-hal penting dari suatu masalah
Abstraksi melibatkan pengindentifikasian kelas-kelas (classes) dari suatu object, sehingga memungkinkan kita menggroupkannya. Dengan cara tersebut kita bekerja dengan sedikit parameter/variabel dari kelas-kelas yang ditinjau.
Contoh :
• Monitoring : berbagai macam sistem monitoring
• Ban sepeda : sepeda balap, sepeda gunung
• Mobil : sedan, jeep, wagon, truk, dll

TINGKATAN ABSTRAKSI
• Abstraksi Fungsional
• Pengelompokan kasual
• Abstraksi data
• Abstraksi cluster
• Abstraksi sistem

GENERALISASI
Generalisasi adalah perluasan suatu aplikasi yang meliputi suatu daerah object yang lebih besar dengan jenis yang berbeda atau jenis yang sama.
BINDING
• Attribute : nilai internal atau data terkait pada suatu objek yang menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifat dari obyek serta penggambaran keadaan (state) obyek
Contoh :
Nama objek : mobil
Attribute :
Merek : toyota
Silinder : 2000cc
Warna : merah
Status : baru / jalan
Tahun : 2006
• Binding : Pengaturan nilai attribute
• Descriptor : informasi attribute yang diisikan dalam tempat penyimpanan untuk setiap entitas.
Binding merupakan pusat dari konsep definisi semantic bahasa pemrograman
Bahasa pemrograman berbeda satu dengan yang lainnya karena:
• Perbedaan jumlah entitas yang dapat ditangani
• Jumlah attribute yang dapat ditempelkan ke entitas yang dapat ditangani
• Waktu kemunculan binding (binding time)
• Stabilitas binding (binding yang sudah terbentuk bersifat tetap atau dapat dimodifikasi)

JENIS BINDING
Ada dua tipe / jenis binding bila dilihat dari control yang digunakan untuk binding data, yaitu :
1. Simple Binding
2. Complex Binding
Kalau dilihat dari sisi waktu pengikatan data (binding) bisa dibedakan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
1. Early Binding
2. Late Binding
Contoh Binding
• Language definition time binding
• Language implementation time binding
• Compile-time (translation-time) binding
• Execution-time (Run-time) binding

ENKAPSULASI
• Pengkapsulan berarti mengemas beberapa item bersama-sama menjadi satu unit yang tertutup dalam rangka menyembunyikan struktur internal suatu obyek dari lingkungan/dunia luar
• Pengkapsulasan sering dianggap sebagai “penyembunyian informasi”
• Setiap kelas hanya menampakkan interface yang diperlukan untuk berkomunikasi dengan dunia luar melalui message dan menyembunyikan (encapsulating)/implementasi aktual di dalam kelas.
• Kita hanya membutuhkan pemahaman tentang interface (methode), tidak perlu paham tentang internalnya (implementation).
• Pengapsulan merupakan kemamupan sebuah obyek kelas untuk membatasi akses client ke reprensentasi internal obyek (data dan fungsi)

PRINSIP GENERALISASI
Prisip generalisasi adalah suatu bentuk umum dari suatu kesatuan yang khusus.
Contoh : lamda p.B’
Dimana lamda menyatakan suatu abstrak yang menandakan generalisasi B jika p dipanggil oleh suatu parameter B’. Prinsip generalisasi tergantung pada prinsip analogi. Generalisasi dan abstrak sering digunakan bersama-sama. Abstrak digeneralisasi dengan parameterisasi untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar. Di dalam parameterisasi satu atau lebih bagian dari suatu kesatuan dapat digantikan dengan suatu nama baru. Nama yang digunakan sebagai suatu parameter ketika abstrak yang telah diparameterkan dilibatkan dengan suatu binding parameter disebut argumentasi.

Prinsip Analogi
Prinsip analogi ada ketika suatu penyesuaian pada pola di antara 2 object yang berbeda. Dimana object dapat digantikan dengan object tunggal yang parameterized untuk melakukan rekonstruksi yang menyangkut object yang asli

Prinsip Parameterisasi
Prinsip Parameterisasi adalah suatu parameter yang secara umum mungkin berasal dari beberapa domain. Istilah parameter formal dan parameter nyata sering disebut dengan argumentasi

SUBSTITUSI
Kegunaan abstraksi dan generalisasi tergantung pada substitusi.
Prinsip korenpondensi
Prinsip korespondensi adalah suatu formalitas yang menyangkut aspek /pengarahan prinsip abstrak yang mengandung substitusi dan definisi saling terkait.
Struktur Block
1. Block merupakan suatu bagian dari scope-defining bahasa pemrograman. Artinya, Block merupakan suatu definisi wilayah bagian bahasa pemrograman.
2. Block merupakan urutan dari statemen yang executable yang diperlakukan sebagai suatu unit
Block disebut subprogram atau routine di kebanyakan bahasa pemrograman
Struktur Block dari suatu bahasa pemrograman













Aturan Cakupan
• Dynamic Scope
Suatu subprogram yang didefinisikan di satu tempat dalam suatu program dan dapat dipanggil dari lingkungan yang berbeda (lingkungan dimana subprogram tersebut tidak didefinisikan)
• Static Scope
Subprogram dipanggil dari lingkungan tempat subprogram tersebut didefinisikan

LINGKUNGAN
Lingkungan lokal suatu subprogram Q terdiri atas bermacam-macam identifier yang dideklarasikan di bagian atas dari subprogram Q. Nama variabel, nama parameter formal, dan nama subprogram diperhatikan disini. Nama subprogram di sini merupakan nama subprogram yang didefinisikan secara lokal di dalam suprogram Q (nested subprogram).
















Abstraksi dan Generalisasi
•Abstraksi adalah penekanan pada gagasan, kualitas dan properti, bukan pada detail tertentu (penekanan pada detail)
•Generalisasi adalah perluasan dari aplikasi yang mengarah pada domain yang lebih besar dari obyek yang sama atau tipe yang berbeda


Binding

•Obyek yang terikat pada nama disebut bindables (terikat) pada bahasa
•Yang termasuk bindable adalah: data primitif, nilai kumpulan, referensi ke variabel, tipe-tipe, dan abstraksi yang executable

Jenis-jenis binding

•Collateral binding à melakukan binding secara terpisah satu sama lainnya dan kemudian menggabungkan binding-binding itu untuk menghasilkan sekumpulan lengkap binding
•Sequential binding à melakukan binding dalam urutan kemunculan mereka
•Recursive binding à adalah binding di mana nama-nama yang di dalamnya terikat dipergunakan (langsung atau tidak langsung) di bindingnya itu sendiri


Enkapsulasi

•Sebuah modul umumnya terdiri dari dua bagian: bagian ekspor dan bagian lokal
•Bagian ekspor dari sebuah modul terdiri dari deklarasi bahasa untuk simbol-simbol yang tersedia untuk digunakan dalam bagian modul dan modul lain yang mengimpornya dan deklarasi modul yang memberikan simbol dari modul lain yang tersedia untuk digunakan dalam bagian modul dan dalam modul lain yang mengimpornya


Prinsip Generalisasi

•Sebuah generik adalah sebuah entitas yang bisa dikhususkan (dijabarkan lebih jauh) terhadap invokasi
•Prinsip analogi: Ketika ada kecocokan pola antara dua obyek berbeda, obyek-obyek ini bisa digantikan oleh sebuah obyek yang diberikan parameter untuk memungkinkan rekonstruksi obyek-obyek aslinya
•Prinsip parameterisasi à sebuah parameter dari sebuah generik bisa terbentuk dari domain•

Substitusi

•Penggunaan abstraksi dan generalisasi bergantung pada substitusi. Ikatan keduanya terkandung pada prinsip berikut:
•Prinsip Korespondensi: Mekanisme binding parameter dan mekanisme definisi adalah setara


Struktur Blok

•Sebuah blok adalah sebuah konstruksi yang membatasi cakupan definisi yang terkandung di dalamnya
•Ada tiga dasar struktur blok: monolitik, flat dan nested
•Syntax blok:
let Definitions in Body end

Body where Definitions

Struktur Blok

•Syntax di atas menyatakan dua tipe blok, yang pertama membutuhkan definisi sebelum body dan yang kedua membutuhkan definisi sesudah body
•Monolitik à hanya terdiri dari satu blok saja
•Flat à body nya bisa saja mengandung blok-blok tambahan tetapi blok bagian dalam tidak mengandung blok
•Nested à jika blok-blok dimungkinkan untuk bersarang (nested) di dalam blok lain

Aturan Cakupan (Scope)

•Tindakan mempartisi sebuah program mengangkat masalah cakupan nama-nama
•Ada empat pilihan:
1.Semua nama tersedia secara global
2.Semua nama eksternal tersedia secara lokal
3.Hanya nama-nama yang diekspor secara eksplisit tersedia secara global
4.Hanya nama-nama eksternal yang diimpor secara eksplisit yang tersedia secara lokal


Aturan Cakupan (Scope)

•Aturan cakupan dinamis à menentukan cakupan masing-masing asosiasi dalam hal dinamisasi eksekusi program
•Aturan cakupan statis à disebut juga aturan cakupan leksikal

Prosedur dan Fungsi

•Sebuah program bisa saja terdiri dari sebuah program utama yang pada saat eksekusi memanggil subprogram yang pada gilirannya bisa saja memanggil subprogram lain, dan seterusnya.
•Setiap subprogram bisa memiliki data lokalnya sendiri yang bisa ditemukan dalam record aktivasi


Parameter dan Argumen

•Sebuah generik dikatakan strict dalam sebuah parameter jika dia membutuhkan nilai parameter dan non-strict dalam sebuah parameter jika dia tidak membutuhkan nilai dari parameter
•Evaluasi lazy à adalah sebuah skema evaluasi di mana argumennya dievaluasi hanya pada saat dibutuhkan

Mekanisme Pemasukkan Argumen

•Mekanisme penggandaan mengharuskan nilai-nilai dikopi ke sebuah generik ketika dia dimasukkan dan dikopi keluar dari generik ketika generik dihentikan. Bentuk pemasukkan parameter ini sering disebut passing by value.

Mekanisme Pemasukkan Argumen

•Mekanisme definisi seakan-akan abstrak itu dikelilingi oleh sebuah blok di mana di dalamnya ada sebuah definisi yang mengikat parameter ke argumen itu. Sebuah parameter dikatakan passed by reference jika argumennya adalah sebuah address

Cakupan dan Blok

•Sebuah variabel yang dideklarasikan dalam sebuah blok memiliki jangka waktu hidup (lifetime) dimulai dari sebuah record aktivasi diciptakan untuk blok itu hingga record aktivasi itu dihapus