BAB I
PENDAHULUAN
Dasar/Landasan
Landasan Kode Etik Konselor adalah (a) Pancasila, mengingat bahwa profesi konseling merupakan usaha layanan terhadap sesama manusia dalam rangka ikut membina warga negara yang bertanggung jawab. (b) tuntutan profesi, mengacu kepada kebutuhan dan kebahagiaan klien sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
BAB II
KUALIFIKASI DAN KEGIATAN PROFESIONAL KONSELOR
A. Kualifikasi
Konselor harus memiliki (1) nilai, sikap, ketrampilan dan pengetahuan dalam bidang profesi konseling, dan (2) pengakuan atas kewenangannya sebagai konselor.
B. Kegiatan Profesional Konselor
1. Nilai, sikap, ketrampilan dan pengetahuan
a. Agar dapat memahami orang lain dengan sebaik-baiknya, konselor harus terus menerus berusaha menguasai dirinya. Ia harus mengerti kekurangan-kekurangan dan prasangka-prasangka pada dirinya sendiri yang dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang lain dan mengakibatkan rendahnya mutu layanan profesional seerta merugikan klien.
b. Dalam melakukan tugasnya membantu klien, konselor harus memperlihatkan sifat-sifat sederhana, rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercayajujur, tertib, dan hormat.
c. Konselor harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap saran ataupun peringatan yang diberikan kepadanya, khususnya dari rekan-rekan seprofesi dalam hubungannya dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan tingkah laku profesional sebagaimana diatur dalam Kode Etik ini.
d. Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus mengusahakan mutu kerja yang setinggi mungkin. Untuk itu ia harus tampil menggunakan teknik-teknik dan prosedur-prosedur khusus yang dikembangkan atas dasar kaidah-kaidah ilmiah.
2. Pengakuan kewenangan
Untuk dapat bekerja sebagai konselor, diperlukan pengakuan, keahlian, kewenangan oleh organisasi profesi atas dasar wewenang yang diberikan kepadanya oleh pemerintah.
3. Kegiatan Profesional
a. Penyimpanan dan penggunaan informasi
Catatan tentang diri klien yang meliputi data hasil wawancara, testing, surat-menyurat, perekaman, dan data lain, semua merupakan informasi yang bersifat rahasia dan hanya boleh digunakan untuk kepentingan klien. Penggunaan data/informasi untuk keperluan riset atau pendidikan calon konselor dimungkinkan sepanjang identitas dirahasiakan. Penyampaian informasi mengenai klien kepada keluarga atau kepada anggota profesi lain, membutuhkan perseetujuan klien atau yang lain dapat dibenarkan asalkan untuk kepentingan klien dan tidak merugikan klien.
b. Keterangan mengenai mengenai bahan profesional hanya boleh diberikan kepada orang yang berwenang menafsirkan dan menggunakannya.
c. Kewajiban konselor untuk menangani klien berlangsung selama ada kesempatan antara klien dengan konselor. Kewajiban berakhir jika hubungan konseling berakhir, klien mengakhiri hubungan kerja atau konselor tidak lagi bertugas sebagai konselor.
4. Testing
a. Suatu jenis tes hanya diberikan oleh petugas yang berwenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya. Konselor harus selalu memeriksa dirinya apakah ia mempunyai wewenang yang dimaksud.
b. Testing diperlukan bila dibutuhkan data tentang sifat atau ciri kepribadian yang menuntut adanya perbandingan dengan ssampel yang lebih luas, misalnya taraf intelegensia, minat, bakat khusus, dan kecenderungan dalam pribadi seseorang.
c. Data yang diperlukan dari hasil testing itu harus diintegrasikan dengan informasi lain yang telah diperoleh dari klien sendiri atau dari sumber lain.
d. Data hasil testing harus diperlakukan setaraf data dan informasi lain tentang klien.
e. Konselor harus memberikan orientasi yang tepat kepada klien mengenai alasan digunakannya tes dan apa hubungannya dengan masalahnya. Hasilnya harus disampaikan dengan klien dengan disertai penjelasan tentang arti dan kegunaannya.
f. Hasil testing hanya dapat diberitahukan kepada pihak lain sejauh pihak lain yang diberitahu itu ada hubungannya dengan usaha bantuan kepada klien dan tidak merugikan klien.
g. Pemberian suatu jenis tes harus mengikuti pedoman atau petunjuk yang berlaku bagi tes yang berlakukan.
5. Riset
a. Dalam melakukan riset, di mana tersangkut manusia dengan masalahnya sebagai subyek, harus dihindari hal-hal yang dapat merugikan subyek yang bersangkutan.
b. Dalam melakukan hasil riset di mana tersangkut klien sebagai subyek, harus dijaga agar identitas subyek dirahasiakan.
6. Layanan Individual : Hubungan dengan Klien
a. Konselor harus menghormati harkat pribadi, integritas dan keyakinan klien.
b. Konselor harus menempatkan kliennya di atas kepentingan pribadinya. Demikianpun dia tidak boleh memberikan layanan bantuan di luar bidang pendidikan, pengalaman, dan kemampuan yang dimilikinya.
c. Dalam menjalankan tugasnya, konselor tidak mengadakan pembedaan atas dasar suku, bangsa, warna kulit, kepercayaan atau status sosial ekonomi.
d. Konselor tidak akan memaksa untuk memberikan bantuan kepada seseorang dan tidak boleh mencampuri urusan pribadi orang lain tanpa izin dari orang yang bersangkutan.
e. Konselor boleh memilih siapa yang akan diberi bantuan, akan tetapi dia harus memperhatikan setiap setiap permintaan bantuan, lebih-lebih dalam keadaan darurat atau apabila banya orang yang menghendaki.
f. Kalau konselor sudah turun tangan membantu seseorang, maka dia tidak akan melalaikan klien tersebut, walinya atau orang yang bertanggung jawab padanya.
g. Konselor harus menjelaskan kepada klien sifat hubungan yang sedang dibina dan batas-batas tanggung jawab masing-masing, khususnya sejauhmana dia memikul tanggung jawab terhadap klien.
h. Hubungan konselor mengandung kesetiaan ganda kepada klien, masyarakat, atasan, dan rekan-rekan sejawat. Apabila timbul masalah dalam soal kesetiaan ini, maka harus diperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dan juga tuntutan profesinya sebagai konselor. Dalam hal ini terutama sekali harus diperhatikan ialah kepentingan klien.
i. Apabila timbul masalah antara kesetiaan kepada klien dan lembaga tempat konselor bekerja, maka konselor harus menyampaikan situasinya kepada klien dan atasannya. Dalam hal ini klien harus diminta untuk mengambil keputusan apakah dia ingin meneruskan hubungan konseling dengannya.
j. Konselor tidak akan memberikan bantuan profesional kepada sanak keluarga, teman-teman karibnya, sehingga hubungan profesional dengan orang-orang tersebut mungkin dapat terancam oleh kaburnya peranan masing-masing.
k. Klien sepenuhnya berhak untuk mengakhiri hubungan dengan konselor, meskipun proses konseling belum mencapai suatu hasil yang kongkrit. Sebaliknya konselor tidak akan melanjutkan hubungan dengan klien apabila klien tidak memperoleh manfaat dari hubungan itu.
7. Konsultasi dan Hubungan dengan Rekan atau Ahli Lainnya.
a. Dalam rangka pemberian layanan kepada klien, kalau konselor merasa ragu-ragu tentang suatu hal, maka ia harus berkonsultasi dengan rekan-rekan selingkungan profesi. Akan tetapi, untuk itu ia harus mendapat izin terlebih dahulu dari kliennya.
b. Konselor harus mengakhiri hubungan konseling dengan seorang klien bila pada akhirnya dia menyadari tidak dapat memberikan pertolongan kepda klien tersebut, baik karena kurangnya kemampuan/keahlian maupun keterbatasn pribadinya. Dalam hal ini konselor akan mengizinkan klien untuk berkonsultasi dengan petugas atau badan lain yang lebih ahli, atau ia akan mengirimkan kepada orang atau badan ahli tersebut, tetapi harus atas dasar persetujuan klien.
c. Bila pengiriman disetujui klien, maka akan menjadi tanggung jawab konselor untuk menyarankan kepada klien, orang atau badan yang mempunyai keahlian tersebut.
d. Bila konselor berpendapat klien perlu dikirim ke ahli lain, akan tetapi klien menolak kepada ahli yang disarankan oleh konselor, maka konselor mempertimbangkan apa baik buruknya kalau hubungan maru diteruskan lagi.
BAB III
HUBUNGAN KELEMBAGAAN
DAN HAK SERTAKEWAJIBAN KONSELOR
1. Jikalau konselor bertindak sebagai konsultan pada suatu keluarga, maka harus ada pengertian dan kesepakatan yang jelas antara dia dengan pihak lembaga dan dengan klien yang menghubungi konselor di tempat lembaga itu. Sebagai seorang konsultan, konselor tetap mengikuti dasar-dasar pokok profesi dan tidak bekerja atas dasar komersial.
2. Prinsip-prinsip yang berlaku dalam layanan individual, khususnya tentang penyimpangan serta penyebaran informasi tentang klien dan hubungan konfidensial antara konselor dengan kien, berlaku juga bila konselor bekerja dalam hubungan kelembagaan.
3. Setiap konselor yang bekerja dalam hubungan kelembagaan turut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan kerjasama dengan pihak atasan atau bawahannya, terutama dalam rangka layanan konseling dengan menjaga rahasia pribadi yang dipercayakan kepadanya.
4. Peraturan-peraturan kelembagaan yang diikuti oleh semua petugas dalam lembaga harus dianggap mencerminkan kebijaksanaan lembaga itu dan bukan pertimbangan pribadi. Konselor harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada atasannya. Sebaliknya dia berhak pula mendapat perlindungan dari lembaga itu dalam menjalankan profesinya.
5. Setiap konselor yang menjadi staf sutau lembaga harus mengetahui tentang program-program yang berorientasi pada kegiatan-kegiatan dari lembaga itu dari pihak lain. Pekerjaan konselor harus dianggap sebagai sumbangan khas dalam mencapai tujuan lembaga tersebut.
6. Jika dalam rangka pekerjaan dalam suatu lembaga, konselor tidak cocok dengan ketentuan-ketentuan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berlaku di lembaga tersebut, maka dia harus mengundurkan diri dari lembaga tersebut.
7. Konselor yang tidak bekerja dalam hubungan kelembagaan diharapkan mentaati kode etik jalannya sebagai konselor dan berhak untuk mendapat dukungan serta perlindungan dari rekan-rekan seprofesi.
8. Kalau konselor merasa perlu untuk melaporkan sesuatu hal tentang klien kepada pihak lain (misalnya pimpinan badan tempat ia bekerja), atau kalau ia diminta keterangan tentang klien oleh petugas suatu badan di luar profesinya, dan ia harus juga memberikan informasi itu, maka dalam memberikan informasi tersebut harus sebijaksana mungkin dengan berpedoman pada pegangan bahwa dengan berbuat begitu klien tetap dilindungi dan tidak dirugikan.
9. Konselor tidak dibenarkan menyalahgunakan jabatannya untuk maksud mencari keuntungan pribadi atau maksud-maksud lain yang dapat merugikan klien, atau menerima komisi atau balas jasa dalam bentuk yang kurang wajar.
10. Konselor harus selalu mengkaji tingkah laku dan perbuatannya apakah tidak melanggar kode etik ini.
ABKIN
PERSONALITY GURU PEMBIMBING
Modal dasar sebagai ciri personal yang harus dimiliki oleh guru pembimbing diantaranya adalah :
1. Berwawasan luas
Memiliki pandangan dan pengetahuan yang luas terutama tentang perkembangan peserta didik pada usia sekolahnya, perkembangan ilmu pengetahuan/teknologi/kesenian dan proses pembelajarannya, serta pengaruh lingkungan dan modernisasi terhadap peserta didik.
2. Menyayangi anak
Memiliki kasih sayang yang mendalam terhadap peserta didik, rasa kasih sayan ini ditampilkan oleh guru pembimbing benar-benar dari hati sanubarinya (tidak berpura-pura atau dibuat-buat) sehingga peserta didik secara langsung merasakan kasih sayang itu.
3. Sabar dan bijaksana
Tidak mudah marah dan/atau mengambil tindakan keras dan emosional yang merugikan peserta didik serta tidak sesuai dengan kepentingan perkembangan mereka. Segala tindakan yang diambil oleh guru pembimbing didasarkan pada pertimbangan yang matang.
4. Lembut dan baik hati
Tutur kata dan tindakan guru pembimbing selalu mengenakkan hati, hangat dan suka menolong.
5. Tekun dan teliti
Guru pembimbing stia mengikuti tingkah laku dan perkembangan peserta didik sehari-hari dari waktu ke waktu, dengan memperhatikan berbagai aspek yang menyertai tingkah dan perkembangan tersebut.
6. Menjadi contoh
Tingkah laku, pemikiran, pendapat, dan ucapan-ucapan guru pembimbing tidak tercela dan mampu menarik peserta didik untuk mengikutinya dengan senang hati dan suka rela.
7. Tanggap dan mampu mengambil tindakan
Guru pembimbing cepat memberikan perhatian terhadap yang terjadi dan/atau mungkin terjadi pada diri peserta didik, serta mengambil tindakan secara tepat untuk mengatasi dan/atau mengantisipasi yang akan terjadi dan/atau mungkin terjadi.
8. Memahami dan bersikap positif terhadap pelayanan bimbingan dan konseling.
Guru pembimbing memahami fungsi dan tujuan serta seluk beluk pelayanan bimbingan dan konseling, dan dengan senang hati berusaha sekuat tenaga melaksanakannya secara profesional sesuai dengan kepentingan dan perkembangan peserta didik.
9. Mempunyai modal profesional.
Mencakup kemantapan wawasan, pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap dalam bidang kajian bimbingan dan konseling. Semuanya itu dapat diperoleh melalui pendidikan da/atau pelatihan khusus dalam programm bimbingan dan konseling. Dengan modal profesional tersebut, seorang guru pembimbing akan mampu secara nyata melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling menurut kaidah-kaidah keilmuannya, teknologinya, dan kode etik profesionalnya.
ABKIN
KOMPETENSI GURU PEMBIMBING/KONSELOR SEKOLAH
I. KOMPETENSI PERSONAL
1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Menghayati kode etik dan proses pengambilan keputusan secara etis.
3. Menampilkan rasa hormat terhadap keragaman individu.
4. Menampilkan struktur nilai dan sistem keyakinan pribadi.
5. Menampilkan keterbukaan, fleksibilitas, sikap mengasihi, dan toleran di dalam melakukan interaksi profesional yang mengarah kepada pertumbuhan dan perkembangan diri sendiri dan orang lain.
6. Menampilkan arah diri dan otonomi kedirian yang mantap.
7. Bertindak secara konsisten dengan sistem nilai etis pribadi dan kode etik profesional di dalam hubungan profesionalnya.
8. Menunjukkan penampilan diri yang menarik.
9. Mempu menyesuaikan diri secara adekuat.
10. Memiliki kepercayaan dan keyakinan diri untuk bisa memberikan layanan bantuan.
11. Memiliki keikhlasan dalam menyelenggarakan pelayanan.
II. KOMPETENSI KEILMUAN
Wawasan Kependidikan dan Profesi
1. Memiliki wawasan pedagogis dalam melaksanakan layanan profesional konseling.
2. Memahami dengan baik landasasn-landasan keilmuan bimbingan dan konseling.
3. Menghayati kode etik dan proses pengambilan keputusan secara etis.
4. Mengetahui dengan baik standar dan prosedur legal yang relevan dengan setting kerjanya.
5. Aktif melakukan kolaborasi profesional dan mempelajari literaturnya.
6. Menunjukkan komitmen dan dedikasi pengembangan profesional dalam berbagai setting dan kegiatan.
7. Menampilkan sikap open minded dan profesional dalam menghadapi permasalahan klien.
8. Memantapkan prioritas (bidang layanan) profesionalnya.
9. Mengorganisasikan kegiatan sebagai wujud prioritas profesionalnya.
10. Merumuskan perannya sendiri sesuai dengan setting dan situasi kerja yang dihadapi.
Pemahaman individu dalam membangun interaksi efektif
11. Memahami teori-teori perkembangan manusia.
12. Mengidentifikasi komponen primer nilai-nilai orang lain.
13. Memilahkan/membedakan wilayah struktur nilai pribadi yang tidak sejalan dengan struktur nilai kelompok yant teridentifikasi.
14. Merespon dan berinteraksi dengan orang lain atas dasar kesadaran pikiran serta perasaan sendiri, keterbuakaan, kepekaan terhadap pikiran dan orang lain.
Konseling
15. Menghayati dan menerapkan teori kkonseling yang telah mepribadi
16. Mengembangkan kerangka pikir manusia efektif sejalan dengan kerangka pikir profesionalnya.
17. Menunjukkan kecakapan mengkaji hubungan antara teori konseling, kepribadian, belajar dan asesmen psikologis.
18. Menguasai berbgai metode dan rasionel untuk mengawali proses konseling yang sesuai dengan kepedulian klien.
19. Menyadari berbagai variabel kepribadian dirinya yang mempengaruhi proses konseling.
20. Mengkomunikasikan kepada klien tentang masalah perkembangan perilaku.
21. Mendiskripsikan proses konseling yang dapat dipahami klien.
22. Menyatakan kembali masalah klien dalam cara yang akurat dan dapat diterima klien.
23. Memilih dan melakukan kemungkinan tindakan berikut dalam menghadapi klien :
Melanjutkan dan memilih strategi konseling tertentu.
Merujuk kepada sumber-sumber nonkonseling.
Merujuk kepada konselor lain.
Mengakhiri konseling.
24. Menerapkan prinsip-prinsip belajar dalam mengembangkan situasi belajar untuk klien tertentu.
25. Menunjukkan arah tindakan dalam menghadapi masalah resistensi, permusuhan, dependensi, keengganan klien.
26. Menerapkan gaya konseling yang menyenangkan dalam menghadapi klien tertentu.
27. Mempertahankan pendekatan konseling pilihannya atas dasar pengalaman dan pengetahuannya sendiri.
28. Merespon secara tepat ekspresi perasaan klien.
Konteks multikultural dalam konseling
29. Memahami dan menyadari kekuatan konteks kultural dalam proses konseling.
30. Mengidentifikasi dinamika psikologis (motivasi, kecemasan, orientasi nilai) dalam berbagai kontkeks subkultural.
31. Mendeskripsikan dinamika sosiologis dalam berbagai konteks subkultural (keluarga, tradisi, bahasa, agama).
32. Mengokohkan hubunga antar pribadi secara profesional dalam berbagai konteks subkultural.
33. Memahami implikasi isu-isu sosial masa kini terhadap klien.
34. Menampilkan sikap open minded dan profesional dalam menghadapi kepedulian dan konflik sosial.
35. Mengintervensi sistem sosial dalam perannya sebagai agen perubahan.
36. Menunjukkan kesadaran akan pengaruh faktor gender dalam pelayanan profesionalnya.
37. Secara kritis menguji kekuatan dan kelemahan teknik dan metode konseling yang dilakukannya.
38. Menyadari kesulitan dalam menghasapi isu-isu sosial.
Asesmen lingkungan
39. Terampil menghimpun, dan menganalisi data/informasi individu.
40. Mengakses faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap perkembangan kesehatan mental.
41. Memberi pengaruh terhadap kebijakan dan prosedur kelembagaan yang dapat menumbuhkna kesempatan bagi para anggotanya.
42. Memahami organisasi formal dan informal dalam berbagai pola sistem sosial.
43. Mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan sistem sosial yang perlu diperbaiki.
44. Mendeskripsikan hal-hal perkembangan yang relevan dengan masalah konseling individu.
45. Mendeskripsikan dampak interaktif berbagai masalah perkembangan di dalam proses kelompok.
Asesmen individual
46. Mengidentifikasi secara tepat kriteria dan sumber instrumen asesmen untuk pengukuran kelompok dan individual.
47. Mengidentifikasi tes bakat, prestasi, kepribadian yang cocok untuk kepentingan sekolah dan lembaga lain sesuai dengan individu atau populasi yang akan dilayani.
48. Mengembangkan instrumen asesmen untuk kepentingan pemahaman individu dalam konteks layanan bimbingan dan konseling.
49. Menampilakn kecakapan mengadministrasikan instrumen tes baku sesuai dengan standar pelaksanaan tes.
50. Menganalisis, mengorganisasikan, dan mensintesiskan hasil tes yang diperoleh dari tes baku baik secara verbal maupun tertulis.
51. Mengaitkan hasil tes dengan tujuan, aspirasi, kecakapan dalingkungan klien.
52. Menghimpin dan mensintesiskan informasi klien dengan menggunakan teknik asesmen nontes.
Proses dan strategi kelompok
53. Menampilkan respon berikut terhadap :
Pemahaman empatik terhadap ekspresi maslah perasaan anggota.
Meningkatkan kesadaran anggota akan perasaannya dan bagaimana perasaan itu mempengaruhi perilakunya.
Meningkatkan pemahaman anggota akan keadaan perasaan saat ini.
54. Menampilkan ketepatan mengambil resiko sebagai pimpinan dan anggota kelompok dalam kelompok tertentu.
55. Menganalisis aspek-aspek nonteknis proses kelompok dalam merespon keingintahuan anggota.
56. Melakukan kegiatan konseling kelompok untuk menyampaikan informasi pribadi, pendidikan dan pekerjaa.
57. Menilai secara kritis akan kekuatan dan kelemahan kepemimpinannya sendiri atas kelompok yang dibimbingnya.
58. Memilih dan mempertahankan strategi intervensi kelompok yang dipilihnya.
59. Mefasilitasi pertumbuhan pengambilan keputusan karir dalam berbagai kelompok usia dengan menyediakan informasi karir dan menerapkan teori perkembangan manusia.
60. Memahami hakikat masalah ketrampilan belajar dan mengembangkan strategi yang tepat untuk penyembuhan dan pencegahan.
Layanan konsultasi dan mediasi
61. Mendeskripsikan perilaku situasi konsultasi yang tepat dan memadai.
62. Menyatakan rambu-rambu hubungan konsultatif.
63. Melaporkan situasi dengan tingkatan pihak-pihak yang berkonsultasi.
64. Menjelaskan metode atau prosedur untuk tindak lanjut perannya sebagai penyedia layanan konsultasi.
Riset dan konseling
65. Mengidentifikasi rujukan yang bersumber pada hasil riset.
66. Menganalisis hasil riset konseling, mengkaji hipotesis, keterbatasan dan kesimpulannya.
67. Merancang riset, melaksanakan dan menggunakan hasilnya.
68. Mengidentifikasi wilayah profesi konseling yang memerlukan riset untuk mendalaminya.
69. Mengembangkan satu atau dua alternatif rancangan riset yang akan diterapkan dalam pemecahan masalah.
70. Mengembangkan strategi riset-riset yang relevan untuk pengembangan diri, profesi, dan keberfungsian peran.
71. Menterjemahkan/memanfaatkan hasil riset kedalam implikasi “praktis”.
Pemanfaatan teknologi informasi dalam konseling
72. Memanfaatkan teknologi informasi sebagai sumber informasi bagi pengembangan diri dan kemampuan profesional.
73. Terampil menggunakan perangkat teknologi informasi untuk layanan bimbingan dan konseling.
74. Memanfaatkan teknologi informasi untuk layanan dan pengembangan profesionalnya dengan berpegang kepada standar etik.
75. Mengkomunikasikan prosedur dan langkah kerja yang dipilihnya kepada klien atau populasi layanannya.
Manajemen dan sistem pendukung
76. Mampu merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan menindaklanjuti layanan bimbingan dan konseling.
77. Mengorganisasikan dan mengalokasikan sumber daya (resources) bagi perkembangan individu.
78. Merancang program pembelajaran dan pelatihan staf.
79. Terampil mengajar dan melatih staf lain dalam konteks layanan profesinya.
80. Mensupervisi dan mengevaluasi program pengajaran/pelatihan.
81. Mampu memenej pekerjaan dan prosedur kerja.
82. Mensupervisi dan mengevaluasi program layanan bimbingan dan konseling.
83. Melaporkan proses dan layanan bimbingan dan konseling.
III. KOMPETENSI SOSIAL
1. Berkomunikasi efektif dalam interaksi dengan pihak terkait dengan layanan bimbingan dan konseling.
2. Mengembangkan interaksi produktif.
3. Mengembangkan, mengokohkan dan memelihara hubungan kolaboratif dengan pihak terkait dengan layanan bimbingan dan konseling.
4. Memiliki kemampuan memahami orang lain.
5. Mengembangkan hubungan dan jaringan kerja (net work) dengan berbgai pihak terkait.
6. Memanifestasikan kepekaan dan toleransi terhadap perasaan manusia dalam berbagai setting interaksi.
Rabu, 23 Maret 2011
KODE ETIK KONSELOR INDONESIA
Diposting oleh Gieone di 3/23/2011 10:52:00 AM 0 komentar
PENGEMBANGAN DIRI MELALUI PELAYANAN KONSELING
A. STRUKTUR PELAYANAN KONSELING
Pelayanan konseling di sekolah/madrasah merupakan usaha membantu peserta didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kegiatan belajar, serta perencanaan dan pengembangan karir. Pelayanan konseling memfasilitasi pengembangan peserta didik, secara individual, kelompok dan atau klasikal, sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, perkembangan, kondisi, serta peluang-peluang yang dimiliki. Pelayanan ini juga membantu mengatasi kelemahan dan hambatan serta masalah yang dihadapi peserta didik.
1. Pengertian Konseling
Konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan perencanaan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku.
2. Paradigma, Visi, dan Misi
a. Paradigma
Paradigma konseling adalah pelayanan bantuan psiko-pendidikan dalam bingkai budaya. Artinya, pelayanan konseling berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan dan teknologi pendidikan serta psikologi yang dikemas dalam kaji-terapan pelayanan konseling yang diwarnai oleh budaya lingkungan peserta didik.
b. Visi
Visi pelayanan konseling adalah terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang membahagiakan melalui tersedianya pelayanan bantuan dalam pemberian dukungan perkembangan dan pengentasan masalah agar peserta didik berkembang secara optimal, mandiri dan bahagia.
c. Misi
1) Misi pendidikan, yaitu memfasilitasi pengembangan peserta didik melalui pembentukan perilaku efektif-normatif dalam kehidupan keseharian dan masa depan.
2) Misi pengembangan, yaitu memfasilitasi pengembangan potensi dan kompetensi peserta didik di dalam lingkungan sekolah/ madrasah, keluarga dan masyarakat.
3) Misi pengentasan masalah, yaitu memfasilitasi pengentasan masalah peserta didik mengacu pada kehidupan efektif sehari-hari.
3. Bidang Pelayanan Konseling
a. Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai, dan mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik.
b. Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas.
c. Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar dalam rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri.
d. Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir.
4. Fungsi Konseling
a. Pemahaman, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memahami diri dan lingkungannya.
b. Pencegahan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mampu mencegah atau menghindarkan diri dari berbagai permasalahan yang dapat menghambat perkembangan dirinya.
c. Pengentasan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mengatasi masalah yang dialaminya.
d. Pemeliharaan dan pengembangan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memelihara dan menumbuh-kembangkan berbagai potensi dan kondisi positif yang dimilikinya.
e. Advokasi, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memperoleh pembelaan atas hak dan atau kepentingannya yang kurang mendapat perhatian.
5. Prinsip dan Asas Konseling
a. Prinsip-prinsip konseling berkenaan dengan sasaran layanan, permasalahan yang dialami peserta didik, program pelayanan, serta tujuan dan pelaksanaan pelayanan.
b. Asas-asas konseling meliputi asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan, kegiatan, kemandirian, kekinian, kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan, keahlian, alih tangan kasus, dan tut wuri handayani.
6. Jenis Layanan Konseling
a. Orientasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah/madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran peserta didik di lingkungan yang baru.
b. Informasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan.
c. Penempatan dan Penyaluran, yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstra kurikuler.
d. Penguasaan Konten, yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terumata kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah, keluarga, dan masyarakat.
e. Konseling Perorangan, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadinya.
f. Bimbingan Kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok.
g. Konseling Kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok.
h. Konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik.
i. Mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antarmereka.
7. Kegiatan Pendukung
a. Aplikasi Instrumentasi, yaitu kegiatan mengumpulkan data tentang diri peserta didik dan lingkungannya, melalui aplikasi berbagai instrumen, baik tes maupun non-tes.
b. Himpunan Data, yaitu kegiatan menghimpun data yang relevan dengan pengembangan peserta didik, yang diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematis, komprehensif, terpadu, dan bersifat rahasia.
c. Konferensi Kasus, yaitu kegiatan membahas permasalahan peserta didik dalam pertemuan khusus yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik, yang bersifat terbatas dan tertutup.
d. Kunjungan Rumah, yaitu kegiatan memperoleh data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik melalui pertemuan dengan orang tua dan atau keluarganya.
e. Tampilan Kepustakaan, yaitu kegiatan menyediakan berbagai bahan pustaka yang dapat digunakan peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan sosial, kegiatan belajar, dan karir/jabatan.
f. Alih Tangan Kasus, yaitu kegiatan untuk memindahkan penanganan masalah peserta didik ke pihak lain sesuai keahlian dan kewenangannya.
8. Format Kegiatan
a. Individual, yaitu format kegiatan konseling yang melayani peserta didik secara perorangan.
b. Kelompok, yaitu format kegiatan konseling yang melayani sejumlah peserta didik melalui suasana dinamika kelompok.
c. Klasikal, yaitu format kegiatan konseling yang melayani sejumlah peserta didik dalam satu kelas.
d. Lapangan, yaitu format kegiatan konseling yang melayani seorang atau sejumlah peserta didik melalui kegiatan di luar kelas atau lapangan.
e. Pendekatan Khusus, yaitu format kegiatan konseling yang melayani kepentingan peserta didik melalui pendekatan kepada pihak-pihak yang dapat memberikan kemudahan.
9. Program Pelayanan
a. Jenis Program
1) Program Tahunan, yaitu program pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu tahun untuk masing-masing kelas di sekolah/madrasah.
2) Program Semesteran, yaitu program pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran program tahunan.
3) Program Bulanan, yaitu program pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu bulan yang merupakan jabaran program semesteran.
4) Program Mingguan, yaitu program pelayanan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu minggu yang merupakan jabaran program bulanan.
5) Program Harian, yaitu program pelayanan konseling yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu dalam satu minggu. Program harian merupakan jabaran dari program mingguan dalam bentuk satuan layanan (SATLAN) dan atau satuan kegiatan pendukung (SATKUNG) konseling.
b. Penyusunan Program
1) Program pelayanan konseling disusun berdasarkan kebutuhan peserta didik (need assessment) yang diperoleh melalui aplikasi instrumentasi.
2) Substansi program pelayanan konseling meliputi keempat bidang, jenis layanan dan kegiatan pendukung, format kegiatan, sasaran pelayanan, dan volume/beban tugas konselor.
B. PERENCANAAN KEGIATAN
1. Perencanaan kegiatan pelayanan konseling mengacu pada program tahunan yang telah dijabarkan ke dalam program semesteran, bulanan serta mingguan.
2. Perencanaan kegiatan pelayanan konseling harian yang merupakan jabaran dari program mingguan disusun dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG yang masing-masing memuat:
a. Sasaran layanan/kegiatan pendukung
b. Substansi layanan/kegiatan pendukung
c. Jenis layanan/kegiatan pendukung, serta alat bantu yang digunakan
d. Pelaksana layanan/kegiatan pendukung dan pihak-pihak yang terlibat
e. Waktu dan tempat
3. Rencana kegiatan pelayanan konseling mingguan meliputi kegiatan di dalam kelas dan di luar kelas untuk masing-masing kelas peserta didik yang menjadi tanggung jawab konselor.
4. Satu kali kegiatan layanan atau kegiatan pendukung konseling berbobot ekuivalen 2 (dua) jam pembelajaran.
5. Volume keseluruhan kegiatan pelayanan konseling dalam satu minggu minimal ekuivalen dengan beban tugas wajib konselor di sekolah/ madrasah.
C. PELAKSANAAN KEGIATAN
1. Bersama pendidik dan personil sekolah/madrasah lainnya, konselor berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pengembangan diri yang bersifat rutin, insidental dan keteladanan.
2. Program pelayanan konseling yang direncanakan dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis kegiatan, waktu, tempat, dan pihak-pihak yang terkait.
3. Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan Konseling
a. Di dalam jam pembelajaran sekolah/madrasah:
1) Kegiatan tatap muka secara klasikal dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan informasi, penempatan dan penyaluran, penguasaan konten, kegiatan instrumentasi, serta layanan/kegiatan lain yang dapat dilakukan di dalam kelas.
2) Volume kegiatan tatap muka klasikal adalah 2 (dua) jam per kelas per minggu dan dilaksanakan secara terjadwal
3) Kegiatan tidak tatap muka dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan konsultasi, kegiatan konferensi kasus, himpunan data, kunjungan rumah, pemanfaatan kepustakaan, dan alih tangan kasus.
b. Di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah:
1) Kegiatan tatap muka dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan orientasi, konseling perorangan,, bimbingan kelompok, konseling kelompok, dan mediasi, serta kegiatan lainnya yang dapat dilaksanakan di luar kelas.
2) Satu kali kegiatan layanan/pendukung konseling di luar kelas/di luar jam pembelajaran ekuivalen dengan 2 (dua) jam pembelajaran tatap muka dalam kelas.
3) Kegiatan pelayanan konseling di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah maksimum 50% dari seluruh kegiatan pelayanan konseling, diketahui dan dilaporkan kepada pimpinan sekolah/madrasah.
4. Kegiatan pelayanan konseling dicatat dalam laporan pelaksanaan program (LAPELPROG).
5. Volume dan waktu untuk pelaksanaan kegiatan pelayanan konseling di dalam kelas dan di luar kelas setiap minggu diatur oleh konselor dengan persetujuan pimpinan sekolah/madrasah.
6. Program pelayanan konseling pada masing-masing satuan sekolah/madrasah dikelola dengan memperhatikan keseimbangan dan kesinambungan program antarkelas dan antarjenjang kelas, dan mensinkronisasikan program pelayanan konseling dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran dan kegiatan ekstra kurikuler, serta mengefektifkan dan mengefisienkan penggunaan fasilitas sekolah/ madrasah.
D. PENILAIAN KEGIATAN
1. Penilaian hasil kegiatan pelayanan konseling dilakukan melalui:
a. Penilaian segera (LAISEG), yaitu penilaian pada akhir setiap jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling untuk mengetahui perolehan peserta didik yang dilayani.
b. Penilaian jangka pendek (LAIJAPEN), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu minggu sampai dengan satu bulan) setelah satu jenis layanan dan atau kegiatan pendukung konseling diselenggarakan untuk mengetahui dampak layanan/kegiatan terhadap peserta didik.
c. Penilaian jangka panjang (LAIJAPANG), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu bulan sampai dengan satu semester) setelah satu atau beberapa layanan dan kegiatan pendukung konseling diselenggarakan untuk mengetahui lebih jauh dampak layanan dan atau kegiatan pendukung konseling terhadap peserta didik.
2. Penilaian proses kegiatan pelayanan konseling dilakukan melalui analisis terhadap keterlibatan unsur-unsur sebagaimana tercantum di dalam SATLAN dan SATKUNG, untuk mengetahui efektifitas dan efesiensi pelaksanaan kegiatan.
3. Hasil penilaian kegiatan pelayanan konseling dicantumkan dalam LAPELPROG.
4. Hasil kegiatan pelayanan konseling secara keseluruhan dalam satu semester untuk setiap peserta didik dilaporkan secara kualitatif.
E. PELAKSANA KEGIATAN
1. Pelaksana kegiatan pelayanan konseling adalah konselor sekolah/ madrasah.
2. Konselor pelaksana kegiatan pelayanan konseling di sekolah/madrasah wajib:
a. Menguasai spektrum pelayanan pada umumnya, khususnya pelayanan profesional konseling.
b. Merumuskan dan menjelaskan peran profesional konselor kepada pihak-pihak terkait, terutama peserta didik, pimpinan sekolah/ madrasah, sejawat pendidik, dan orang tua.
c. Melaksanakan tugas pelayanan profesional konseling yang setiap kali dipertanggungjawabkan kepada pemangku kepentingan, terutama pimpinan sekolah/madrasah, orang tua, dan peserta didik.
d. Mewaspadai hal-hal negatif yang dapat mengurangi keefektifan kegiatan pelayanan profesional konseling.
e. Mengembangkan kemampuan profesional konseling secara berkelanjutan.
3. Beban tugas wajib konselor ekuivalen dengan beban tugas wajib pendidik lainnya di sekolah/madrasah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
4. Pelaksana pelayanan konseling
a. Pelaksana pelayanan konseling di SD/MI/SDLB pada dasarnya adalah guru kelas yang melaksanakan layanan orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran, dan penguasaan konten dengan menginfusikan materi layanan tersebut ke dalam pembelajaran, serta untuk peserta didik Kelas IV, V, dan VI dapat diselenggarakan layanan konseling perorangan, bimbingan kelompok, dan konseling kelompok.
b. Pada satu SD/MI/SDLB atau sejumlah SD/MI/SDLB dapat diangkat seorang konselor untuk menyelenggarakan pelayanan konseling.
c. Pada satu SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB/SMK/MAK dapat diangkat sejumlah konselor dengan rasio seorang konselor untuk 150 orang peserta didik.
F. PENGAWASAN KEGIATAN
1. Kegiatan pelayanan konseling di sekolah/madrasah dipantau, dievaluasi, dan dibina melalui kegiatan pengawasan.
2. Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara:
a. interen, oleh kepala sekolah/madrasah.
b. eksteren, oleh pengawas sekolah/madrasah bidang konseling.
3. Fokus pengawasan adalah kemampuan profesional konselor dan implementasi kegiatan pelayanan konseling yang menjadi kewajiban dan tugas konselor di sekolah/madrasah.
4. Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara berkala dan berkelanjutan.
5. Hasil pengawasan didokumentasikan, dianalisis, dan ditindaklanjuti untuk peningkatan mutu perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pelayanan konseling di sekolah/madrasah.
Diposting oleh Gieone di 3/23/2011 10:49:00 AM 0 komentar
KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
(K T S P)
I. PENDAHULUAN
Pada tahun ajaran 2005/2006 setelah diberlakukannya kurikulum berbasis kompetensi, setahun kemudian yaitu pada tahun ajaran 2006/2007 di terbitkan kebijakan baru mengenai pemberlakuan pengorganisasian kurikulum yang dikenal dengan istilah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dengan batas akhir penerapan di sekolah pada tahun ajaran 2009/2010.
Kebijakan yang dimaksud adalah UU Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, PP No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Permen No.22 tahun 2006 tantang Standar Isi, dan Permen No.23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Dimana kebijakan-kebijakan tersebut di atas merupakan landasan dalam pengembangan dan penyusunan KTSP.
Efektifitas implementasi kurikulum (proses pembelajaran) sangat dipengaruhi oleh empat komponen, yaitu; rumusan tujuan, penentuan materi/isi, pemilihan metode, dan evaluasi. Pengembangan pemikiran dan strategi pembelajaran dengan menggunakan empat komponen kurikulum tersebut, menghasilkan pola pembelajaran yang berbeda, yang disesuaikan dengan tuntutan psikologis anak, tuntutan masyarakat, dan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni.
Selain dari pengaruh empat komponen tersebut, hal paling penting lainnya adalah posisi implementator dalam hal ini guru, guru dipandang perlu untu dapat memperhatikan berbagai perubahan cara pandang terhadap belajar dan mengajar seiring dengan perubahan pada setiap aspek kehidupan, dalam rangka untuk melakukan langkah perbaikan dan penyesuaian disesuaikan dengan tuntutan jaman. Namun fakta dilapangan menunjukkan belum adanya perubahan yang signifikan dari berbagai perubahan kurikulum yang ada terhadap kualitas proses dan hasil pembelajaran siswa, terutama pada aspek relevansi kurikulum dan pembelajaran pada kondisi aktual.
Hadirnya kurikulum berbasis kompetensi yang dikenal dengan istilah kurikulum 2004, memberikan nuansa baru yang ditanggapi dalam dua perfektif. Persfektif pertama, bahwa kurikulum tersebut membuat “dilema” bagi para guru, pasalnya bagaimana implementasi KBK dalam kondisi sesungguhnya untuk setiap mata pelajaran yang ada. Persfektif kedua, bahwa kurikulum KBK memberikan penguatan terhadap relevansi pembelajaran yang dilakukan di sekolah dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja/industri, yaitu dengan mengedepankan kompetensi minimal pada suatu “job” tertentu yang ada di lingkungan (masyarakat, dunia kerja/industri), baik untuk kebutuhan proses pembelajaran maupun output pembelajaran.
Perkembangan terbaru saat ini adalah munculnya penerapan KTSP oleh lembaga penyelenggara pendidikan dilingkungan Dinas Pendidikan. Kehadiran KTSP tidak serta menjadi solusi alternatif bagi berbagai “dilema” yang menutupi pendidikan karena berbagai faktor. Penulis dalam hal ini mengidentifkasi beberapa hal yang berkaitan dengan hadirnya KTSP, yaitu diantaranya:
a. KTSP muncul tidak lama setelah terbitnya kurikulum 2004, sehingga di lapangan menimbulkan pertanyaan apakah ini kurikulum baru yang merupakan revisi terhadap kurikulum 2004.
b. KTSP merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dikembangkan oleh sekolah (guru dan stakeholder lainnya), sementara “mereka” biasanya menerima segala sesuatu secara terpusat.
c. Kesiapan data-data yang diprasyaratkan dalam KTSP belum sepenuhnya siap, karena dalam hal kecil guru pada umumnya tidak memiliki buku administrasi guru secara utuh.
d. Bagaimana hubungan antara pembelajaran dengan menggunakan formula KTSP dengan tuntutan ujian nasional (UNAS)?, yang secara filosofis memang berbeda.
e. Penyusunan dan pengembangan KTSP melibatkan banyak unsur, diantaranya; guru-guru, unsur pimpinan sekolah, pengawas, dinas pendidikan/depag terkait, dan komite sekolah. Hal ini merupakan kesulitan tersendiri karena sulit untuk dipertemukan secara langsung.
f. Adanya pengurangan jam pelajaran yang sangat dirasakan dampaknya bagi guru-guru di lembaga pendidikan swasta.
g. Unsur standar pendukung pelaksanaan KTSP belum diterbitkan seluruhnya saat ini baru terbit dua standar dari delapan standar yang ditetapkan, yaitu SKL (santdar kompetensi lulusan) dan SI (standar isi).
Terlepas dari sejumah “dilemma” yang ada sehubungan dengan ditetapkannya kebijakan mengenai penerapan KTSP, penulis dalam hal ini akan mengkaji secara khusus mengenai KTSP dipandang dari sudut akademik, sehingga mudah-mudahan akan memberikan gambaran mengenai peluang, harapan dan tantangan bagi penyelenggara pendidikan pada setiap jenjang pendidikan dalam penerapam KTSP.
KTSP merupakan sebuah kebijakan yang harus dilakukan oleh setiap satuan pendidikan, saat ini tugas kita adalah memahami dan memaknai KTSP sebagai sebuah produk inovasi dalam pengorganisasian kurikulum saat ini, untuk dapat disesuaikan dan diterapkan, melalui peroses pembelajaran KTSP akan diuji apakah KTSP merupakan hal baru yang memberikan solusi pendidikan dalam jangka panjang atau mungkin hanya merupakan solusi sementara sebagai “project work” semata dalam dunia pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas, untuk memfokuskan pembahasan penulis merumuskan beberapa pertanyaan pokok, yang akan dijadikan landasan dalam melakukan pengkajian, diantaranya:
1. Bagaimana perkembangan inovasi kurikulum dan pembelajaran sebelumnya lahirnya KTSP?
2. Apa yang dimaksud dengan KTSP dan Bagaimana hubungannya dengan KBK atau kurikulum 2004?
3. Bagaimana prosedur pengembangan kurikulum dengan menggunakan format KTSP?
II. PEMBAHASAN
A. Perkembangan Inovasi-Inovasi Kurikulum dan Pembelajaran
Perkembangan pendidikan di Indonesia ditandai dengan lahirnya berbagai inovasi pendidikan yang didalamnya terdapat inovasi kurikulum dan inovasi pembelajaran, yang diperkuat dengan berbagai kebijakan pada masa inovasi tersebut diterapkan. Secara spesifik makalan ini menyajikan berbagai inovasi kurikulum dan pembelajaran yang telah dan sedang dilakukan hingga saat ini.
Inovasi merupakan suatu ide yang dituangkan dan bersifat baru, walaupun sesungguhnya tidak ada sesuatu hal yang baru seutuhnya tetapi merupakan penyesuaian dan perbaikan dari hal yang telah ada. Karakteristik suatu inovasi adalah; kreatif, baru, praktis, perubahan nilai, ekonomis, dan merupakan suatu terobosan. Dan lingkup inovasi terdiri dari tiga bagian yaitu inivasi struktur (SD 5 tahun), inovasi materi (materi teknologi informasi dan komunikasi untuk SMU tahun 2004), dan inovasi proses (e-learning) melalui tahapan konwledge, persuasion, decision, implmentation, dan confirmation (Rogers,1983:164)
Sebagai gambaran awal, berikut ini akan disajikan mengenai beberapa perkembangan kurikulum khususnya di Indonesia dimulai dari tahun 1968 hingga 2004 dan 2006 dengan spesifikasi orientasi dari masing kurikulum-kurikulum tersebut, secara garis besar perkembangan tersebut disajikan dalam tabel 1, sebagai berikut:
Tabel. 1
Perkembangan Kurikulum Di Indonesia
NO TAHUN FOKUS ORIENTASI
1 1968 Subject Matter (mata pelajaran)
2 1975 Terminal Objectives (TIU, TIK)
3 1984 Keterampilan Proses (CBSA Project)
4 1994 Munculnya pembagian kamar antara kurikulum nasional dengan kurikulum muatan local
5 2004 Kurikulum Berbasis Kompetensi
6 2006 Kurikulum berbasis lokal (daerah/satuan pendidikan)
Dengan melihat pada isi tabel 1 di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa a). perubahan atau penyesuaian kurikulum tersebut relatif dilakukan dalam periode yang relatif konstan yaitu antara 8 hingga 10 tahun, b). perubahan mencakup aspek proses dan materi, c). perkembangan terakhir menunjukkan konsentrasi pendidikan untuk meningkatkan mutu dan relevansinya bagi masyarakat dan lingkungan.
Kemudian untuk lebih menambah khasanah perkembangan, dibawah ini ditambahkan dengan perkembangan pembelajaran sebagai bentuk inovasi. Secara umum proses pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar yaitu pembelajaran tradisional, pembelajaran progresif, dan pembelajaran modern. Untuk lebih jelasnya untuk membedakan ketiga perkembangan tersebut dalam kaitan dengan pembelajaran disajikan dalam tabel 2 sebagai berikut:
Tabel. 2
Perkembangan Pembelajaran
ASPEK TRADISIONAL PROGRESIF MODERN
Tujuan Transfer Perkembangan Pribadi Penerapan
Pendekatan Unsur-unsur Keutuhan, bakat, minat Daerah kehidupan
Materi Text Book Keinginan Siswa Masyarakat
Metoda Formal Step, Asosiasi Discovery, Problem Solving, independent study Karyawisata, kemah, survey, pembelajaran proyek
Guru Berkuasa Tidak Berkuasa, siswa aktif Siswa aktif dengan bimbingan guru
Evaluasi Dikembangkan guru berdasar-kan tuntutan pengetahuan Self evaluation Oleh siswa, guru dan masyarakat
Pembelajaran saat ini lebih cenderung diarahkan pada pembelajaran modern yaitu dengan menekankan pada aspek kebutuhan dan tuntutan masyarakat dalam lingkup yang luas, seperti lingkungan masyarakat sekitar, dunia kerja, dunia industri, dsb. Meskipun dalam pelaksanaannya tidak menghilangkan unsur pembelajaran tradisional dan pembelajaran progresif namun lebih mengedepankan unsur modernnya atau dengan kata lain lebih meningkatkan relevansi selain dari mutu dan efektivitas pembelajaran.
Perkembangan kurikulum dan pembelajaran seperti uraian di atas, menunjukkan kepada kita bahwa telah terjadi pergeseran cara berfikir mengenai kurikulum dan pembelajaran yang perlu disikapi secara ilmiah.
Perkembangan terbaru dalam pendidikan dan kurikulum yaitu lahirnya kurikulum 2006 dengan diikuti populernya istilah KTSP. Persepsi masyarakat pendidikan pada umumnya dalam memandang KTSP sebagai model baru kurikulum sebagai pengganti KBK (kurikulum 2004), secara teoritik model pengembangan kurikulum yang sejalan dengan paradigma KTSP adalah model Tyler (objective model), model grassroot dari Hilda Taba, Model kurikulum transmisi dari Miller-Seller, dan lain sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis beranggapan bahwa KTSP adalah sebuah istilah/penamaan dari suatu bentuk pengelolaan dan pengorganisasian kurikulum sebagai implikasi dilaksanakannya otonomi daerah khususnya dalam bidang pendidikan, hipotesa penulis didasari pengertian KTSP, prinsip-prinsip, dan prosedur penyusunan KTSP yang akan diuraikan pada bagian berikutnya dalam makalah ini.
Sebagai pengayaan informasi penulis mencoba mendekatkan antara KTSP dengan SBCD (School-Based Curriculum Development) yang diterapkan di Australia melalui tulisan Laurie Brady “Curriculum Development: Third Edition” (1990). Brady mengatakan bahwa SBCD didalamnya “........... school and teacher greater autonomy in curriculum decisions”, pernyataan tersebut didasari pada asumsi bahwa “ ..... that curriculum decisions should be made by the teacher who are implementing them and that decisions should be shared by all who are involved”.
Trend munculnya SBCD adalah adanya desentralisasi dalam paradigma pengelolaan bidang kehidupan, tingginya tuntutan terhadap profesionalisme guru, perlunya kebebasan sekolah untuk menentukan dan mengembangkan program studi, dan keterlibatan guru secara langsung dalam proses pengembangan kurikulum. Lebih lanjut Brady mengatakan bahwa peran sekolah dalam proses pengembangan kurikulum adalah “ school must be involved in selecting content, having regard for available resources, to meets its own objectives and to cuter for students of different level of maturation”.
Beberapa karakteristik pelaksanaan SBCD di Australia adalah sebagai berikut:
1. Melibatkan sekolah dan guru dalam membuat keputusan pengembangan dan implementasi kurikulum.
2. Menjalin hubungan antara beberapa sekolah dalam proses pengembangan kurikulum.
3. lebih berorientasi pada selective dan adaptive dari pada creative.
4. Merupakan proses kontinu dan dinamis dengan melibatkan guru, siswa dan masyarakat.
5. Membutuhkan dukungan dari berbagai elemen terkait.
6. Mengubah aturan/pola guru yang tradisional (perubahan peran guru kearah profesionalisme).
7. Adanya perpindahan tanggung jawab dalam pembuatan keputusan kurikulum daripada memutuskan hubungan atau jalur dengan pusat.
Beberapa reaksi terhadap SBCD seperti ditulis Brady adalah: terasa berat melakukan perubahan peran guru dari pelaksana menjadi pengembang, lemahnya keahlian/kemampuan guru dan kurangnya pengalaman dan pengetahuan mengenai pengembangan kurikulum yang disediakan di sekolah, masalah usia; karena usia merefleksikan pengalaman mengajar, insentif; yaitu suatu upaya untuk memotivasi guru terlibat dalam SBCD, dan support structure; perlunya dukungan sekolah secara hirarkikal.
Berdasarkan beberapa kutipan yang penulis ambil dalam bukunya Brady (1990), pada hakekatnya terdapat beberapa kesamaan orientasi antara SBCD yang diungkap oleh Brady pada tahun 1990 dengan KTSP yang saat ini merupakan hal yang dianggap “kebaruan” dalam masyarakat pendidikan di Indonesia. Sehingga SBCD dapat menjadi salah satu rujukan dalam desain, pengelolaan, pemanfaatan, penggunaan, dan evaluasi KTSP yang sekarang sedang digalakan oleh pemerintah dalam hal ini adalah dinas pendidikan indonesia dari tingkat pusat hingga tingkat daerah.
B. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Proses desentralisasi pendidikan (kurikulum) pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah. Melalui desentralisasi pendidikan (kurikulum) diharapkan masing-masing daerah memiliki peluang untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah.(Masriam Bukit:2004).
Burki et.al. (1999). Menyarankan aspek-aspek pendidikan yang dapat didesentralisasikan, yaitu; sistem pembelajaran, manajemen personalia, perencanaan dan struktur, serta sumber daya. Salah satu jenis keputusan yang dapat didesentralisasikan dari aspek pembelajaran adalah pengembangan kurikulum.
Terdapat sejumlah kegiatan strategis pada pengembangan kurikulum yang perlu dipersiapkan sehubungan dengan desentralisasi kurikulum, (Glatthom, 1994) mengatakan terdapat sejumlah kegiatan yang menjadi tanggung jawab daerah, yaitu: pembentukkan komite pengembangan kurikulum di daerah (jarkum), peletakkan landasan-landasan, perumusan panduan pengembangan kurikulum, menyusun dan mengatur strategi implementasi yang efektif, dan penyelenggaraan audit kurikulum guna menjamin mutu.
Kurikulum yang ada sekarang dikembangkan dengan pengelolaan atau pendekatan desentralistik. Hal ini merupakan implikasi dari keseluruhan pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia yang didasarkan pada berbagai perundangan yang telah ditetapkan, antara lain UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Bab III Pembagian Urusan Pemerintahan Pasal 14 Ayat 1 yang menegaskan bahwa Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah/Kota antara lain pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan.
Tuntutan utama dari pendekatan desentralistik adalah tuntutan kemampuan setiap pengembang kurikulum yang harus menyebar dari tingkat pusat, daerah, sampai pada tingkat satuan pendidikan di sekolah. Kemampuan pengembangan kurikulum pada setiap tingkatan bukan mengikuti jenjang birokrasi tetapi merata dan tidak memiliki perbedaan yang jauh antara pengembang kurikulum tingkat pusat, daerah maupun pada unit satuan pendidikan karena mereka memiliki fungsi masing-masing dalam skenario besar secara nasional. Kesenjangan yang selama ini terjadi sebagai akibat dari kurangnya pemahaman implementasi kurikulum pada tingkat daerah dan satuan pendidikan sehingga pada saat daerah diberi wewenang untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kondisi lingkungan dan sumber daya pendidikan di masing-masing daerah, tim pengembangan kurikulum daerah cenderung menanti petunjuk pelaksanaan dari pusat.
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. KTSP dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan serta berpedoman pada panduan yang telah disusun oleh BNSP (Badan Standar Nasional Pendidikan). (PP No.19 Th.2005, Pasal 17).
Pada hakekatnya KTSP merupakan inovasi dari pengorganisasian kurikulum yang dilimpahkan dari pusat ke daerah dalam hal ini lebih mengerucut pada level satuan pendidikan atau sekolah. oleh karena itu dalam pengembangannya disesuaikan dengan karakteristik satuan pendidikan, potensi dan karakteristik daerah, sosial budaya, masyarakat, dan karakteristik peserta didik.
Perbedaan mendasar dari kurikulum 2004 dengan KTSP adalah khususnya dalam penyusunan dan pengembangan indikator pencapaian kompetensi ditentukan oleh satuan pendidikan dalam hal ini guru dengan mengacu pada Standar Isi yang ditetapkan secara nasional. Secara umum konten dan system kompetensi pada kurikulum 2004 masih digunakan pada kurikulum 2006 atau KTSP, oleh karena itu penguasaan kedua kurikulum tersebut saling berkaitan erat.
Kurikulum 2004 ataupun 2006 berorientasi pada penggunaan standar, oleh karenanya didalam pengembangan kurikulum mengacu pada standar kurikulum (standar kompetensi lulusan dan standar isi). Menurut Ibrahim (2002:22) bahwa standar kurikulum dapat diartikan sebagai perangkat rumusan tentang apa yang harus dipelajari dan dikuasai siswa oleh peserta didik maupun kadar/tingkat penguasaan yang diharapkan dari peserta didik, dalam setiap bidang/mata pelajaran pada masing-masing satuan pendidikan.
Pernyataan Ibrahim (2002) tersebut sejalan dengan penerapan KTSP saat ini yang berorientasi pada penggunaan standar yang dikeluarkan oleh BNSP, khususnya untuk standar isi yang mencerminkan apa yang harus dipelajari dan dikuasai oleh peserta didik dan standar kompetensi kelulusan yang memperlihatkan standar perilaku atau kinerja (performance standards), yang tercermin dalam pernyataan kadar /tingkat penguasaan yang diharapkan dari peserta didik.
Selain dari dimensi standar apa yang harus dikuasai dan kadar penguasaan yang diharapkan, terdapat pula dimensi waktu (when), yaitu kapan standar isi dan standar kelulusan tersebut harus dikuasai peserta didik, atau dengan kata lain pada tingkat/kelas/semester berapa penguasaan suatu kemampuan tersebut diharapkan dapat dikuasai.
Pola pembelajaran berbasis kompetensi dilakukan dengan melakukan langkah mengidentifikasi SKL yang telah ditetapkan oleh BNSP, kemudian mengidentifikasi standar kompetensi dan kompetensi dasar dengan mengacu pada standar isi yang telah ditetapka oleh BNSP, kemudian guru dan pihak-pihak terkait merumuskan indikator pancapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar, menetapkan alat evaluasi (uji kompetensi), merumuskan materi/bahan ajar, metode, media dan sumber-sumber belajar yang dibutuhkan.
Secara ideal seharusnya didalam pengembangan KTSP perlu didukung oleh enam standar lainnya selain SI dan SKL seperti yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003. Standar Kompetensi Lulusan, untuk menentukan performance yang diharapkan dari peserta didik setelah melalui proses pembelajaran. Standar Isi, untuk menentukan kedalaman dan keluasan materi minimum yang harus dipelajari dan dikuasai peserta didik. Standar Proses, sebagai acuan proses pembelajaran terstandar yang harus dilakukan oleh satuan pendidikan sebagai bentuk pelayanan prima bagai peserta didik (masyarakat). Standar Penilaian, sebagai acuan dalam proses evaluasi baik formatif, ataupun sumatif, juga untuk pelaksanaan sertifikasi pada uji kompetensi. Standar Tenaga Kependidikan, digunakan sebagai prasyarat kemampuan minimum instruktur atau guru di dalam membimbing peserta didik untuk menempuh dan mencapai tujuan pembelajaran (standar kompetensi dan kompetensi dasar). Standar Sarana Dan Prasarana, standar ini dibutuhkan untuk dapat menjalankan proses pemelajaran yang membutuhkan srsna dan prasarana minimum yang harus disediakan oleh satuan pendidikan, agar dapat mencapai kualitas hasil dan proses pemelajaran. Standar Pembiayaan, merupakan standar kebutuhan finansial untuk penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran yang berkualitas dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dan Standar Pengelolaan, standar ini adalah bentuk pelayanan utama yang dapat diketahui dan dirasakan secara langsung oleh masyarakat pada setiap satuan pendidikan ataupun oleh masyarakat sebagai stakeholder pendidikan.
Mungkin dengan adanya berbagai keterbatasan baik secara politis, ekonomis, sosiologis, hukum dan lain sebagainya, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional melalui BNSP baru menerbitkan dua standar yaitu SKL, dan SI, yang wajib dijadikan acuan dalam pengembangan dan penyusunan KTSP.
Pada makalah ini jika penulis mengembangkan kurikulum implementatif khususnya di SMK lebih tertarik pada model pengembangan kurikulum sistemik dari Romiszowski, karena model sistematik (system Approach) sangat relevan digunakan untuk mengembangkan kurikulum, desain pembelajaran, dan desian program khusus pelatihan, Romiszowski dikutif dalam Oemar H (2000:68-70) menuliskan langkah pengembangan kurikulum model sistematik dilakukan dengan 14 langkah, sebagai berikut:
I. Deskripsi Tugas, Kegiatan merancang suatu program harus dimulai dari identifikasi tugas-tugas yang menjadi tuntutan suatu pekerjaan.
II. Analisis Tugas, Tugas-tugas yang telah ditetapkan secara dimensional dijabarkan menjadi seperangkat tugas yang lebih rinci.
III. Menetapkan Kemampuan, Setiap kemampuan hendaknya didasarkan pada kriteria kognitif, afektif dan performance, serta produktif dan ekploratoris.
IV. Spesifikasi Kemampuan, Setiap kemampuan dirinci menjadi pengetahuan, sikap, dan keterampilan-keterampilan.
V. Kebutuhan Pendidikan dan Latihan, Menentukan jenis pendidikan/latihan yang diperlukan untuk mengembangkan setiap kemampuan yang telah ditetapkan.
VI. Perumusan Tujuan Kompetensi/Kemampuan, Perumusan tujuan koheren dengan kompetensi yang akan dikembangkan.
VII. Kriteria Keberhasilan, Sebagai indikator keberhasilan suatu program dibuktikan jika lulusan dapat menunjukkan kemampuan dalam melaksanakan tugas yang telah ditentukan.
VIII. Organisasi dan Isi, Langkah ini menekankan pada pengorganisasian materi pelajaran yang akan disampaikan untuk mencapai kemampuan yang telah ditentukan.
IX. Pemilihan Strategi Pengajaran, Pada langkah ini ditentukan strategi dan metoda yang akan digunakan untuk mencapai tujuan kompetensi.
X. Uji Coba Program, Uji coba program yang telah didesain dimaksudkan untuk melihat kemungkinan terlaksananya program, jenis kesulitan yang pada akhirnya akan memberikan informasi balik untuk perbaikan program.
XI. Evaluasi, Evaluasi untuk mengecek sejauhmana efektivitas program, validitas dan realibilitas alat ukur dan efektivitas sistem evaluasi yang dapat digunakan sebagai umpan balik untuk perbaikan dan penyesuaian program.
XII. Implementasi Program, Pada tahap ini dirancang dan dianalisis langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam upaya pelaksanaan program.
XIII. Monitoring, Kegiatan monitoring untuk menghimpun informasi tentang pelaksanaan program, untuk mendapatkan gambaran pelaksanaan program yang relevan dengan kebutuhan lapangan dan diadaptasikan dengan lingkungan organisasi.
XIV. Perbaikan dan Penyesuaian (feedback), Perbaikan dan penyesuaian program perlu dilaksanakan guna menjamin konsistensi dan koherensi serta monitoring sistem, selanjutnya memberikan umpan balik kepada orgnisasi, sumber, strategi dan peningkatan motivasi belajar peserta didik.
Secara khusus untuk satuan pendidikan sekolah menengah kejuruan, BNSP tidak mengeluarkan standar isi terbaru, oleh karena itu SMK masih berorientasi dan dapat menggunakan Standar Kompetensi Kerja Nasional tahun 2004 yang sesungguhnya diberlakukan untuk kurikulum 2004, dan berbagai dokumen kurikulum 2004 untuk SMK.
Untuk lebih memperjelas keterkaitan tersebut dapat dikaji melalui prosedur pengembangan kurikulum dengan menggunakan format kurikulum KTSP, dengan mengacu pada pedoman penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan tahun 2006.
C. Prosedur Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
1. Komponen-Komponen KTSP
a. Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan
Visi, dan Misi Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan harus berorientasi ke depan, dikembangkan bersama oleh seluruh warga sekolah, merupakan perpaduan antara langkah strategis dan sesuatu yang dicita-citakan, dinyatakan dalam kalimat yang padat bermakna, dapat dijabarkan ke dalam tujuan dan indikator keberhasilannya, berbasis nilai, dan membumi (kontekstual).
Penyusunan visi dalam KTSP melalui tiga tahap yaitu; tahap 1: hasil belajar siswa, dengan merumuskan apa yang harus dicapai siswa berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap setelah mereka menamatkan sekolah. Tahap 2: suasana pembelajaran, dirumuskan dengan mempertimbangkan suasana pembelajaran seperti apa yg dikehendaki untuk mencapai hasil belajar itu, dan tahap 3: suasana sekolah, dimana sekolah ditempatkan sebagai lembaga/organisasi pembelajaran dengan merumuskan seperti apa yang diinginkan untuk mewujudkan hasil belajar bagi siswa.
Setiap tahapan dirumuskan dalam kalimat, kemudian dipindai setiap rumusan/kalimat untuk mendapatkan kata kunci, rumusan visi dari kata kunci tersebut secara singkat padat bermakna (kurang lebih tidak lebih dari 25 kata), berdasarkan Visi ini, bisa ditentukan missinya dimana missi dapat diartikan sebagai sejumlah langkah strategis untuk menuju dan mencapai sasaran dari visi yang telah dirumuskan.
Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dan khususnya tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
b. Struktur dan Muatan KTSP
Struktur dan Muatan KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah seperti tertuang dalam SI meliputi lima kelompok mata pelajaran, yaitu; kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaranjasmani, oleh raga dan kesehatan.Keluasan dan kedalaman pada setiap kelompok mata pelajaran sebagai beban belajar bagi setiap pesera didik pada satuan pendidikan.
mata pelajaran, muatan lokal, kegiatan pengembangan diri, pengaturan beban belajar, kenaikan kelas, penjurusan, dan kelulusan, pendidikan kecakapan hidup, pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.
Kalender Pendidikan, untuk setiap satuan pendidikan dapat menyusun kalender pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam Standar Isi.
2. Prosedur Penyusunan KTSP
Tim Penyusun
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Provinsi untuk pendidikan menengah.
Tim penyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan SD, SMP, SMA dan SMK terdiri atas guru, konselor, kepala sekolah, komite sekolah, dan nara sumber, dengan kepala sekolah sebagai ketua merangkap anggota, dan disupervisi oleh dinas kabupaten/kota dan provinsi yang bertanggung jawab di bidang pendidikan.
Tim penyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan MI, MTs, MA dan MAK terdiri atas guru, konselor, kepala madrasah, komite madrasah, dan nara sumber dengan kepala madrasah sebagai ketua merangkap anggota, dan disupervisi oleh departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.
Tim penyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan khusus (SDLB,SMPLB, dan SMALB) terdiri atas guru, konselor, kepala sekolah, komite sekolah, dan nara sumber dengan kepala sekolah sebagai ketua merangkap anggota, dan disupervisi oleh dinas provinsi yang bertanggung jawab di bidang pendidikan.
Kegiatan Penyusunan
Penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan bagian dari kegiatan perencanaan sekolah/madrasah. Kegiatan ini dapat berbentuk rapat kerja dan/atau lokakarya sekolah/madrasah dan/atau kelompok sekolah/madrasah yang diselenggarakan dalam jangka waktu sebelum tahun pelajaran baru.
Tahap kegiatan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan secara garis besar meliputi: penyiapan dan penyusunan draf, reviu dan revisi, serta finalisasi. Langkah yang lebih rinci dari masing-masing kegiatan diatur dan diselenggarakan oleh tim penyusun.
Pemberlakuan
Dokumen kurikulum tingkat satuan pendidikan SD, SMP, SMA, dan SMK dinyatakan berlaku oleh kepala sekolah serta diketahui oleh komite sekolah dan dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan.
Dokumen kurikulum tingkat satuan pendidikan MI, MTs, MA, dan MAK dinyatakan berlaku oleh kepala madrasah serta diketahui oleh komite madrasah dan oleh departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.
Dokumen kurikulum tingkat satuan pendidikan SDLB, SMPLB, dan SMALB dinyatakan berlaku oleh kepala sekolah serta diketahui oleh komite sekolah dan dinas provinsi yang bertanggung jawab di bidang pendidikan.
Pengembangan KTSP
Kurikulum tingkat satuan pendidikan sebagai perwujudan dari kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah, berpedoman pada Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP.
Penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada Standar Isi dan Standar, Kompetensi Lulusan serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP . (Lihat UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 38 Ayat 2). Dalam penyusunan KTSP secara operasional perlu memperhatikan dan mengacu beberapa aspek di bawah ini, yaitu:
1. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia, Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.
2. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik, Kurikulum disusun agar memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat, kecerdasan intelektual, emosional, spritual, dan kinestetik peserta didik secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.
3. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan, Daerah memiliki keragaman potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karakteristik lingkungan, oleh karena itu kurikulum harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan daerah.
4. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional, Pengembangan kurikulum harus memperhatikan keseimbangan tuntutan pembangunan daerah dan nasional.
5. Tuntutan dunia kerja, Kurikulum harus memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik dan kebutuhan dunia kerja, khususnya bagi mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
6. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, Kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
7. Agama, Kurikulum harus dikembangkan untuk meningkatkan toleransi dan kerukunan umat beragama, dan memperhatikan norma agama yang berlaku di lingkungan sekolah
8. Dinamika perkembangan global, Kurikulum harus dikembangkan agar peserta didik mampu bersaing secara global dan dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain.
9. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan, Kurikulum harus mendorong wawasan dan sikap kebangsaan dan persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
10. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat, Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya.
11. Kesetaraan Jender, Kurikulum harus diarahkan kepada pendidikan yang berkeadilan dan mendorong tumbuh kembangnya kesetaraan jender.
12. Karakteristik Satuan Pendidikan, Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan.
Mata Pelajaran
Mata pelajaran beserta alokasi waktu untuk masing-masing tingkat satuan pendidikan tertera pada struktur kurikulum yang tercantum dalam Standar Isi.
Muatan Lokal
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.
Pengembangan Diri
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan/atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler.
Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karier peserta didik. Khusus untuk sekolah menengah kejuruan pengembangan diri terutama ditujukan untuk pengembangan kreativitas dan bimbingan karier. Pengembangan diri untuk satuan pendidikan khusus menekankan pada peningkatan kecakapan hidup dan kemandirian sesuai dengan kebutuhan peserta didik
Pengaturan Beban Belajar
Beban belajar dalam sistem paket digunakan oleh tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB baik kategori standar maupun mandiri, SMA/MA/SMALB /SMK/MAK kategori standar.
Beban belajar dalam sistem kredit semester (SKS) dapat digunakan oleh SMP/MTs/SMPLB kategori mandiri, dan oleh SMA/MA/SMALB/SMK/MAK kategori standar. Beban belajar dalam sistem kredit semester (SKS) digunakan oleh SMA/MA/SMALB/SMK/MAK kategori mandiri.
Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran pada sistem paket dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan. Pemanfaatan jam pembelajaran tambahan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi.
Alokasi waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur dalam sistem paket untuk SD/MI/SDLB 0% - 40%, SMP/MTs/SMPLB 0% - 50% dan SMA/MA/SMALB/SMK/MAK 0% - 60% dari waktu kegiatan tatap muka mata pelajaran yang bersangkutan. Pemanfaatan alokasi waktu tersebut mempertimbangkan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi. Alokasi waktu untuk praktik, dua jam kegiatan praktik di sekolah setara dengan satu jam tatap muka. Empat jam praktik di luar sekolah setara dengan satu jam tatap muka. Alokasi waktu untuk tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur untuk SMP/MTs dan SMA/MA/SMK/MAK yang menggunakan sistem SKS mengikuti aturan sebagai berikut. Satu SKS pada SMP/MTs terdiri atas: 40 menit tatap muka, 20 menit kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Satu SKS pada SMA/MA/SMK/MAK terdiri atas: 45 menit tatap muka, 25 menit kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur.
Kenaikan Kelas, Penjurusan, dan Kelulusan
Kenaikan kelas, penjurusan, dan kelulusan mengacu kepada standar penilaian yang dikembangkan oleh BSNP.
Pendidikan Kecakapan Hidup
Kurikulum untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/ SMALB, SMK/SMAK dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup, yang mencakup kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan/atau kecakapan vokasional. Pendidikan kecakapan hidup dapat merupakan bagian dari pendidikan semua mata pelajaran. Pendidikan kecakapan hidup dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan dan atau dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.
Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global
Kurikulum untuk semua tingkat satuan pendidikan dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global. Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dapat merupakan bagian dari semua mata pelajaran. Pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.
3. Silabus dan Rencana Program Pemelajaran
Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Silabus menjawab pertanyaan mengenai Apa kompetensi yang harus dikuasai siswa?, Bagaimana cara mencapainya?, dan Bagaimana cara mengetahui pencapaiannya?. Terdapat Lima tahapan Pengembangan Silabus: Perencanaan, Pelaksanaan, Perbaikan, Pemantapan, dan Penilaian Pelaksanaan. Tahapan pengembangan silabus dilakukan oleh Para pengembang Silabus diantaranya adalah: Guru kelas/mata pelajaran, Kelompok guru kelas/mata pelajaran, Kelompok kerja guru (PKG/MGMP), atau Dinas Pendidikan.
Prinsip-prinsip pengembangan Silabus: Ilmiah, Relevan, Sistematis, Konsisten, Memadai, Aktual dan Konseptual, Fleksibel, dan Menyeluruh, dan Relevan dimana cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spritual peserta didik.
Komponen Silabus terdiri dari; Identifikasi, Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Materi Pokok, Pengalaman Belajar, Indikator, Penilaian, Alokasi Waktu, dan Sumber/Bahan/Alat
Silabus (Format 1)
Nama sekolah :
Mata pelajaran :
Kelas/semester :
Standar kompetensi :
Kompetensi Dasar I II
Materi pokok
Pengalaman Belajar
Indikator
Penilaian
Alokasi waktu
Sumber/bahan/alat
Silabus (Format 2)
Nama sekolah :
Mata pelajaran :
Kelas/semester :
Standar kompetensi Kompetensi Dasar Materi pokok Pengalaman Belajar Indikator Penilaian Alokasi waktu Sumber/
bahan/
alat
Langkah-langkah dalam pengembangan Silabus; Mengisi Kolom Identifikasi, Mengkaji dan Menentukan Standar Kompetensi, Mengkaji dan Menentukan Kompetensi Dasar, Mengidentifikasi Materi Pokok, Mengembangkan Pengalaman Belajar, Merumuskan Indikator, Menentukan Jenis Penilaian, Menentukan Alokasi Waktu, Menentukan Sumber Belajar
III. KESIMPULAN
Perkembangan terbaru dalam pendidikan dan kurikulum yaitu lahirnya kurikulum 2006 dengan diikuti populernya istilah KTSP, secara teoritik model pengembangan kurikulum yang sejalan dengan paradigma KTSP adalah model Tyler (objective model), model grassroot dari Hilda Taba, Model kurikulum transmisi dari Miller-Seller, dan lain sebagainya. KTSP adalah sebuah istilah/penamaan dari suatu bentuk pengelolaan dan pengorganisasian kurikulum sebagai implikasi dilaksanakannya otonomi daerah khususnya dalam bidang pendidikan, hipotesa penulis didasari pengertian KTSP, prinsip-prinsip, dan prosedur penyusunan KTSP.
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. KTSP dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan serta berpedoman pada panduan yang telah disusun oleh BNSP (Badan Standar Nasional Pendidikan). (PP No.19 Th.2005, Pasal 17).
Perbedaan mendasar dari kurikulum 2004 dengan KTSP adalah khususnya dalam penyusunan dan pengembangan indikator pencapaian kompetensi ditentukan oleh satuan pendidikan dalam hal ini guru dengan mengacu pada Standar Isi yang ditetapkan secara nasional. Secara umum konten dan system kompetensi pada kurikulum 2004 masih digunakan pada kurikulum 2006 atau KTSP, oleh karena itu penguasaan kedua kurikulum tersebut saling berkaitan erat.
Secara ideal seharusnya didalam pengembangan KTSP perlu didukung oleh enam standar lainnya selain SI dan SKL seperti yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003. Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Penilaian, Standar Tenaga Kependidikan, Standar Sarana Dan Prasarana, Standar Pembiayaan, dan Standar Pengelolaan.
Isi KTSP adalah cover, lembar penetapan, kata pengantar, daftar isi, tujuan satuan pendidikan, visi dan misi, tujuan program keahlian, standar kompetensi lulusan, diagram pencapaian kompetensi, struktur dan muatan KTSP, kalender pendidikan, dan silabus-silabus
Prosedur Penyusunan KTSP adalah: menetapkan Tim Penyusun, Kegiatan Penyusunan, Pemberlakuan, Pengembangan KTSP, Mata Pelajaran, Muatan Lokal
Pengembangan Diri, Pengaturan Beban Belajar, Kenaikan Kelas, Penjurusan, dan Kelulusan, Pendidikan Kecakapan Hidup, dan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global
IV. DAFTAR PUSTAKA
BNSP. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenajang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
Glatthom A. (1994). Developing A Quality Curriculum. Alexandria: ASCD.
Ibrahim. (2002). Standar Kurikulum Satuan Pendidikan dan Implikasi bagi Pengembangan Kurikulum dan Evaluasi. Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan. No.1 Tahun XXI tahun 2002. Bandung. University Press UPI.
Brady, Laurie. (1990). Curriculum Development: Third Edition. London. Prentice Hall. Sydney.
Masriam Bukit. (1994). Peran Wilayah Dalam Pengembangan Kurikulum. Inovasi Kurikulum; Jurnal HIPKIN. Volume 1, Nomor 1, Februari 2004. Bandung.
Oemar Hamalik, 2004, Inovasi Pendidikan, Bandung. YP Permindo.
Permen No.22 tahun 2006 tantang Standar Isi,
Permen No.23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
PP No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Rogers. M. Everett. (1983). Diffusion of Inovations: Third Edition. London. Collier Macmillan Publishers.
Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta. Medya Duta.
Diposting oleh Gieone di 3/23/2011 10:48:00 AM 0 komentar
STRATEGI PENGEMBANGAN KOMPETENSI SISWA DENGAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
PENDAHULUAN
Dunia pendidikan Indonesia saat ini setidaknya menghadapi empat tantangan besar yang kompleks. Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah (Added value), yaitu bagaimana meningkatkan nilai tambah dalam rangka meningkatkan produktivitas, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan.
Kedua, tantangan untuk melakukan pengkajian secara komprehensif dan mendalam terhadap terjadinya transformasi (perubahan) struktur masyarakat, dari masyarakat yang agraris ke masyarakat industri yang menguasai teknologi dan informasi, yang implikasinya pada tuntutan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat,yaitu bagaimana meningkatkan daya saing bangsa dalam meningkatkan karya-karya yang bermutu dan mampu bersaing sebagai hasil penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (Ipteks).
Keempat, munculnya kolonialisme baru di bidang iptek dan ekonomi menggantikan kolonialisme politik. Dengan demikian kolonialisme kini tidak lagi berbentuk fisik, melainkan dalam bentuk informasi. Berkembangnya teknologi informasi dalam bentuk computer dan internet, sehingga bangsa Indonesia sangat bergantung kepada bangsa-bangsa yang telah lebih dulu menguasai teknologi informasi. Inilah bentuk kolonialisme baru yang menjadi semacam virtual enemy yang telah masuk keseluruh pelosok dunia ini.
Kemajuan ini harus dapat diwujudkan dengan proses pembelajaran yang bermutu dan menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, professional, unggul, berpandangan jauh ke depan (Visioner), memiliki percaya dan harga diri yang tinggi. Untuk mewujudkan hasil diatas diperlukan strategi yang tepat, diantaranya adalah bagaimana strategi mengembangkan kompetensi siswa berdasarkan kemampuan, sikap, sifat serta tingkah laku siswa sehingga membuat siswa menyenangi proses pembelajaran.
Peningkatkan kompetensi siswa tidak bisa dipandangan secara pragmatis, terpisah dari bagian bagiannya yang utuh. Peningkatan kompetensi siswa harus dilihat secara pendekatan sistem, menyeluruh, utuh dan tidak terpisah-pisah dari bagian-bagiannya sehingga dapat dilihat progress reports terhadap laju perkembangan kompetensi siswa seperti yang diharapkan. Selain dari pada itu, pengembangan kompetensi siswa dengan konsep pendekatan system terutama system manajemen berbasis sekolah akan sangat mudah dan efektif untuk mengevaluasi system apa yang perlu ditinjau, dimodifikasi ataupun dirobah menurut kebutuhan.
Manajemen berbasis sekolah merupakan sebuah sistem yang memberikan hak atau otoritas khusus kepada pihak sekolah untuk mengelola sekolah sesuai dengan kondisi, lingkungan dan tuntutan ataupun kebutuhan masyarakat dimana sekolah tersebut berada.
Berdasarkan analisa diatas, bagaimanakah wujud masyarakat Indonesia baru yang seharusnya ?. Jawabannya adalah masyarakat yang berpendidikan (Educated Sociaty). Oleh karena itu setiap lembaga pendidikan, khususnya dalam menghadapi masa depan harus ditujukan pada reformasi kelembagaan secara total, agar pendidikan nasional memiliki kemampuan untuk melaksanakan peran, fungsi dan misinya secara optimal.
KAJIAN TEORI
a. Kompetensi
Kompetensi meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap dan minat. Dalam konsep pelatihan yang berbasis kompetensi dijelaskan bahwa kompetensi merupakan gabungan antara kerterampilan, pengetahuan dan sikap. Kompetensi digunakan untuk melakukan penilaian terhadap standar, memberikan indikasi yang jelas tentang keberhasilan dalam kegiatan pengembangan, membentuk sistem pengembangan dan dapat digunakan untuk menyusun uraian tugas seseorang.
Standar kompetensi disusun sedemikian rupa mengacu kepada kesepakatan internasional tanpa harus mengabaikan berbagai aspek dan budaya yang bersifat lokal atau nasional. Standar konpetansi yang telah ada hendaknya dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak terutama dunia pendidikan dalam hal peningkatan kemampuan dasar siswa serta penyusunan kurikulum.
b. Manajemen Berbasis Sekolah
Menurut Malen, Ogawa & Kranz, 1990 dalam Abu-Duhou manajemen berbasis sekolah secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengindentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan.
Manajemen sekolah yang selama ini terstruktur dari pusat telah menghambat kran komunikasi atau setidaknya terjadinya distorsi informasi antara pusat dan daerah, sehingga menimbulkan mis- implementation pada tataran riil di sekolah. Hal inilah yang menjadi bahan dilahirkannya sebuah system manajemen yang mampu menanggulangi permasalah tersebut, yaitu suatu manajemen yang diberi kewenangan penuh kepada sekolah untuk mengatur dirinya sendiri dalam batas-batas yang rasional.
Candoli, 1995 dalam Abu-Duhou, menjelaskan bahwa Manajemen berbasis sekolah merupakan suatu cara untuk "memaksa" sekolah mengambil tanggung jawab atas apa yang terjadi menurut justifikasi sekolah.
Konsep ini menerangkan bahwa ketika sekolah diberi tanggung jawab penuh dalam mengembangkan program-program kependidikannya yang bertujuan melayani kebutuhan-kebutuhan para "stakeholder" maka pihak sekolah akan "dipaksa" untuk memenuhi kebutuhan-kebetuhan tersebut.
c. Otoritas Sekolah Dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Secara khusus hal-hal yang di desentralisasikan adalah yang secara langsung berhubungan dengan para peserta didik, seperti keputusan tentang program pendidikan, alokasi waktu, dan kurikulum. Tetapi menurut Caldel dan Spinks, 1992 dalam Abu-Duhou, membagi beberapa hal yang menjadi otoritas sekolah dalam MBS, diantaranya yaitu :
1. Pengatahuan (Knowledge); otoritas keputusan berkaitan dengan kurikulum, tujuan dan sasaran pendidikan.
2. Teknologi (Technology); otoritas mengenai srana dan prasaran pembelajaran
3. Kekuasaan (Power); kewenangan dalam membuat keputusan.
4. Material (Material); kewenangan mengenai penggunaan fasilitas, pengadaan dan peralatan alat-alat sekolah.
5. Manusia (People) kewenangan atas keputusan mengenai sumber daya manusia, pengembangan profesionalisme dan dukungan terhadap proses pembelajaran.
6. Waktu (Time); kewenangan mengalokasikan waktu
7. Keuangan (Financial); kewenangan dalam mengalokasikan dana pendidikan.
Sedangkan Thomas, 1997 dalam Abu-Duhou, mengelompokkan kewenagan sekolah dalam manajemen berbasisi sekolah dalam empat hal, yaitu :
1. Penerimaan (admission); kewenangan untuk menentukan siswa mana yang akan diterima diseklolah.
2. Penilaian (Assessment); kewenangan untuk menentukan berapa siswa yang akan dinilai.
3. Informasi (Information); kewenangan untuk menseleksi data mengenai kinerja sekolah dan mempublikasikannya.
4. Pendanaan (Funding); kewenangan untuk menentukan uang masuk bagi penerimaan siswa.
PEMBAHASAN
a. Kompetensi Siswa
Untuk merespon bebagai kondisi sebagaimana yang telah diuraikan pada pendahuluan di atas, maka salah satu kebutuhan yang sangat penting adalah tersedianya system pendidikan dan pelatihan yang mampu menghasilkan SDM yang berkualitas setara dengan standar internasional. Untuk melaksanakan system pendidikan yang baik dibutuhkan suatu standar kompetensi yaitu kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang untuk melakukan pekerjaan sebagai patokan kinerja yang diharapkan.
Salah satu bentuk system pendidikan yang mampu meningkatkan kompetensi siswa adalah system manajemen berbasis sekolah yang memberi hak sepenuhnya atau otonomi kepada sekolah untuk mengelola sekolah sesuai dengan kondisi, lingkungan dan kebutuhan tempat dimana sekolah berada.
b. Strategi Pengembangan Kompotensi Siswa
Dunia pendidikan dewasa ini yang semakin banyakj menghadapi tantangan, salah satu diantaranya ialah bahwa pendidikan itu berlangsung dalam latar lingkungan yang dibuat-buat, karena pendidikan itu harus membina tingkah laku yang berguna bagi individu dimasa akan datang dan bukan waktu sekarang. Akibat dari latar lingkungan yang dibuat adalah terjadinya suasana pembelajaran yang tidak menyenangkan.
Masalah lain yang dihadapi dunia pendidikan adalah sekolah masih menggunakan cara yang bersifat aversif, dimana para siswa menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya terutama untuk menghindari stimulus-stimulus aversif seperti kecaman guru, ejekan dimuka kelas, menghadap kepala sekolah jika tidak membuat tugas di rumah.
1. Untuk memecahkan masalah untuk perbaikan pendidikan itu pernah diusulkan beberapa pemecahan masalah yang diantaranya :
1. Mendapatkan guru yang berkualitas
2. Mencari terobosan baru untuk menandingi sekolah unggul
3. Menaikkan standar pembelajaran
4. Mereorganisasi kurikulum.
Akan tetapi pemecahan masalah yang pernah ditawarkan tersebut tidak menyentuh esensi permasalahan dunia pendidikan itu sendiri.
Menurut Skinner satu hal yang perlu dilakukan untuk memecahkan kebuntuan tersebut adalah bagaimana guru bertanggung jawab mengembangkan pada siswa tingkah laku verbal (kompetensi) atau kemampuan siswa yang merupakan pernyataan keterampilan dan pengetahuan mata pelajaran. Konkritnya Skinner menjelaskan yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan kemampuan siswa atau kompetensi siswa adalah :
1. Membangun khazanah tingkah laku verbal dan non verbal yang menunjukkan hasil belajar.
2. Menghasilkan dengan kemungkinan yang besar, tingkah laku yang disebut minat, antusiasme dan motivasi untuk belajar.
Sehingga dengan tugas seperti ini pembelajaran itu berfungsi memperlancar pemerolehan pola-pola tingkah laku verbal dan non verbal yang perlu dimiliki setiap siswa.
Menurut B. Weiner, dengan teori atribusinya, satu sumbangan penting untuk pendidikan adalah berkenaan dengan analisa terjadinya interaksi di kelas.
Hal yang penting diperhatikan dalam interaksi di kelas dalam konteks proses pembelajaran serta dalam rangka meningkatkan kemampuan atau kompetensi siswa ialah ciri siswa, ciri-ciri siswa yang perlu dipertimbangkan ialah perbedaan perseorangan, kesiapan untuk belajar dan motivasi :
1. Perbedaan Perseorangan,
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan ialah tingkat perkembangan siswa dan tingkat rasa harga diri siswa. Untuk mengimbangi adanya perbedaan perseorangan dalam proses pembelajaran dianatarany dapat dilakukan pengajaran dengan kelompok kecil (Cooperative Learning), tutorial, dan belajar mandiri serta belajar individual.
2. Kesiapan untuk belajar
Kesiapan seorang siswa dalam kegiatan pembelajaran sangat mempengaruhi hasil pembelajaran yang bermanfaat baginya.
Karena belajar sifatnya kumulatif, kesiapan untuk belajar baru mengacu pada kapabilitas, dimana kesiapan untuk belajar itu meliputi keterampilan-keterampilan yang rendah kedudukannya dalam tata hirarki keterampilan intelktual.
3. Motivasi,
Ciri khas dari teori-teori belajar ialah memperlakukan motivasi sebagai suatu konsep yang dihubungkan dengan asas-asas untuk menimbulkan terjadinya belajar pada diri siswa. Konsep ini memusatkan perhatian pada dilakukannya manipulasi lingkungan yang bisa mendorong siswa seperti membangkitkan perhatian siswa, mempelajari peranan peransang atau membuat agar bahan ajar menarik bagi siswa.
Ketiga hal diatas harus diperhatikan yang dibarengi dengan penciptaan suasan kelas yang menyenangkan sehingga tingkah laku, respon yang dikeluarkan oleh siswa menghasilkan suasan pembelajarn yang nyaman dan menyenangkan akibat dari stimulus lingkungan yang dimanipulasi tersebut.
Disamping ketiga hal diatas yang perlu diperhatikan dalam kontek peningkatan kompetensi siswa, maka kurikulum juga merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan kompetensi siswa dalam pembelajaran. Untuk mengimbangi peningkatan kemampuan siswa dalam kontek tingkah laku, maka kurikulum juga perlu menjadi perhatian sehingga siswa benar-benar memiliki kompetensi yang sangat memadai.
Kurikulum saat ini, terutama kurikulum pendidikan nasional akan dikembangkan apa yang dinamakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Competency based Curriculum. Dalam konsep ini, kurikulum harus dikuasai oleh siswa setelah ia menyelesaikan satu unit pelajaran, satu satuan waktu dan satu satun pendidikan.
Materi kurikulum harus ditekankan pada mata pelajaran yang sanggup menjawab tantangan global dan perkembangan iptek yang sangat cepat. Disamping itu kurikulum yang dikembangkan harus berlandaskan pendidikan etika dan moral yang dikembangkan dalam mata pelajaran agama dan mata pelajaran lain yang relevan.
Selain itu kurikulum harus bersifat luwes, sederhana dan bisa menampung berbagai kemungkinan perubahan dimasa yang akan datang sebagai dampak dari perkembangan terknologi dan tuntutan masyarakat. Kurikulum hanya bersifat pedoman pokok dalam kegiatan pembelajaran siswa dan dapat dikembangkan dengan potensi siswa, keadaan sumber daya pendukung dan kondisi yang ada.
Semua alternative solusi diatas tidak ada artinya jika tidak dimanajemeni atau dikelola dengan professional. Salah satunya adalah dengan menerapkan sistem manajemen berbasis sekolah, dimana pihak sekolah memiliki otoritas yang cukup untuk mengelola konsep-konsep yang akan diterapkan dalam rangka meningkatkan kompetensi siswa.
Masalah kurikulum, tujuan pendidikan, keputusan atau kebijakan sekolah, fasilitas yang akan digunakan, pengembangan SDM sekolah, pengaturan waktu dan biaya pendidikan, haruslah sepenuhnya dikelola oleh sekolah sehingga langkah-langkah teknis diatas dapat terwajud.
PENUTUP
Untuk meningkatkan kompetensi siswa ada beberap hal yang harus diperhatikan, diantaranya, ciri-ciri siswa antara lain, perbedaan perseorangan, kesiapan belajar dan motivasi yang dibarengi oleh pemanipulasian suasana pembelajaran menjadi lebih disukai oleh siswa sehingga dengan mempertimbangkan kondisi ini apa yang diharapkan sesuai dengan tujuan.
Akan tetapi jika mensfesifikasi pendidikan kedalam tingkah laku sama dengan membatasi guru menjadi upaya untuk merubah tingkah laku siswa. Pada hal, pendidikan tidak hanya sebatas tutorial yang akan mengakibatkan pendidikan kurang manusiawi dan terlalu mekanistik. Akan tetapi pendidikan lebih dari itu, dimana pendidikan memerlukan tingkat kecerdasan dan kebebasan berpikir yang tinggi, kompetensi dan moral atau tingkah laku yang kompleks untuk mengarunginya.
Secara kelembagaan dalam rangka meningkatkan kompetensi siswa perlu sebuah sistem yang mampu mengakomodir tujuan tersebut. Salah satu bentuk dari system tersebut adalah manajemen berbasis sekolah yaitu sebuah sistem manajemen yang memberi keluasan kepada pihak sekolah untuk mengelola sekolah masing-masing menurut kebutuhan, kondisi, dan tuntutan lingkungan dimana sekolah tersebut berada.
DAFTAR BACAAN
Abu-Duhoui, Ibtisam, School Base Management, terjemahan Noryamin Aini, Suparto & Abas Al-Jauhari, cetPT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2002
Dahar, Ratna Wilis, Teori-teori Belajar, Depdikbud Berkerjasama Dengan Dirjend Perguruan Tinggi, PPL Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta, 1989.
Gredler E. Bell Margaret, Belajar dan Membelajarkan, Terjemahan Munandir, CV, Rajawali, Jakarta, 1991
Sudjana, Nana, dkk, Teknologi Pengajaran, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2001
Sidi, Indra Djati, Menuju Masyarakat Belajar (Menggagas Paradigma Baru Pendidikan), Paramadina, Jakarta, 2001
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998
Snelbecker, Glenn. E, Learning Theory, Intructional Theory, and Psycoeducational Design, McGraw-Hill Book Company, United State of America, 1974
Tirtaradja, Umar, dkk, Pengantar Perndidikan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1998.
Diposting oleh Gieone di 3/23/2011 10:47:00 AM 0 komentar
KERTAKES
SENI RUPA NUSANTARA DAN MANCANEGARA
(BAB I)
Standar Kompetensi:
Mengapresiasi karya seni rupa.
Kompetensi Dasar:
Mengidentifikasi jenis motif hias pada karya seni rupa nusantara daerah lain.
Tujuan:
1. Siswa dapat mengidentifikasi jenis motif hias pada karya seni rupa nusantara daerah lain.
2. Dapat membedakan karya seni rupa dua dimensi dan tiga dimensi.
Cara Pembelajaran :
1. Guru menjelaskan jenis-jenis motif hias pada karya seni rupa nusantara daerah lain.
2. Guru menjelaskan tentang karya seni rupa dua dimensi dan tiga dimensi.
Materi :
Ada dua jenis karya seni rupa, yaitu karya seni rupa dua dimensi dan karya seni rupa tiga dimensi.
• Karya seni rupa dua dimensi merupakan merupakan karya seni rupa yang memiliki ukuran panjang dan lebar misalnya lukisan, motif kain, wayang kulit, dan lain-lain.
• Karya seni rupa 3 Dimensi adalah karya seni rupa yang memiliki ukuran panjang, lebar, dan tinggi misalnya patung, benda--benda kerajinan, dan bangunan.
Evaluasi:
1. Guru memberi tugas untuk membuat kliping tentang motif hias karya seni rupa nusantara.
BATIK
(BAB II)
Standar Kompetensi
1. Mengapresiasi karya seni rupa
2. Mengapresiasi diri melalui karya seni rupa
Kompetensi Dasar:
1. Menjelaskan cara membatik
2. Menampilkan sikap apresiatif terhadap keunikan motif hias seni rupa daerah lain
3. Membatik dengan teknik sederhana
4. Mengekspresikan diri melalui gambar ilustrasi dengan tema suasana di sekitar sekolah.
Tujuan:
1. Siswa dapat menjelaskan cara-cara membatik.
2. Siswa dapat menampilkan sikap apresiatif terhadap keunikan motif hias seni rupa daerah lain.
Cara pembelajaran:
1. Guru memperkenalkan kepada siswa tentang apa itu batik.
2. Guru menjelaskan cara-cara membatik.
3. Guru memberi contoh membuat sebuah batik.
Materi:
Dalam bab ini siswa dikenalkan dengan salah satu karya seni yang berasal dari negeri kita sendiri yaitu Batik. Siswa juga diajari cara-cara membatik. Serta guru memberikan contoh cara membatik sehingga siswa lebih cepat dan lebih melekat pemahamannya tentang batik.
Evaluasi:
1. Guru membuat ujian tulis sesuai dengan materi di atas.
2. Guru memberi tugas kepada siswa untuk membuat sebuah karya batik sederhana.
3. Siswa diberi tugas untuk membuat kliping tentang keunikan motif hias seperti berbagai motif batik.
MENGENAL BONEKA
(BAB III)
Standar Kompetensi:
Mengekspresikan diri melalui karya seni rupa.
Kompetensi Dasar:
1. Merancang Boneka.
2. Membuat boneka berdasarkan rancangan.
Tujuan:
1. Siswa dapat merancang sendiri sebuah boneka.
2. Siswa dapat membuat boneka sendiri berdasarkan rancangan.
Cara pengajaran:
1. Guru memperkenalkan kepada siswa apa itu boneka.
2. Guru mengajarkan cara merancang boneka.
3. Guru memberi contoh cara membuat boneka.
Materi:
Memperkenalkan kepada siswa tentang apa itu boneka. Siswa juga diajari tentang cara merancang boneka serta sampai kepada car membuat boneka yang sesuai dengan rancangannya. Sehingga siswa dapat membuat boneka sendiri.
Evaluasi:
1. Siswa diberi tugas untuk mencari bentuk-bentuk boneka yang lain dari berbagai sumber.
2. Guru memberi tugas untuk membuat sebuah boneka dengan cara yang telah diajarkkan guru.
MUSIK DAERAH NUSANTARA
(BAB IV)
Standar kompetensi:
Mengapresiasikan seni musik
Kompetensi Dasar:
1. Mengidentifikasi berbagai ragam musik daerah nusantara.
2. Menampilkan sikap Apresiatif terhadap berbagai ragam musik daerah nusantara.
Tujuan:
1. Siswa dapat mengidentifikasi berbagai ragam musik daerah nusantara.
2. Siswa dapat memahami perbedaan musik dari suatu daerah dengan daerah lain.
3. Siswa dapat mengapresiasikan berbagai macam musik daerah nusantara.
Cara Pengajaran:
1. Guru memberikan beberapa contoh musik daerah nusantara.
2. Guru memberitahu perbedaan musik daerah nusantara.
3. Guru memperlihatkan musik dari suatu daerah tertentu.
Materi:
Yang diulas dalam bab ini adalah tentang alat musik daerah nusantara. Jenis-jenis alat musik daerah nusantara serta susunannya sekaligus cara memainkannya. Misalnya alat musik Gamelan, Kolintang, dan angklung.. mereka memiliki cara memainkkan yang berbeda-beda.
Evaluasi:
1. Guru memberi tugas untuk mencari musik daerah nusantara sebanyak mungkin.
2. Guru menyuruh siswanya untuk membedakan ciri-ciri musik dari suatu daerah dengan daerah lain.
3. Guru meminta siswa untuk memainkan salah satu musik dari suatu daerah.
Pementasan karya musik 1
(BAB V)
Standar kompetensi:
Mengespresikan diri melalui karya seni musik.
Kompetensi Dasar:
1. Memainkan alat musik ritmis dan melodis.
2. Menyanyikan lagu wajib, daerah dan nusantara dengan iringan nusantara.
Tujuan:
1. Siswa dapat memainkan alat musik ritmis maupun melodis.
2. Siswa dapat menyanyikan lagu wajib, lagu daerah dan nusantara.
3. Siswa dapat mengiringi orang menyanyi dengan iringan yang sederhana.
Cara Pembelajaran:
1. Guru memperkenalkan kepada siswa macam-macam alat musik ritmis dan melodis.
2. Guru mengajarkan cara memainkan alat musik tersebut.
3. Guru mengenalkan kepada siswa tentang lagu wajib, daerah dan nusantara.
4. Guru memberikan contoh menyanyikan lagu wajib, daerah dan nusantara.
5. Guru mengajari siswa cara mengiri orang menyanyi.
6. Guru memberikan contoh mengiringi orang bernyanyi.
Materi:
Materi yang diajarkan adalah cara mementaskan sebuah karya seni musik, membedakan antara alat musik ritmis dan melodis atau alat musik yang bernada dan yang tidak bernada. Kemudian juga diajarkan untuk menyanyikan lagu wajib serta lagu daerah.
Evaluasi:
1. Siswa disuruh memainkan alat musik ritmis, maupun melodis dengan benar.
2. Guru menyuruh siswa menyebutkan judul lagu wajib, daerah dan nusantara.
3. Guru meminta siswa untuk menyanyikan lagu wajib, daerah dan nusantara.
4. Guru menyuruh siswa untuk mengiringi orang menyyanyi.
POLA LANTAI
(BAB VI)
Standar kompetensi:
Mengapresiasi karya seni tari
Kompetensi Dasar:
1. Menjelaskan nama pola lantai pada tarian.
2. Membandingkan pola lantai gerak tari nusantara daerah setempat..
3. Menganalisis pola lantai gerak tari nusantara daerah setempat.
Tujuan:
1. Siswa dapat menjelaskan nama pola lantai pada tarian
2. Siswa dapat membedakan perbedaan pola lantai setiap daerah nusantara.
3. Siswa dapat menari minimal satu tarian.
Cara Pengajaran:
1. Guru menjelaskan tentang pola lantai.
2. Guru memberikan perbandingan pola lantai gerak tari nusantara dan daerah setempat.
3. Guru mengajarkan sebuah tarian yang dianggap mudah.
Materi:
Di sini siswa dikenalkan dengan berbagai pola lantai tarian nusantara yang memiliki keragaman dan ciri khusus di setiap daerah sangat berbeda-beda. Siswa juga dituntut untuk bisa membandingkan perbedaan tarian darri setiap daerah nusantara.
Evaluasi:
1. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mencari gambar tentang pola lantai tarian daerah nusantara.
2. Guru menyuruh siswanya untuk menari.
PERAGAAN TARI NUSANTARA
(BAB VII)
Standar Kompetensi:
Mengapresiasi karya seni tari
Kompetensi Dasar:
1. Menyiapkan peragaan tari nusantara daerah setempat dengan pola lantai secara perorangan dan kelompok.
2. Memeragakan tari nusantara daerah setempat dengan pola lantai secara perorangan dan kelompok.
Tujuan:
1. Siswa dapat mempersiapkan dengan baik peraagaan tari nusantara daerah setempat dengan pola lantai.
2. Siswa dapat memperagakan tarian nusantara daerah setempat.
3. Siswa dapat memperagakan tarian nusantara dengan pola lantai secara individu dan kelompok.
Cara pengajaran:
1. Guru menjelaskan kepada siswa cara mempersiapkan sebuah peragaan tari.
2. Guru memberikan contoh menyiapkan peragaan tari nusantara daerah setempat.
3. Guru menjelaskan cara memperagakan tarian nusantara daerah setempat.
4. Guru memberikan contoh memeragakan tari nusantara daerah setempat, individu maupun yang kelompok.
Materi:
Menampilkan tari daerah.
Evaluasi:
1. Guru meminta siswa untuk mempersiapkan peragaan tari.
2. Guru meminta siswa untuk memperagakan tarian nusantara dengan pola lantai secara individu dan kelompok.
Diposting oleh Gieone di 3/23/2011 10:46:00 AM 0 komentar