THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 12 November 2011

PENGEMBANGAN BUDAYA SEKOLAH

• Pengertian Budaya Sekolah
Budaya Sekolah Secara etimologis pengertian budaya (culture) berasal dari kata latin colere, yang berarti membajak tanah, mengolah, memelihara ladang (Poespowardojo, 1993). Namun pengertian yang semula agraris lebih lanjut diterapkan pada hal-hal yang lebih rohani (Langeveld, 1993). Selanjutnya secara terminologis pengertian budaya menurut Montago dan Dawson (1993) merupakan way of life, yaitu cara hidup tertentu yang memancarkan identitas tertentu pula dari suatu bangsa. Kemudian Kotter dan Heskett (1992) yang dikutip dalam The American Herritage Dictionary mendefinisikan kebudayaan secara formal, “sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni, agama, kelembagaan dan segala hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia”. Selanjutnya Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai “keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar”. Lebih lanjut Koentjaraningrat membagi kebudayaan dalam tiga wujud yaitu:
1. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan lain-lain;
2. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat dan;
3. wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya adalah sesuatu yang abstrak tetapi tetap memiliki dimensi yang mencolok, dapat didefinisikan dan dapat diukur berdasarkan karakteristik umum seperti yang dikemukakan oleh Robbins (1994) sebagai berikut: (1) inisiatif individual, (2) toleransi terhadap tindakan beresiko, (3) arah, (4) integrasi, (5) dukungan dari manajemen, (6) kontrol, (7) identitas, (8) sistem imbalan, (9) toleransi terhadap konflik dan (10) pola-pola komunikasi.
Dalam lingkup tatanan dan pola yang menjadi karakteristik sebuah sekolah, kebudayaan memiliki dimensi yang dapat di ukur yang menjadi ciri budaya sekolah seperti:
1. Tingkat tanggung jawab, kebebasan dan independensi warga atau personil sekolah, komite sekolah dan lainnya dalam berinisiatif.
2. Sejauh mana para personil sekolah dianjurkan dalam bertindak progresif, inovatif dan berani mengambil resiko.
3. Sejauh mana sekolah menciptakan dengan jelas visi, misi, tujuan, sasaran sekolah, dan upaya mewujudkannya.
4. Sejauh mana unit-unit dalam sekolah didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi.
5. Tingkat sejauh mana kepala sekolah memberi informasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap personil sekolah.
6. Jumlah pengaturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku personil sekolah.
7. Sejauh mana para personil sekolah mengidentifkasi dirinya secara keseluruhan dengan sekolah ketimbang dengan kelompok kerja tertentu atau bidang keahlian profesional.
8. Sejauh mana alokasi imbalan diberikan didasarkan atas kriteria prestasi.
9. Sejauh mana personil sekolah didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka.
10. Sejauh mana komunikasi antar personil sekolah dibatasi oleh hierarki yang formal (diadopsi dari karakteristik umum seperti yang dikemukakan oleh Stephen P. Robbins).
Dari sekian karakteristik yang ada, dapat dikatakan bahwa budaya sekolah bukan hanya refleksi dari sikap para personil sekolah, namun juga merupakan cerminan kepribadian sekolah yang ditunjukan oleh perilaku individu dan kelompok dalam sebuah komunitas sekolah.
Menurut Stolp (2003) definisi budaya sekolah belum diperoleh kesatuan pandangan. Terminologi budaya sekolah masih disamakan dengan “iklim atau ethos”. Konsep budaya sekolah masuk ke dalam pendidikan itu pada dasarnya sebagai upaya untuk memberikan arah tentang efisiensi lingkungan pembelajaran, lingkungan dalam hal ini dapat dibedakan dalam dua hal (1) lingkungan yang sifatnya alami sesuai dengan budaya siswa dan guru, (2) lingkungan artificial yang diciptakan oleh guru atau hasil interaksi antara guru dengan siswa.
• Model Pengembangan Budaya Sekolah
Model pengembangan budaya dan iklim sekolah yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik itu kepala sekolah, guru dan staf sekolah dan utamanya siswa itu sendiri dapat dijadikan dasar dalam upaya memperbaiki iklim sekolah. Model tersebut merupakan integrasi komponen-komponen seperti budaya sekolah, iklim organisasi, dan pranata sistem sekolah.
Komponen pengembangan budaya sekolah secara umum dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori dengan beberapa aspek sebagai berikut :
1. Budaya sekolah meliputi aspek-aspek:
a. Nilai
b. Norma
c. Perilaku
2. Lingkungan fisik sekolah meliputi:
a. Keindahan
b. Keamanan
c. Kenyamanan
d. Ketentraman
e. Kebersihan
3. Lingkungan sistem sekolah meliputi:
a. Berbasis mutu
b. Kepemimpinan kepala sekolah
c. Disiplin dan tata tertib
d. Penghargaan dan insentif
e. Harapan untuk berprestasi
f. Akses informasi
g. Evaluasi
h. Komunikasi yang intensif dan terbuka
Model berikut ini menjelaskan tentang bagaimana membangun sebuah budaya dan iklim sekolah berdasarkan unsur-unsur di atas. Model tersebut menggambarkan bahwa budaya dan iklim organisasi merupakan kumpulan nilai-nilai, norma dan perilaku yang mengontrol interaksi-personil sekolah dengan orang diluar sekolah. Budaya organisasi sekolah tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang dianut oleh individu-induidu yang memiliki kepentingan dengan sekolah, atau dengan kata lain budaya dan iklim sekolah merupakan hasil interaksi nilai-nilai yang dianut individu didalam dan diluar sekolah. Sekolah merupakan kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif terus-menerus untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah.
• Rencana Pengembangan Budaya Sekolah
Rencana pengembangan budaya sekolah merupakan rencana komprehensif untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada dan yang mungkin diperoleh guna mencapai tujuan yang diinginkan pada masa mendatang. Rencana pengembangan budaya sekolah harus mempertimbangkan dan memperhatikan peluan dan ancaman dari lingkungan eksternal dan memperhatikan kekuatan dan kelemahan internal, kemudian mencari dan menemukan strategi dan program-program untuk memanfaatkan peluang dan kekuatan yang dimiliki serta mengatasi tantangan dan kelemahan yang ada, guna mencapai visi yang telah ditetapkan.
Oleh karenanya rencana pengembangan sekolah harus memuat secara jelas hal-hal sebagai berikut:
1. Visi Sekolah, yang menggambarkan sekolah yang bagaiman di inginkan dimasa mendatang (jangka panjang)
2. MISI SEKOLAH, yang berisi tindakan/upaya untuk mewujudkan visi sekolah yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Tujuan pengembangan sekolah, yang menjelaskan aa yang ingin dicapai dalam upaya pengembangan sekolah pada kurun waktu menengah, misalnya untuk waktu 3-5 tahun
4. Tantangan nyata yang harus diatasi sekolah, yaitu gambaran kesenjangan (GAP) dari tujuan yang diinginkan dan kondisi sekolah saat ini.
5. Sasaran pengembangan sekolah, yaitu apa yang diinginkan sekolah untuk jangka pendek, misalnya untuk 1 tahun.
6. Identifikasi fungsi-fungsi yang berperan penting dalam pencapai sasaran tersebut.
7. Analisis SWOT terhadap fungsi-fungsi tersebut, sehingga ditemukan kekuatan (strength) kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threat) dari setiap fungsi yang telah di identifikasi sebelumnya
8. Identifikasi alternative langkah untuk mengatasi kelemahan dan ancaman dengan memanfaatkan kekuatan dan peluang yang dimiliki sekolah.
9. Rencana dan program sekolah yang dikembangkan dari alternative yang terpilih, guna mencapai sasaran yang telah ditetapkan sekolah.

Rencana pengembangan sekolah yang baik memiliki sejumlah ciri sebagai berikut.
1. Komprehensif dan terintregasi, yakni mencakup perencanaan keseluruhan program yang akan dilaksanakan sekolah.
2. Multi-than yaitu mencakup periode beberapa tahun umumnya di sekolah dikembangkan untuk jangka waktu 4-5 tahun. Setiap tahun terus diperbaharui sesuai dengan perkembangan terakhir.
3. Multi-sumber, yaitu menunjukan jumlah dan sumber dana masing-masing program. Misalnya dari BOS, APBD Kabupaten/Kota, iuran orangtua atau sumber lainnya.
4. Disusun secara partisipatif oleh kepala sekolah, komite sekolah dan dewan pendidik dengan melibatkan para pemangku kepentingan lain.
5. Pelaksanaannya dimonitor oleh komite sekolah dan pemangku kepentingan yang lain.
• Manfaat Pengembangan Budaya Sekolah
Beberapa manfaat yang bisa diambil dari upaya pengembangan budaya sekolah, diantaranya : (1) menjamin kualitas kerja yang lebih baik; (2) membuka seluruh jaringan komunikasi dari segala jenis dan level baik komunikasi vertikal maupun horisontal; (3) lebih terbuka dan transparan; (4) menciptakan kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tinggi; (4) meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan; (5) jika menemukan kesalahan akan segera dapat diperbaiki; dan (6) dapat beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK. Selain beberapa manfaat di atas, manfaat lain bagi individu (pribadi) dan kelompok adalah : (1) meningkatkan kepuasan kerja; (2) pergaulan lebih akrab; (3) disiplin meningkat; (4) pengawasan fungsional bisa lebih ringan; (5) muncul keinginan untuk selalu ingin berbuat proaktif; (6) belajar dan berprestasi terus serta; dan (7) selalu ingin memberikan yang terbaik bagi sekolah, keluarga, orang lain dan diri sendiri.


• Prinsip-Prinsip dan Asas Pengembangan Budaya Sekolah
Upaya pengembangan budaya sekolah seyogyanya mengacu kepada beberapa prinsip berikut ini.
1. Berfokus pada Visi, Misi dan Tujuan Sekolah. Pengembangan budaya sekolah harus senantiasa sejalan dengan visi, misi dan tujuan sekolah. Fungsi visi, misi, dan tujuan sekolah adalah mengarahkan pengembangan budaya sekolah. Visi tentang keunggulan mutu misalnya, harus disertai dengan program-program yang nyata mengenai penciptaan budaya sekolah.
2. Penciptaan Komunikasi Formal dan Informal. Komunikasi merupakan dasar bagi koordinasi dalam sekolah, termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan pentingnya budaya sekolah. Komunikasi informal sama pentingnya dengan komunikasi formal. Dengan demikian kedua jalur komunikasi tersebut perlu digunakan dalam menyampaikan pesan secara efektif dan efisien.
3. Inovatif dan Bersedia Mengambil Resiko. Salah satu dimensi budaya organisasi adalah inovasi dan kesediaan mengambil resiko. Setiap perubahan budaya sekolah menyebabkan adanya resiko yang harus diterima khususnya bagi para pembaharu. Ketakutan akan resiko menyebabkan kurang beraninya seorang pemimpin mengambil sikap dan keputusan dalam waktu cepat.
4. Memiliki Strategi yang Jelas. Pengembangan budaya sekolah perlu ditopang oleh strategi dan program. Startegi mencakup cara-cara yang ditempuh sedangkan program menyangkut kegiatan operasional yang perlu dilakukan. Strategi dan program merupakan dua hal yang selalu berkaitan.
5. Berorientasi Kinerja. Pengembangan budaya sekolah perlu diarahkan pada sasaran yang sedapat mungkin dapat diukur. Sasaran yang dapat diukur akan mempermudah pengukuran capaian kinerja dari suatu sekolah.
6. Sistem Evaluasi yang Jelas. Untuk mengetahui kinerja pengembangan budaya sekolah perlu dilakukan evaluasi secara rutin dan bertahap: jangka pendek, sedang, dan jangka panjang. Karena itu perlu dikembangkan sistem evaluasi terutama dalam hal: kapan evaluasi dilakukan, siapa yang melakukan dan mekanisme tindak lanjut yang harus dilakukan.
7. Memiliki Komitmen yang Kuat. Komitmen dari pimpinan dan warga sekolah sangat menentukan implementasi program-program pengembangan budaya sekolah. Banyak bukti menunjukkan bahwa komitmen yang lemah terutama dari pimpinan menyebabkan program-program tidak terlaksana dengan baik.
8. Keputusan Berdasarkan Konsensus. Ciri budaya organisasi yang positif adalah pengembilan keputusan partisipatif yang berujung pada pengambilan keputusan secara konsensus. Meskipun hal itu tergantung pada situasi keputusan, namun pada umumnya konsensus dapat meningkatkan komitmen anggota organisasi dalam melaksanakan keputusan tersebut.
9. Sistem Imbalan yang Jelas. Pengembangan budaya sekolah hendaknya disertai dengan sistem imbalan meskipun tidak selalu dalam bentuk barang atau uang. Bentuk lainnya adalah penghargaan atau kredit poin terutama bagi siswa yang menunjukkan perilaku positif yang sejalan dengan pengembangan budaya sekolah.
10. Evaluasi Diri. Evaluasi diri merupakan salah satu alat untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi di sekolah. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan curah pendapat atau menggunakan skala penilaian diri. Kepala sekolah dapat mengembangkan metode penilaian diri yang berguna bagi pengembangan budaya sekolah. Halaman berikut ini dikemukakan satu contoh untuk mengukur budaya sekolah.
Selain mengacu kepada sejumlah prinsip di atas, upaya pengembangan budaya sekolah juga seyogyanya berpegang pada asas-asas berikut ini:
1. Kerjasama tim (team work). Pada dasarnya sebuah komunitas sekolah merupakan sebuah tim/kumpulan individu yang bekerja sama untuk mencapai tujuan. Untuk itu, nilai kerja sama merupakan suatu keharusan dan kerjasama merupakan aktivitas yang bertujuan untuk membangun kekuatan-kekuatan atau sumber daya yang dimilki oleh personil sekolah.
2. Kemampuan. Menunjuk pada kemampuan untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawab pada tingkat kelas atau sekolah. Dalam lingkungan pembelajaran, kemampuan profesional guru bukan hanya ditunjukkan dalam bidang akademik tetapi juga dalam bersikap dan bertindak yang mencerminkan pribadi pendidik.
3. Keinginan. Keinginan di sini merujuk pada kemauan atau kerelaan untuk melakukan tugas dan tanggung jawab untuk memberikan kepuasan terhadap siswa dan masyarakat. Semua nilai di atas tidak berarti apa-apa jika tidak diiringi dengan keinginan. Keinginan juga harus diarahkan pada usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan dan kompetensi diri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai budaya yang muncul dalam diri pribadi baik sebagai kepala sekolah, guru, dan staf dalam memberikan pelayanan kepada siswa dan masyarakat.
4. Kegembiraan (happiness). Nilai kegembiraan ini harus dimiliki oleh seluruh personil sekolah dengan harapan kegembiraan yang kita miliki akan berimplikasi pada lingkungan dan iklim sekolah yang ramah dan menumbuhkan perasaan puas, nyaman, bahagia dan bangga sebagai bagian dari personil sekolah. Jika perlu dibuat wilayah-wilayah yang dapat membuat suasana dan memberi nuansa yang indah, nyaman, asri dan menyenangkan, seperti taman sekolah ditata dengan baik dan dibuat wilayah bebas masalah atau wilayah harus senyum dan sebagainya.
5. Hormat (respect). Rasa hormat merupakan nilai yang memperlihatkan penghargaan kepada siapa saja baik dalam lingkungan sekolah maupun dengan stakeholders pendidikan lainnya. Keluhan-keluhan yang terjadi karena perasaan tidak dihargai atau tidak diperlakukan dengan wajar akan menjadikan sekolah kurang dipercaya. Sikap respek dapat diungkapkan dengan cara memberi senyuman dan sapaan kepada siapa saja yang kita temui, bisa juga dengan memberikan hadiah yang menarik sebagai ungkapan rasa hormat dan penghargaan kita atas hasil kerja yang dilakukan dengan baik. Atau mengundang secara khusus dan menyampaikan selamat atas prestasi yang diperoleh dan sebagaianya.
6. Jujur (honesty). Nilai kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar dalam lingkungan sekolah, baik kejujuran pada diri sendiri maupun kejujuran kepada orang lain. Nilai kejujuran tidak terbatas pada kebenaran dalam melakukan pekerjaan atau tugas tetapi mencakup cara terbaik dalam membentuk pribadi yang obyektif. Tanpa kejujuran, kepercayaan tidak akan diperoleh. Oleh karena itu budaya jujur dalam setiap situasi dimanapun kita berada harus senantiasa dipertahankan. Jujur dalam memberikan penilaian, jujur dalam mengelola keuangan, jujur dalam penggunaan waktu serta konsisten pada tugas dan tanggung jawab merupakan pribadi yang kuat dalam menciptakan budaya sekolah yang baik.
7. Disiplin (discipline). Disiplin merupakan suatu bentuk ketaatan pada peraturan dan sanksi yang berlaku dalam lingkungan sekolah. Disiplin yang dimaksudkan dalam asas ini adalah sikap dan perilaku disiplin yang muncul karena kesadaran dan kerelaan kita untuk hidup teratur dan rapi serta mampu menempatkan sesuatu sesuai pada kondisi yang seharusnya. Jadi disiplin disini bukanlah sesuatu yang harus dan tidak harus dilakukan karena peraturan yang menuntut kita untuk taat pada aturan yang ada. Aturan atau tata tertib yang dipajang dimana-mana bahkan merupakan atribut, tidak akan menjamin untuk dipatuhi apabila tidak didukung dengan suasana atau iklim lingkungan sekolah yang disiplin. Disiplin tidak hanya berlaku pada orang tertentu saja di sekolah tetapi untuk semua personil sekolah tidak kecuali kepala sekolah, guru dan staf.
8. Empati (empathy). Empati adalah kemampuan menempatkan diri atau dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain namun tidak ikut larut dalam perasaan itu. Sikap ini perlu dimiliki oleh seluruh personil sekolah agar dalam berinteraksi dengan siapa saja dan dimana saja mereka dapat memahami penyebab dari masalah yang mungkin dihadapai oleh orang lain dan mampu menempatkan diri sesuai dengan harapan orang tersebut. Dengan sifat empati warga sekolah dapat menumbuhkan budaya sekolah yang lebih baik karena dilandasi oleh perasaan yang saling memahami.
9. Pengetahuan dan Kesopanan. Pengetahuan dan kesopanan para personil sekolah yang disertai dengan kemampuan untuk memperoleh kepercayaan dari siapa saja akan memberikan kesan yang meyakinkan bagi orang lain. Dimensi ini menuntut para guru, staf dan kepala sekolah tarmpil, profesional dan terlatih dalam memainkan perannya memenuhi tuntutan dan kebutuhan siswa, orang tua dan masyarakat.

Pembentukan Budaya Sekolah

1. Pengertian Budaya Sekolah
Budaya sekolah pada dasarnya sama dengan budaya organisasi. Secara umum sebenarnya budaya sekolah atau budaya organisasi tidak berbeda dengan budaya masyarakat yang sudah dikenal selama ini. Perbedaan pokok terletak pada lingkupnya, sehingga kekhususan budaya sekolah berakar dari lingkupnya, dalam hal ini lebih sempit dan lebih spesifik. Budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, kebiasaan, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, staf, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah.
Deal dan kennedy (Depdiknas, 2003:3) mendefinisikan kultur sekolah sebagai keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan sebagai warga sekolah. Dapat dipahami bahwa budaya sekolah adalah sistem makna untuk membina mental agar pemikiran dan tindakan karyawan yang didasarkan pada pertimbangan moral dapat dipertanggungjawabkan. Kultur sekolah berkaitan dengan visi yang dimiliki oleh kepala sekolah dalam mengembangkan sekolahnya di masa yang akan datang. Kultur/budaya sekolah dibangun dari pemikiran-pemikiran manusia yang ada dalam sekolah tersebut. Pemikiran yang paling besar porsinya adalah pemikiran kepala sekolah. Dari pemikiran tersebut kemudian menghasilkan apa yang disebut dengan suatu pemikiran organisasi, yang kemudian diyakini bersama dan akan menjadi bahan utama pembentuk budaya sekolah. Budaya sekolah yang diterapkan oleh pihak sekolah dalam lingkungan sekolah dapat mempengaruhi kepribadian siswa terutama dalam hal kedisiplinan dan kujujuran siswa. Dengan adanya budaya sekolah diharapkan siswa memiliki karakter yang baik dalam melakukan setiap tindakan untuk membentuk generasi penerus yang memiliki kepribadian.

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kewujudan Budaya Sekolah
Budaya telah menjadi konsep penting dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia untuk waktu yang lama. Dalam mewujudkan budaya sekolah yang kondusif, perlu adanya faktor-faktor yang mempengaruhi terwujudnya budaya sekolah, yaitu:
a. Faktor menghambat pembentukan budaya sekolah
Faktor penghambat dalam pembentukan budaya disiplin di sekolah, diantaranya yaitu:
• Siswa itu sendiri
Siswa yang memiliki masalah pribadi baik di rumah ataupun di sekolah dapat menghambat penerapan budaya sekolah, karena sikap siswa yang malas terhadap berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pembentukan budaya sekolah. Sehingga pembentukan budaya sekolah tidak berjalan dengan baik.
• Manajemen sekolah
Manajemen sekolah yang kurang disiplin merupakan salah satu penghambat pembentukan budaya sekolah, karena budaya sekolah dapat terlaksana dengan baik karena adanya manajemen sekolah yang kondusif dan bentuk perhatian kepala sekolah dan komite sekolah dalam menerapkan budaya sekolah.
• Guru
Guru yang kurang memiliki sikap disiplin dan tanggung jawab tinggi dapat mengakibatkan pembentukan budaya sekolah terkendala, karena siswa akan mengikuti kebiasaan guru yang kurang baik daripada melihat kebiasaan baik guru, sehingga guru diharapkan dapat menanamkan budaya sekolah yang baik terhadap peserta didik.
b. Faktor pendukung pembentukan budaya sekolah
Faktor pendukung dalam pembentukan budaya disiplin di sekolah, diantaranya yaitu:
• Sarana prasarana
Adanya sarana prasarana yang cukup menunjang dalam proses pembelajaran dapat digunakan untuk membentuk budaya sekolah, karena sarana prasarana dapat mempengaruhi penerapan budaya sekolah yang menyenangkan dan sarana prasarana adalah bentuk media pembelajaran siswa.

• Lingkungan yang kondusif
Terbentuknya lingkungan kondusif karena adanya bentuk kerjasama atau kekompakan yang baik antara warga sekolah, sehingga dalam menerapkan dan menjalankan budaya sekolah dapat dijalankan dengan baik.
• Peran orang tua
Peran orang tua adalah salah satu pendukung terbentuknya budaya sekolah yang baik. Bentuk perhatian orang tua terhadap anak merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan budaya sekolah yang kondusif. Selain itu diharapkan orang
tua siswa dapat menerapkan pola asuh yang tepat untuk anak-anaknya dalam rangka membentuk karakter anak yang lebih baik lagi, dan terus memberikan dukungan kepada anak dalam menjalankan budaya disiplin dimanapun anak berada.

3. Peran Budaya Sekolah
Budaya mempunyai kaitan dan peran terhadap berbagai aspek kehidupan di sekolah secara menyeluruh. Fungsi utama budaya yaitu untuk adaptasi terhadap lingkungan eksternal dan proses integrasi internal.
Secara spesifik budaya memiliki lima peran, yaitu:
• Budaya memberikan rasa identitas dan kebanggaan bagi karyawan yaitu menciptakan perbedaan yang jelas antara organisasi satu denagn yang lain.
• Budaya mempermudah terbentuknya komitmen dan pemikiran yang lebih luas daripada kepentingan pribadi seseorang.
• Budaya memperkuat standar perilaku organisasi dalam membangun pelayanan superior pada pelanggan.
• Budaya menciptakan pola adaptasi.
• Budaya membangun sistem kontrol organisasi secara menyeluruh.
Fungsi-fungsi budaya sekolah merupakan kekuatan yang menggerakkan dan mengendalikan perilaku anggotanya dalam berkomunikasi dengan lingkungannya. Budaya yang kuat berperan dalam dua hal, pertama, mengarahkan perilaku, karyawan mengerti bagaimana harus bertindak dan apa yang diharapkan dari mereka. Kedua, budaya yang kuat memberi karyawan pengertian akan tujuan, dan membuat mereka berfikir positif terhadap sekolah. Budaya berfungsi sebagai perekat yang menyatukan organisasi.
Budaya sekolah yang dibangun oleh para pendiri merupakan jiwa bagi anggota-anggotanya, oleh karena itu para pendiri secara moral harus memberi keteladanan kepada seluruh stakeholder agar budaya yang dibangun dapat menjadi moral dalam proses keorganisasian. Secara alami, budaya sekolah sulit untuk dipahami karena tidak berwujud, implisit, dan dianggap sesuatu yang biasa. Budaya dalam proses keorganisasian menjadi dasar dari desain organisasi yang mencakup tujuan, struktur, teknologi, dan pola pengelolaan.
Budaya sekolah berpengaruh besar terhadap kehidupan di sekolah, meskipun tidak selamanya berdampak positif. Budaya yang memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan sekolah adalah budaya yang kuat. Hal ini dapat terjadi ketika seluruh jajaran di sekolah tersebut sepakat tentang nilai-nilai tertentu yang menjadi dasar dari tindakan anggota dan sekolah sebagai organisasi pada sisi lain, tidak tertutup kemungkinan bahwa budaya sekolah mungkin saja belum benar-benar terbentuk atau sudah terbentuk tetapi belum ada. Agar hal tersebut dapat diwujudkan, dibutuhkan setidaknya dua kondisi yaitu komitmen pada nilai-nilai yang dianut dan share nilai pada anggota organisasi atau sekolah tersebut. Keselarasan nilai-nilai organisasi dengan anggota sebagai individu akan memperkuat budaya sekolah sebagai organisasi.
Budaya yang kuat akan terwujudkan dalam berbagai jenis atau tipe. Sekolah sebagai sebuah organisasi akan mengalami berbagai persoalan bila tidak dapat menyesuaikan dengan perkembangan di luar sekolah dan perkembangan dunia pada umumnya. Budaya yang demikian antara lain di tandai oleh adanya perhatian yang tinggi terhadap stakeholder dan menghargai orang atau proses yang dapat membuat perubahan. Untuk dapat melakukan hal itu maka sekolah harus dapat melayani semua pihak di dalam sekolah dan percaya kepada pihak lain di luar sekolah. Sasaran pengembangan budaya sekolah adalah terwujudnya budaya sekolah yang kondusif dan bermutu untuk mendukung proses pembelajaran di sekolah.

4. Proses Pembentukan Budaya Sekolah
Suatu budaya pada hakikatnya adalah sebuah fenomena kelompok. Untuk menelaah proses terbentuknya budaya organisasi tidak dapat lepas dari dukungan kelompok. Dalam suatu organisasi (lembaga pendidikan), budaya dapat dipahami sebagai berikut:
• Pertama, tindakan yaitu keyakinan dan tujuan yang dianut bersama yang dimiliki oleh anggota organisasi yang potensial membentuk perilaku mereka dan bertahan lama meskipun sudah terjadi pergantian anggota. Dalam lembaga pendidikan misalnya, budaya ini berupa saling menyapa, saling menghargai, toleransi dan lain sebagainya.
• Kedua, norma perilaku yaitu cara berperilaku yang sudah lazim digunakan dalam sebuah organisasi yang bertahan lama karena semua anggotanya mewariskan perilaku tersebut kepada anggota baru. Dalam lembaga pendidikan, perilaku ini antara lain berupa semangat untuk selalu giat belajar, selalu menjaga kebersihan, bertutur sapa, dan berbagai perilaku mulia lainnya.
Dalam organisasi sekolah, pada hakikatnya terjadi interaksi antar individu sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing dalam rangka mencapai tujuan bersama. Tatanan nilai yang telah dirumuskan dengan baik berusaha diwujudkan dalam berbagai perilaku keseharian melalui proses interaksi yang efektif. Dalam rentang waktu yang panjang, perilaku tersebut akan membentuk suatu pola budaya tertentu yang unik antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi karakter khusus suatu lembaga pendidikan yang sekaligus menjadi pembeda dengan lembaga pendidikan lainnya.
Melalui proses interaksi yang efektif, hal lain yang tidak kalah penting dalam pembangunan infrastruktur sekolah adalah membangun dan membentuk budaya di sekolah. Ada tiga kultur yang harus dibentuk di sekolah, diantaranya yaitu:
• Budaya bersih
Guru harus betul-betul menanamkan budaya bersih sejak siswa mulai masuk di sekolah. Karena jika budaya kebersihan sudah melekat, maka pikiran dan hati akan menjadi bersih pula, yaitu baik bersih lahir ataupun bersih batin
• Budaya saling menghargai, menghormati, dan hidup harmonis
Budaya saling menghargai, menghormati dan hidup harmonis adalah salah satu budaya yang harus dibentuk dalam sekolah. Budaya ini, harus ditekankan sejak dini agar tidak ada lagi tradisi kekerasan khususnya di lingkungan sekolah.
• Budaya keilmuan
Diharapkan dari budaya keilmuan para tenaga pendidik dapat menanamkan rasa penasaran secara intelektual kepada para siswanya. Karena, dengan ini akan menumbuhkan sikap objektif, inovatif, dan produktif kepada para siswa.
penanaman budaya disiplin sekolah di awali dengan pembuatan visi, misi, dan tujuan sekolah yang disusun bersamaan dengan pembuatan KTSP. Dari visi, misi, dan tujuan sekolah tersebut, maka budaya sekolah dapat dibentuk. Penyusunan visi, misi dan tujuan sekolah melibatkan stakeholder yang ada. Penerapan budaya sekolah tersebut juga diberlakukan kepada warga sekolah. Budaya sekolah yang harus diterapkan yaitu budaya kedisiplinan. Budaya kedisplinan tertuang dalam tata tertib sekolah, yang diberlakukan terhadap seluruh warga sekolah.

5. Implementasi Budaya Sekolah
Implementasi budaya sekolah adalah proses yang terintegrasi dalam sebuah sistem sosial, yang merupakan sosialisasi. Robbins (1998) mengatakan bahwa sosialisasi merupakan proses adaptasi karyawan terhadap budaya yang diciptakan oleh organisasi.
Implementasi budaya terdiri dari dua tahap pokok, yaitu pembelajaran dan adaptasi. Tahap pembelajaran adalah waktu dimana karyawan belajar tentang pola kehidupan organisasi. Karyawan mempelajari berbagai aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas serta perilaku organisasional. Tahap adaptasi merupakan waktu dimana karyawan sudah melakukan penyesuaian terhadap sistem keorganisasian sebuah proses. Proses adaptasi karyawan melalui berbagai cara, yaitu keteladanan dari pemimpinan, penokohan yaitu cerita tentang para pendahulu dalam membesarkan sekolah, rutinitas, simbol dan slogan atau kredo (Poerwanto, 2008).
a. Keteladanan
Keteladanan adalah tindakan dan pemikiran-pemikiran seseorang dalam mengimplemantasikan sesuatu yang telah menjadi keharusan secara benar, yang dapat ditiru atau menjadi model-model peran yang nyata bagi karyawan.
b. Penokohan
Cerita tentang tokoh adalah bagian dari kehidupan manusia dan mempunyai makna serta manfaat bagi massa depan baik secara individu maupun organisasi. Cerita adalah tradisi yang merupakan salah satu alat komunikasi untuk menyampaikan nilai-nilai, tata cara, anggapan maupun prestasi dari waktu ke waktu dan merupakan salah satu media pendidikan.
c. Rutinitas
Rutinitas dalam organisasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui struktur dan nonstruktur. Struktur organisasi membakukan komunikasi organisasi yang menunjukkan tentang bagaimana tugas pekerjaan dibagi, dikelompokkan dan dikoordinasi secara formal. Sedangkan nonstruktur adalah kegiatan-kegiatan sosial sekolah yang dilakukan berkenaan dengan pembentukan identitas dan kebanggaan.
d. Simbol dan Slogan
Simbol adalah obyek atau tindakan yang memberi arti bagi sekolah yang dapat berupa logo, materi atau tindakan yang didalamnya mengandung filosofi. Simbol merupakan salah satu objek dalam membangun identitas sekolah, menuntun dan menyatukan pemikiran serta perilaku karyawan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam tugas maupun di masyarakat.
Simbol sekolah terdiri dari berbagai bentuk yang setiap satuan bentuk serta warna memiliki arti dan nilai yang merupakan cermin dari filosofi sekolah. Simbol dapat berbentuk gabungan dari berbagai objek seperti logo, gedung, maupun tindakan yang memiliki karakteristik yang dilakukan secara kontinyu.
Slogan atau sering disebut kredo adalah kata-kata atau kalimat yang mengekspresikan suatu nilai bagi sekolah secara singkat dan mempunyai makna khusus bagi organisasi secara keseluruhan. Karyawan harus menerima sebagai suatu hal yang dapat mengikat secara psikologis maupun sosiologis.
Pembentukan budaya dan iklim sekolah, budaya dan iklim sekolah dibentuk dengan cara:
a. Menghargai hasil permusyawarahan
Semua guru yang mengalami kendala atau permasalahan dalam melaksanakan kegiatan sekolah harus bisa menyelesaikan dalam bentuk musyawarah untuk mendapatkan nilai kesepakatan yang diinginkan, karena dengan melakukan kegiatan musyawarah permasalah bisa terselesaikan dengan baik tanpa ada permusuhan dan adanya musyawarah bisa menghargai hasil yang telah disepakati.
b. Mengamalkan nilai kesejawatanan
Di dalam sebuah organisasi manusia tidak bekerja seorang diri, apa pun tugas dan peranannya seseorang itu tetap memerlukan bantuan orang lain. Sehingga peran teman sejawat sangat diperlukan dalam pembentukan budaya sekolah.
c. Guru-guru berkeyakinan tinggi
Guru-guru yang memiliki dedikasi tinggi terhadap pendidikan sangat dibutuhkan dalam pembentukan budaya sekolah, karena budaya berawal dari kebiasaan guru dalam kegiatan sehari-hari yang ditirukan oleh siswa.
d. Ada komitmen yang tinggi
Komitmen adalah satu sikap diri yang ditunjukkan dalam segala tingkah laku dan cara berfikir seseorang dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Komitmen yang tinggi terhadap kelangsungan organisasi dan kebajikan siswa, misalnya dapat dilihat dari perilaku guru yang datang ke sekolah lebih awal, mengajar dengan semangat tinggi. Orang-orang yang berkomitmen tinggi juga senantiasa dapat mematuhi dan menepati norma-norma organisasi atau masyarakat.

Kesimpulan
Iklim dan budaya organisasi mempunyai keterkaitan hubungan, iklim yang baik akan mendorong tumbuhnya budaya yang baik pula. Sebaliknya budaya yang baik akan membentuk iklim sekolah yang kondusif. Budaya organisasi mengacu pada keyakinan bersama, sikap dan tata hubungan serta asumsi-asumsi yang secara eksplisit atau implisit dapat diterima dan digunakan oleh seluruh anggota organisasi untuk mengahadapi lingkungan luar dalam mencapai tujun-tujuan organisasi. Dalam hal ini, budaya organisasi mempunyai pengaruh penting terhadap motivasi. Apabila budaya organisasi diaplikasikan pada lingkungan manajemen organisasi sekolah, maka lahirlah konsep budaya manajemen sekolah.
Budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, kebiasaan, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, staf, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Faktor-faktor penghambat pembentukan budaya sekolah diantaranya yaitu, siswa itu sendiri, manajemen sekolah dan guru. Adanya faktor penghambat diharapkan dapat ditunjang dengan adanya faktor pendukung pembentukan budaya sekolah, diantaranya yaitu sarana prasarana, kondisi lingkungan dan peran orang tua. Karena adanya faktor pendukung, budaya sekolah dapat diterapkan dengan baik.

Karakteristik Budaya Sekolah

(Suasana, Iklim, Kebiasaan, Produk, Peran, Output)

1. Pengertian Budaya Sekolah
budaya sekolah adalah sistem makna untuk membina mental agar pemikiran dan tindakan karyawan berdasarkan pada pertimbangan moral dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, budaya sekolah dapat didefinisikan sebagai berikut :Seperangkat asumsi yang dibangun dan dianut bersama oleh organisasi sebagai moral dalam beradaptasi dengan lingkungan eksternal dan proses integrasi internal.
Seperangkat asumsi dimaksud adalah filosofi, nilai-nilai, norma-norma, keyakinan, ide, mitos, dan karya yang terintegrasi untuk mengarahkan perilaku organisasional. Seperangkat asumsi tersebut merupakan isi budaya sekolah yang berkaitan dengan apa yang difikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh semua karyawan. Isi budaya adalah moral yaitu watak organisasi yang mengutamakan nilai-nilai kebaikan yang harus diterima dan disepakati untuk menjadi roh kehidupan organisasi.
Sebagai moral, bentuk dari budaya dapat berupa pemikiran tindakan dan atau hasil kerja yang di dasari oleh nilai- nilai baik untuk menjadi ciri sekolah.Budaya sekolah akan berpengaruh besar terhadap kehidupan disekolah, meskipun tidak selamanya berdampak positif. Budaya yang memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan sekolah adalah budaya yang kuat. Hal ini dapat terjadi ketika seluruh jajaran disekolah tersebut sepakat tentang nilai – nilai tertentu yang menjadi dasar dari tindakan anggota dan sekolah sebagai organisasi.
Budaya yang kuat akan terwujud dalam berbagai jenis atau tipe. Akhir – akhir ini ada keyakinan bahwa budaya yang kuat dan sesuai dengan tuntutan perkembangan dunia pada umumnya adalah budaya adaptif. Sekolah sebagai Budaya yang demikian antara lain ditandai oleh adanya perhatian yang tinggi terhadap stakeholders dan menghargai orang atau proses yang dapat membuat perubahan. Untuk dapat melakukan hal itu sekolah harus dapat melayani semua pihak di dalam sekolah dan percaya kepada pihak lain di luar sekolah.

2. Karakteristik Budaya Sekolah
2.1 Pengertian Karakteristik Budaya Sekolah
Karakteristik secara etimologis berasal dari bahasa Inggris, yaitu berasal dari kata character. Arti character sendiri adalah watak, sifat, dan peran. Karakter bisa diartikan sebagai suatu sifat ataupun ciri-ciri yang khusus (yang membedakannya dengan yang lain). Characteristic adalah sifat yang khas, yaitu sebuah keistimewaan atau ciri khas yang membantu dalam mengenal sesuatu, memisahkannya dengan yang lain, atau mendeskripsikan secara jelas dan nyata; sebuah tanda yang berbeda.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, budaya (cultural) diartikan sebagai: pikiran; adat istiadat; sesuatu yang sudah berkembang; sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Dalam pemakaian sehari-hari, orang biasanya mengasumsikan pengertian budaya dengan tradisi (tradition). Dalam hal ini, tradisi diartikan sebagai ide-ide umum, sikap dalam kebiasaan dari masyarakat yang nampak dari perilaku sehari-hari yang menjadi kebiasaan dari kelompok dalam masyarakat tersebut.
Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian Karakteristik budaya sekolah adalah sifat yang khas daris sekolah meliputi nilai nilai, norma, sikap, mitos, kontrol koordinasi dan motivasi, etika, dan kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk dalam perjalanan panjang suatu sekolah yang lebih menekankan pada penghayatan segi-segi simbolik, tridisi, riwayat sekolah yang kesemuannya akan membentuk keyakinan, kepercayaan diri dan kebanggaan akan sekolahnya.

2.2 Suasana Sekolah
a) Konsep Suasana Sekolah
Menciptakan suasana sekolah yang kondusif merupakan hal penting untuk mendukung upaya pendidikan bagi siswa. Namun tidaklah mudah, banyak aspek-aspek terkait didalamnya.Suasana sekolah yang kondusif merupakan hal yang perlu diwujudkan oleh warga sekolah jika menginginkan keberhasilan dalam proses pendidikan di sekolah.

b) Aspek-aspek dalam Suasana Sekolah
Aspek yang terkait dengan upaya penciptaan suasana lingkungan sekolah yang kondusif meliputi dua aspek, yaitu;
i. Aspek Statis
Aspek statis merupakan aspek yang bersifat tetap, tidak banyak berubah dalam jangka waktu yang relatif lama.Aspek statis meliputi 5 aspek, yaitu visi dan misi sekolah, program atau kegiatan sekolah, tata tertib sekolah, sarana dan prasarana sekolah, serta taman atau tempat bermain atau melakukan kegiatan olahraga.
Visi dan Misi sekolah merupakan hal penting yang harus ada dalam suatu lembaga pendidikan, tak terkecuali sekolah. Ingin menjadi seperti apa sekolah nantinya merupakan hal yang terlihat pada visi sekolah. Berlandaskan pada visi dan misi sekolah inilah, maka dibuat Program atau kegiatan sekolah, yang merupakan unsur kedua aspek statis dalam upaya penciptaan suasana sekolah yang kondusif. Program atau kegiatan sekolah ini hendaknya disusun bersama-sama seluruh warga sekolah, jadi tidak hanya oleh kepala sekolah.
Unsur aspek statis yang ketiga adalah tata tertib sekolah. Tata tertib sekolah memuat apa saja hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, disertai sanksi atau hukuman yang akan diberikan jika tata tertib tersebut dilanggar. Tata tertib sekolah hendaknya diketahui oleh seluruh warga sekolah, begitu juga sanksi yang jelas dan tegas harus diberikan terhadap siapapun pihak yang melanggar.
Tersedianya sarana prasarana sekolah menjadi unsur aspek keempat yang mempengaruhi upaya penciptaan suasana sekolah yang kondusif. Semakin lengkap sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah, maka kemungkinan proses pendidikan berjalan dengan lebih baik juga besar. Unsur aspek statis terakhir yang berpengaruh terhadap penciptaan suasana sekolah yang kondusif adalah tersedianya taman atau tempat bermain dan melakukan kegiatan olahraga. Taman yang bersih, terawat dan tertata rapi akan memberikan efek asri dan menyenangkan untuk dipandang.

ii. Aspek Dinamis.
Aspek dinamis memiliki arti mudah dipengaruhi dan cepat berubah dalam waktu yang relatif singkat. Aspek dinamis ini meliputi unsur keteladanan, tata pergaulan, dan suasana belajar di kelas.
Unsur aspek dinamis keteladanan besar pengaruhnya terhadap penciptaan suasana sekolah yang kondusif, karena pada dasarnya peserta didik bisa meniru dan menilai terhadap kinerja guru dan kepala sekolah yang dilihatnya.
Unsur aspek dinamis yang kedua adalah tata pergaulan. Masalah tata pergaulan disini terutama meliputi pergaulan guru dengan siswa, guru dengan guru, dan siswa dengan siswa. Sekarang sudah bukan jamannya lagi sosok guru yang otoriter terhadap siswanya sehingga siswa juga takut bergaul dengan gurunya. Unsur yang terakhir adalah suasana belajar di kelas. Unsur ini berkaitan sekali dengan kemampuan guru untuk mengajar di kelas, bagaimana upaya guru menciptakan suasana belajar di kelas yang menyenangkan sehingga siswa dapat menguasai materi pelajaran dengan lebih cepat dan mudah

2.3 Iklim Sekolah
a) Pengertian Iklim Sekolah
Keadaan atau suasana sekolah yang tenang dan nyaman, sesuai untuk proses pengajaran dan pembelajaran dianggap sebagai mempunyai iklim sekolah yang berkesan.
Halpin dan Croft (1963) yang merupakan perintis dalam kajian iklim sekolah mengatakan bahawa iklim sekolah menggambarkan personalitiseseorang individu sendiri dan bagaimana guru tersebut berusaha untuk mencapai tahap organisasi iklim sekolah berkenaan.
Howard (1974)mendeļ¬nisikan iklim sekolah sebagai keadaan sosial dan budaya sekolah itu yang mempengaruhi tingkah laku orang di dalamnya.
Pusat Perkembangan 5 Ciri Iklim Sekolah BerkesanKurikulum (1981) mendeļ¬nisikan iklim sekolah sebagai suasana sekolah yangbaik di mana keadaan persekitarannya dirasakan selesa, tenteram, mesra, riangdengan pembelajaran yang lancar.
Menurut Paula F. Silver(1983:180) iklim sekolah (sosial sekolah) dibentuk oleh hubungan timbal balik antara perilaku kepala sekolah dan perilaku guru sebagai suatu kelompok dimana perilaku kepala sekolah dapat mempengaruhi interaksi interpersonal para guru. Dengan demikian, dinamika kepemimpinan kepala sekolah dengan kelompok(guru dan staf) dipandang sebagai kunci untuk memahami variasi iklim sekolah dan setiap variasi tersebut akan memberi dampak pada variasi kinerja yang dilakukan oleh seluruh anggota organisasi sekolah.
Interaksi antara perilaku guru yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya sebagai pendidik dan perilaku kepala sekolah berkaitan dengan implementasi kepemimpinannya dalam mengelola sekolah, akan menentukan iklim sekolah. Iklim sekolah yang baik dan kondusif bagi kegiatan pendidikan akan menghasilkan interaksi edukatif yang efektif, demikian juga iklim sekolah yang memberikan ruang bagi kreativitas dan inovasi akan mendorong para guru untuk berkinerja kreatif dan inovatif, sehingga upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah akan berjalan dengan baik. Keadaan sebaliknya akan terjadi jika iklim sekolah tidak kondusif bagi perwujudan kinerja yang efektif, kreatif, dan inovatif.
Interaksi antara Perilaku Kepala Sekolah dengan Perilaku Guru
iklim sekolah berkaitan dengan bagaimana interaksi antara pemimpin/kepala sekolah dengan guru-guru. Interaksi tersebut membentuk suatu iklim sekolah tertentu dari yang terbuka sampai dengan iklim yang tertutup. Penekanan lebih ditujukan pada aspek interaksi sosial guru dan kepala sekolah dari suatu organisasi sekolah sebagai pembentuk suatu iklim sekolah. Interaksi sosial dalam suatu sekolah dalam kenyataannya tidak terbatas pada guru dan kepala sekolah, tapi juga terjadi antara guru dan staf, guru dan siswa, kepala sekolah dengan siswa serta interaksi antara sekolah dengan masyarakat. Oleh karena itu, iklim sekolah mempunyai cakupan yang luas berkaitan dengan seluruh perilaku organisasi yang terjadi di sekolah.
Iklim sekolah merupakan hal yang penting bagi kegiatan pembelajaran, proses pembelajaran yang terjadi pada dasarnya merupakan suatu bentuk interaksi dalam konteks organisasi sekolah, dan interaksi tersebut merupakan media dan sekaligus akibat dari suatu iklim organisasi sekolah. Iklim tersebut akan mendasari sikap dan perilaku kerja anggota organisasi sekolah termasuk guru dalam menjalankan tugasnya. Iklim organisasi bersifat dinamis, bisa berubah sesuai dengan kondisi yang terjadi di dalamnya. Upaya untuk memperbaiki kinerja organisasi dapat dilakukan dengan melakukan perubahan dalam iklim organisasi. Perubahan yang terjadi dalam iklim organisasi sekolah tergantung pada pola hubungan kerja individu dalam organisasi serta pelaksanaan pekerjaan oleh para pegawai, perubahan dalam pendekatan pembelajaran, managemen kelas serta bagaimana mekanisme pengambilan keputusan akan mempengaruhi iklim sekolah yang pada akhirnya akan berdampak pada kualitas pendidikan.
b) Dimensi-dimensi iklim sekolah
Iklim sekolah pada dasarnya menggambarkan aspek lingkungan sekolah yang menjadi tempat bagi mereka yang terlibat di dalamnya untuk bekerja sesuai dengan peran dan tugasnya masing-masing. Lingkungan tersebut dpat berbentuk fisik ataupun lingkungan psikologis dan atau sosial. Terdapat 4 aspek lingkungan sekolah yang membentuk iklim sekolah, yaitu:
(1) A physical environment that is welcoming and condusive to learning
(2) A sosial environment that promotes communication and interaction
(3) An aeffective envirinment that promotes a sense of belonging and self- esteem
(4) An academic environment that promotes learning and self-fullfillment
Lingkungan fisik menggambarkan bagaimana situasi dan kondisi tata ruang yang kondusif untuk belajar. Lingkungan sosial berkaitan dengan komunikasi dan interkasi. Lingkungan afektif berkaitan dengan penumbuhan rasa memiliki dan harga diri. Lingkungan akademik meningkatkan belajar dan pemenuhan diri.

2.4 Kebiasaan Sekolah
a) Pembentukan Kebiasaan Sekolah
Kebiasaan Sekolah terbentuk karena penanaman dan penumbuhkembangan nilai kebiasaan yang dilakukan melalui berbagai didaktik metodik pendidikan dan pengajaran. Seperti pendidikan, pengarahan, indoktrinasi, brain washing dan lain sebagainya sehingga dapat memberi petunjuk, warna, dan gaya pada diri setiap individu sekolah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja mereka. Lebih khusus lagi kebiasaan sekolah yang tercermin dari budaya sekolah dalam bentuk mitos, ritual, kebiasaan, simbolisme, kepercayaan, dan sebagainya menjadi pengikat bagi setiap siswa yang akan menimbulkan motivasi dan semangat belajar serta kreatifitas mereka.
b) Karakteristik peran kultur sekolah
Menurut Djemari (2003) karekteristik peran kultur sekolah berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi tiga yakni :
i. Bernilai Strategis
Kultur yang dapat berimbas dalam kehidupan sekolah secara dinamis. Misalnya memberi peluang pada warga sekolah untuk bekerja secara efisien, disiplin dan tertib. Kultur sekolah merupakan milik kolektif bukan milik perorangan, sehingga budaya sekolah dapat dikembangkan dan dilakukan oleh semua warga sekolah.
ii. Memiliki Daya Ungkit
Kultur yang memliki daya gerak akan mendorong semua warga sekolah untuk berprestasi, sehingga kerja guru dan semangat belajar siswa akan tumbuh bilamana dipacu dan di dorong, dengan dukungan budaya yang memiliki daya ungkit yang tinggi. Misalnya kinerja sekolah dapat meningkat jika disertai dengan imbalan yang pantas, penghargaan yang cukup, dan proporsi tugas yang seimbang. Begitu juga dengan siswa akan meningkat semangat belajranya, bila mereka diberi penghargaan yang memadai, pelayanan yang prima, serta didukung dengan sarana yang memadai.
iii. Berpeluang Sukses
Budaya yang berpeluang sukses adalah budaya yang meiliki daya ungkit dan memiliki daya gerak yang tinggi. Hal ini sangat penting untuk menumbuhkan rasa keberhasilan dan rasa mampu untuk melaksanakan tugas dengan baik. Misalnya budaya gemar membaca. Budaya membaca di kalangan siswa akan dapat mendorong mereka untuk banyak tahui tentang berbagai macam persoalan yang mereka pelajari di lingkungan sekolah. Demikian juga bagi guru mereka semakin banyak pengetahuan yang diperolah, tingkat pemahaman semakin luas, semua ini dapat berlangsung jika disertai dengan kesadaran, bahwa mutu/ kualitas yang akan menentukan keberhasilan seseorang.

2.5 Produk Sekolah
Hasil-hasil sekolah dalam kerangka pendekatan sistem, merupakan salah satu komponen penting, di samping input proses dan lingkungan eksternal. Outcomes dari suatu proses pendidikan, dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
a. Jangka pendek ( immediate or short term )
b. Jangka panjang ( long range )
c. Gabungan atau insidental ( joint or incidental )

Hasil proses pendidikan jangka pendek, meliputi:
a) Penilaian pengembangan intelektual yang di dalamnya mencakup keberhasilan akademik, keinginan untuk tahu, dan kreativitas.
b) Penilaian terhadap sikap pengembangan sosial, yang mencakup hubungan antar pribadi, tanggung jawab sosial, dan kewargaan sekolah.
c) Penilaian terhadap pengembangan pribadi, yang mencakup integritas moral, kesehatan jasmani dan emosi.
d) Penilaian terhadap pengembangan kemampuan kejujuran seperti kepedulian karier, kejuruan, dan ketrampilan tertentu.
Ada beberapa cara untuk mengukur hasil – hasil pendidikan jangka pendek, yaitu mempergunakan berbagai cara: tes keberhasilan, demonstrasi penampilan ketrampilan, dan yang paling baik melalui pencatatan dan pengamatan.

Hasil proses pendidikan jangka panjang dapat dilihat pada para siswa:
a. Penampilan yang lebih dalam mengabdikan diri pada diri mereka sendiri dan masyarakat, baik secara individual maupun sebagai anggota keluarga.
b. Sebagai pekerja dalam suatu kegiatan ekonomi yang produktif.
c. Sebagai pemimpin dan innovator.
d. Sebagai kontributor dalam bidang kebudayaan.
e. Sebagai warga yang berpartisipasi.
Beberapa indikasi yang dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan hasil – hasil pendidikan jangka panjang, yaitu:
a. Aktivitas dalam pemerintahan dan kehidupan sosial
b. Perilaku hak untuk memilih
c. Catatan kerja
d. Kepuasan pribadi dan kehidupan yang bermanfaat dalam masyarakat.

Terakhir hasil pendidikan yang merupakan gabungan atau bersifat insidental:
a. Terjadi sebagai hasil yang tidak direncanakan
b. Terjadi apakah program itu diminta atau tidak diminta
c. Merupakan hasil kerjasama ( joint ) proses pendidikan
Contoh: semangat yang tinggi dari staff dan siswa.
Semangat yang tinggi bukan merupakan satu tujuan pokok suatu sekolah. Tetapi hal ini berpengaruh terhadap penampilan staf dan siswa. Walaupun demikian masalah semangat tinggi tersebut, memerlukan perhatian khusus dari kepala sekolah ( Wahjosumidjo, 2010 ).


2.6 Peran Budaya Sekolah
1) Pengertian Peran Budaya Sekolah
Budaya mempunyai kaitan dan peran terhadap berbagai aspek kehidupan sekolah secara menyeluruh. Schein (1989) dalam definisinya secara tegas menggambarkan tentang fungsi utama budaya sekolah yaitu untuk adaptasi terhadap lingkungan eksternal dan proses integrasi internal.
Secara spesifik budaya memiliki lima peran:
1. Budaya memberikan rasa memiliki identitas dan kebanggaan bagi karyawan, yaitu menciptakan perbedaan yang jelas antara organisasinya dengan yang lain.
2. Budaya mempermudah terbentuknya komitmen dan pemikiran yang lebih luas daripada kepentingan pribadi seseorang.
3. Memperkuat standart perilaku organisasi dalam membangun pelayanan superior pada pelanggan.
4. Budaya menciptakan pola adaptasi.
5. Membangun sistem kontrol organisasi secara menyeluruh.
Budaya yang kuat berperan dalam dua hal, pertama mengarahkan perilaku. Karyawan mengerti bagaimana harus bertindak dan apa yang diharapkan dari mereka. Kedua, budaya yang kuat memberi karyawan pengertian akan tujuan dan membuat mereka berpikiran positif terhadap sekolah. Mereka mengerti apa yang ingin dicapai sekolah dan bagaimana cara membantu sekolah mencari sasaran tersebut.

2) Pihak yang terlibat dalam peran budaya sekolah
a. Kepala Sekolah
Dalam budaya sekolah, peran seluruh stakeholder termasuk di dalamnya adalah guru dan kepala sekolah bersifat sangat penting. Sekolah adalah lembaga yang bersifat komplek dan unik. Bersifat komplek karena sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan. Sedang sifat unik, menunjukkan bahwa sekolah sebagai organisasi memiliki ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh organisasi lain. Peranan kepala sekolah dalam menggerakkan kehidupan sekolah untuk mencapai tujuan sangat penting. Pertama kepala sekolah berperan sebagai kekuatan sentral yang menjadi kekuatan penggerak kehidupan sekolah. Kedua kepala sekolah harus memahami tugas dan fungsi mereka demi keberhasilan sekolah, serta memiliki kepedulian kepada staf dan siswa.
secara sederhana kepala sekolah dapat didefinisikan sebagai seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat dimana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran.
b. Guru
Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam melahirkan sumber daya manusia masa depan bangsa yang berkualitas. Tugas utama seorang guru adalah mengajar. Oleh sebab itu, kepala sekolah harus selalu menghindarkan diri dari kegiatan untuk memberikan tugas – tugas tambahan di luar tugas pokok, agar tugas pokok guru tidak terganggu.
Tugas pokok guru:
1.1 Menyusun program pengajaran, menyajikan program pengajaran, evaluasi belajar, analisis hasil – hasil evaluasi, serta menyusun program perbaikan dan pengayaan terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya.
1.2 Menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan dan tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya.
Kedua rumusan di atas memberikan indikasi bahwa setiap pelaksanaan tugas mengajar dan memberikan bimbingan harus selalu diawali dengan suatu program yang telah direncanakan dengan matang.







Kesimpulan

1. Budaya sekolah didefinisikan sebagai seperangkat asumsi yang dibangun dan dianut bersama oleh organisasi sebagai moral dalam beradaptasi dengan lingkungan eksternal dan proses integrasi internal.
2. Karakteristik budaya sekolah adalah sifat yang khas daris sekolah meliputi nilai nilai, norma, sikap, mitos, kontrol koordinasi dan motivasi, etika, dan kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk dalam perjalanan panjang suatu sekolah yang lebih menekankan pada penghayatan segi-segi simbolik, tridisi, riwayat sekolah yang kesemuannya akan membentuk keyakinan, kepercayaan diri dan kebanggaan akan sekolahnya.
3. Aspek yang terkait dengan upaya penciptaan suasana lingkungan sekolah yang kondusif meliputi dua aspek yaitu Aspek Statis , Aspek Dinamis.
4. Dinamika kepemimpinan kepala sekolah dengan kelompok(guru dan staf) dipandang sebagai kunci untuk memahami variasi iklim sekolah dan setiap variasi tersebut akan memberi dampak pada variasi kinerja yang dilakukan oleh seluruh anggota organisasi sekolah.
5. Kebiasaan Sekolahterbentuk karena penanaman dan penumbuhkembangan nilai kebiasaan yang dilakukan melalui berbagai didaktik metodik pendidikan dan pengajaran. Seperti pendidikan, pengarahan, indoktrinasi, brain washing dan lain sebagainya sehingga dapat memberi petunjuk, warna, dan gaya pada diri setiap individu sekolah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja mereka.
6. Hasil-hasil sekolah dalam kerangka pendekatan sistem, merupakan salah satu komponen penting, di samping input proses dan lingkungan eksternal. Outcomes dari suatu proses pendidikan, dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: Jangka pendek ( immediate or short term ), Jangka panjang ( long range ), Gabungan atau insidental ( joint or incidental )
7. Budaya mempunyai kaitan dan peran terhadap berbagai aspek kehidupan sekolah secara menyeluruh. Schein (1989) dalam definisinya secara tegas menggambarkan tentang fungsi utama budaya sekolah yaitu untuk adaptasi terhadap lingkungan eksternal dan proses integrasi internal.

Klasifikasi Budaya Sekolah

A. Pengertian Budaya Sekolah
Istilah “budaya” mula-mula datang dari disiplin ilmu Antropologi Sosial. Apa yang tercakup dalam definisi budaya sangatlah luas. Istilah budaya dapat diartikan sebagai totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan kondisi suatu masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama.
Kata sekolah berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang, di mana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu kegiatan tentang cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Saat ini, kata sekolah berubah arti menjadi bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran.Sekolah dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah.
Menurut Deal dan Peterson (1999), budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas.
Aan Komariah (2004 : 102) mengartikan budaya sekolah sebagai karakteristik khas sekolah yang dapat didefinisikan melalui nilai yang dianutnya, sikap yang dimilikinya, kebiasaan-kebiasaan yang ditampilkannya, dan tindakan yang ditunjukkan oleh seluruh personel sekolah yang membentuk satu kesatuan khusus dari sistem sekolah.
Sekolah sebagai suatu organisasi, memiliki budaya tersendiri yang dibentuk dan dipengaruhi oleh nilai-nilai, persepsi, kebiasaan-kebiasaan, kebijakan-kebijakan pendidikan, dan perilaku orang-orang yang berada di dalamnya.
Sebagai suatu organisasi, sekolah menunjukkan kekhasan, yaitu pembelajaran. Budaya sekolah semestinya menunjukkan kapabilitas yang sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Konsep budaya sekolah masuk ke dalam pendidikan itu pada dasarnya sebagai upaya untuk memberikan arah tentang efisiensi lingkungan pembelajaran, lingkungan dalam hal ini dapat dibedakan dalam dua hal (1) lingkungan yang sifatnya alami sesuai dengan budaya siswa dan guru, (2) lingkungan artificial yang diciptakan oleh guru atau hasil interaksi antara guru dengan siswa.
Jadi dapat disimpulkan bahwa budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah.

B. Tujuan Budaya Sekolah
Berangkat dari berbagai pengertian tentang budaya sekolah, dapat dipahami bahwa budaya sekolah adalah sistem makna untuk membina mental agar pemikiran dan tindakan karyawan didasarkan pada pertimbangan moral dan dapat dipertanggung jawabkan. Selain itu bertujuan untuk penuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah.

C. Fungsi Budaya Sekolah
Budaya sekolah yang terpelihara dengan baik, mampu menampilkan perilaku iman, takwa, kreatif, inovatif, dan dapat bergaul harus terus dikembangkan. Manfaat yang dapat diambil dari budaya demikian adalah dapat menjamin hasil kerja dengan kualitas yang lebih baik, membuka seluruh jaringan komunikasi, keterbukaan, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, menemukan masalah dan cepat memperbaiki, cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi di luar (faktor eksternal seperti teknologi, sosial, ekonomi, dll (Triguno : 2000 : 9).
Budaya sekolah memiliki fungsi dan peran yang penting dalam meningkatkan mutu sekolah termasuk kualitas sumber daya yang dimiliki sekolah, sebab budaya sekolah akan memberi dukungan dan identitas terhadap sekolah serta membentuk kerangka kerja bagi kegiatan pembelajaran. Budaya sekolah yang positif sangat kondusif memberi kontribusi bagi kelancaran pelaksanaan kurikulum. Oleh sebab itu sekolah perlu memperhatikan dan mengusahakan budaya sekolah yang positif.
Fungsi budaya sekolah yang lain adalah membantu warga sekolah memahami persekitaran sekolah (Yulk,1994) dan membantu warga sekolah membina identitas mereka sendiri (Deal & Kennedy, 1983).

D. Klasifikasi Budaya Sekolah
1. Klasifikasi budaya sekolah, berdasarkan usaha peningkatan kualitas pendidikan.
Djemari Mardapi (2003) membagi unsur-unsur budaya sekolah jika ditinjau dari usaha peningkatan kualitas pendidikan sebagai berikut :
a. Kultur sekolah yang positif
Kultur sekolah yang positif adalah kegiatan-kegiatan yang mendukung peningkatan kualitas pendidikan, misalnya kerjasama dalam mencapai prestasi, penghargaan terhadap prestasi, dan komitmen terhadap belajar.
b. Kultur sekolah yang negatif
Kultur sekolah yang negatif adalah kultur yang kontra terhadap peningkatan mutu pendidikan. Artinya resisten terhadap perubahan, misalnya dapat berupa: siswa takut salah, siswa takut bertanya, dan siswa jarang melakukan kerja sama dalam memecahkan masalah.
c. Kultur sekolah yang netral
Kultur sekolah yang netral adalah kultur yang tidak berfokus pada satu sisi namun dapat memberikan konstribusi positif tehadap perkembangan peningkatan mutu pendidikan. Hal ini bisa berupa arisan keluarga sekolah, seragam guru, seragam siswa dan lain-lain.

2. Klasifikasi budaya sekolah berdasarkan kategori
Hedley Beare mendeskripsikan unsur-unsur budaya sekolah dalam dua kategori, yakni :
a. Budaya yang dapat diamati
Berupa konseptual yaitu struktur organisasi, kurikulum, behavior (perilaku) yaitu kegiatan belajar mengajar, upacara, prosedur, peraturan dan tata tertib, material yaitu fasilitas dan perlengkapan.
b. Budaya yang tidak dapat diamati
Berupa filosofi yaitu visi, misi serta nilai-nilai, yaitu kualitas, efektivitas, keadilan, pemberdayaan dan kedisiplinan. Dalam mengkaji budaya sekolah lebih difokuskan pada hal-hal yang tidak dapat diamati, khususnya nilai-nilai sebagai inti budaya. Lebih dari itu nilai merupakan landasan bagi pemahaman, sikap dan motivasi serta acuan seseorang atau kelompok dalam memilih suatu tujuan atau tindakan. (Davis dalam Tjahjono, 2003:11).

3. Klasifikasi budaya sekolah berdasarkan model
Dalam praktik di lapangan, ada tiga model budaya sekolah, yang satu dengan yang lain dapat dibedakan (Spahier & King, 1984 [as cited in Butler & Dickson, 1987]).
a. Budaya sekolah birokratis (bureaucratic school culture).
Model budaya sekolah ini antara lain ditunjukkan adanya budaya yang menekankan adanya petunjuk dari atasan. Kebijakan sekolah mengikuti arahan dari atasan, dan oleh karena itu para guru lebih banyak mengikuti arahan tersebut. Pendidik juga kurang dapat berinteraksi dengan orangtua siswa dan masyarakat, karena semua harus mengikuti peraturan dan ketentuan dari atasan.

b. Budaya sekolah racun (toxic school culture).
Dalam model ini, peserta diddik dipandang sebagai masalah daripada sebagai pihak yang harus dilayani. Bentuk-bentuk kekerasan guru terhadap siswa yang sering kita dengar akhir-akhir ini merupakan hasil dari budaya sekolah yang seperti ini. Sama dengan pada model budaya sekolah yang birokratis, budaya sekolah racun ini juga malah jarang memberikan kesempatan kepada pendidik untuk memberikan masukan terhadap upaya pemecahan masalah yang terjadi di sekolah.

c. Budaya sekolah kolegial (collegial school culture).
Sekolah sangat memberikan apresiasi dan rekognisi terhadap peran dan dukungan dari semua pihak. Kejujuran dan komunikasi antar warga sekolah dapat berlangsung secara efektif. Semua penyelenggaraan sekolah direncanakan, dilaksanakan secara demokratis, dalam suasana penuh kolegial.

4. Klasifikasi budaya sekolah berdasarkan tujuan
a. Budaya bersih. Kita tanamkan harus betul-betul tanamkan itu kepada para siswa. Karena jika budaya kebersihan sudah melekat, sehingga akan tertular pada pikiran dan hati yang bersih
b. Budaya saling menghargai, menghormati dan hidup harmonis. Budaya ini, menurutnya, harus ditekankan sejak dini agar tidak ada lagi tradisi kekerasan khususnya di lingkungan sekolah.
c. Budaya keilmuan, dengan mengimbau agar para tenaga pendidik dapat menanamkan rasa penasaran secara intelektual kepada para siswanya. Hal ini akan menumbuhkan sikap objektif, inovatif, dan produktif kepada para siswa.
d. Budaya Sikap/Prilaku, memiliki sikap dan Prilaku yang terpuji serta berbudi luhur, saling menghormati serta tenggang rasa antar sesama.
e. Budaya Disiplin, adanya prodak tata tertib serta peraturan yang di buat sekolah untuk mengikat seluruh sivitas akademika, serta adanya kesadaran seluruh sivitas akademika Sekolah untuk mentaati aturan serta tata tertib yang diterapkan di sekolah.
f. Budaya kerja, menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif serta menjadikannya sebagai tempat yang nyaman untuk belajar, nyaman untuk mengajar, serta nyaman untuk bekerja.
g. Budaya Efisiensi, mengkondisikan seluruh sivitas akademika sekolah untuk efisien terhadap waktu serta penggunaan sarana dan prasarana yang ada di sekolah.
h. Budaya Profesional, mengedepankan profesionalitas bagi seluruh sivitas akademika di ligkungan sekolah dengan memberikan kebebasan untuk berimprofisasi dan berkreasi dibidang kerja masing-masing, serta memberikan keleluasaan bagi seluruh sivitas akademika sekolah untuk melaksanakan tugas secara mandiri.

5. Klasifikasi budaya sekolah berdasarkan bentuk kegiatan.
Budaya sekolah yang harus diciptakan agar tetap eksis adalah :
a. Budaya keagamaan (religi) :
Menanamkan perilaku atau tatakrama yang tersistematis dalam pengamalan agamanya masing-masing sehingga terbentuk kepribadian dan sikap yang baik (akhlaqul Karimah) serta disiplin dalam berbagai hal. Misalnya : budaya salam, do’a sebelum/sesudah belajar, sholat dzuhur berjamaah.
b. Budaya kerjasama (team work) :
Menanamkan rasa kebersamaan dan rasa sosial melalui kegiatan bersama, misalnya : MOS, pentas seni, studi banding, pelepasan siswa, seragam sekolah, ekstrakurukuler.
c. Budaya kepemimpinan (leadhership) :
Menanamkan jiwa kepemimpinan dan keteladanan dari sejak dini, misaknya : budaya kerja keras, cerdas dan ikhlas, budaya kreatif, mandiri & bertanggung jawab, budaya disiplin, upacara bendera.

6. Berdasarkan jenis
a. Budaya adaptif
Budaya adaptif memiliki cirri-ciri, sebagai berikut:
1) Kreatif.
Sekolah yang memiliki budaya adaptif akan memiliki kreatifitas yang tinggi dalam membuat rancangan program atau kegiatan, merespon persoalan yang muncul dalam memecahkan masalah yang muncul. Kreatifitas ini sangat penting untuk masa-masa yang penuh dengan perubahan seperti sekarang ini.
2) Berani melakukan eksperimentasi
Sejalan dengan kreatifitas yang tinggi, sekolah dengan budaya adaptif juga berani melakukan eksperimen atau mencoba hal-hal baru. Meskipun demikian, eksperimen tidak berarti melakukan coba-coba tanpa terkendali. Sebagai organisasi, eksperimentasi didalamnya dapat dilakukan secara terencan dan sistematis.
3) Berani mengambil keputusan
Konsekuensi dari kreatifitas dan eksperimen adalah resiko. Bagi sebagian orang dan organisasi yang tidak adaptif ada kecendurungan takut mengambil resiko yang bersosialisasi dengan kerugian. Sebaliknya, di balik resiko itu ada keberuntungan yang diperoleh. Disini yang diperlukan adalah memperhitungkan resiko dan keuntungan sekaligus sehingga hasilnya lebih menguntungkan.
4) Mandiri
Kemandirian organisasi mencerminkan adaptabilitasnya karena hal ini menggambarkan otoritas yang dimilikinya. Tanpa kemandirian, sebuah organisasi tidak akan beradpatasi dengan baik, yang terjadi justru sebaliknya yaitu mengikuti dan terikat pada pihak lain.
5) Responsif
Persoalan organisasi tidak sebatas pada persoalan yang ada didalamnya. Saat ini justru terjadi sebaliknya., persoalan di luar organisasi berkembang dengan sangat cepat. Oleh karena itu, untuk bisa dikatakan adaptif sebuah organisasi harus reponsif terhadap persoalan-persoalan di luar dirinya.





b. Budaya Kekeluargaan
Ciri-ciri budaya kekeluargaan, sebagai berikut:
1) Mengedepankan kerjasama
Ciri-ciri kekeluargaan adalah kebersamaan dalam organisasi termanifestasikan sebagai kerjasama. Dari sisi ini, budaya kekeluargaan tidak mengindikasikan kelemahan.
2) Penuh pertimbangan
Ada kecenderungan di dalam budaya kekeluargaan bahwa pertimbangan yang dilakukan mengarah pada tindakan yang sangat hati-hati.
3) Persetujuan bersama
Dalam budaya kekeluargaan keputusan bisa diambil bila semua pihak menyetujui.
4) Kesetaraan
Sejalan dengan kerjasama dan keputusan bersama, posisi anggota dalam organisasi dengan budaya kekeluargaan akan setara
5) Keadilan
Konsep keadilan yang akan diterapkan dalam organisasi dengan budaya kekeluargaan adalah pemerataan

c. Budaya prestasi
Adapun ciri-ciri budaya prestasi adalah sebagai berikut:
1) Berorientasi pada persaingan atau kompetisi
Anggota organisasi dalam budaya ini diberi kesempatan untuk mengembangkan diri semaksimal mungkin sehingga bisa mengungguli lannya.
2) Mengumpulkan kesempurnaan
Elemen-elemen dalam organisasi juga didorong untuk mencapai kesempurnaan kinerja. Dengan demikian, anggota maupun organisasi dapat tampil dengan kepercayaan diri yang tinggi.


3) Agresif
Budaya prestasi mengarah pada keunggulan dan kemenengan. Untuk mendukung hal itu, diperlukan agresif yang tinggi.
4) Aktif dan rajin
Budaya prestasi mengutamakan keaktifan anggota dan organisasi secara keseluruhan. Orientasi ini diperlukan sebagai persiapan untuk menghasilkan sesuatu dan prestasi yang tinggi.
5) Mendorong munculnya inisiatif anggota
Kekuatan organisasi dengan adanya budaya prestasi adalah kinerja yang tinggi. Salah satu modal pentingnya adalah inisiatif anggota.

d. Budaya Birokrasi
Ciri-ciri budaya ini adalah sebagai berikut:
1) Formalitas hubungan didalam maupun dengan pihak luar sekolah
Sebuah organisasi yang birokratis memiliki struktur dan proses kerja yang jelas dan tidak dapat diubah segera. Hal ini dirancang untuk mengatur pola hubungan yang bak dan formal
2) Mementingkan efesiensi
Pembakuan-pembakuan dan formalitas yang dilakukan dalam organisasi diarahkan untuk mencapai efesiensi.
3) Menekankan rasionalitas
Indikator ini merupakan dasar dari berbagai hal yang ada dalam organisasi, termasuk efesiensi, keteraturan, dan kepatuhan. Artinya, budaya birokrasi didasarkan pada rasionalitas yang kuat.
4) Teratur dan berjenjang
Sejalan dengan kaidah birokrasi, maka keteraturan dan hirarkhi sangat penting
5) Menuntun adanya kepatuhan dari pihak-pihak di bawah pimpinan
Begitu peraturan digariskan dan hirarkhi disepakati, maka anggota organisasi tinggal mengikuti dan pemimpin melakukan kontrol terhadap bawahan dan anggota.

E. Aplikasi Budaya Sekolah
Banyak sekali nilai-nilai sosial budaya yang harus dibangun di sekolah. Sekolah adalah ibarat taman yang subur tempat menanam benih-benih nilai-nilai sosial budaya tersebut. Beberapa contoh aplikasi budaya sekolah dapat dibedakan menjadi :
1. Budaya akademik
• Budaya disiplin
Yaitu dimana siswa tidak diperkenankan masuk kelas bila terlambat dan melakukan pelanggaran tata tertib sekolah.
• Budaya kerja keras
Yaitu siswa dilatih menyelesaikan tugas-tugasnya dengan cepat, dan tepat waktu.
• Mandiri & bertanggung jawab
Yaitu melatih siswa untuk bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain dan bertanggung jawab penuh terhadap tugas yang diberikan guru.
• Mencintai belajar
Mencintai belajar jauh lebih penting ketimbang bersusah payah menghafalkan bahan ajar.
• Mencintai pekerjaan
Pekerjaan adalah bagian penting dari kehidupan ini. Siapa yang tidak bekerja adalah tidak hidup. Oleh karena itu, peserta didik harus diberikan kesadaran tentang pentingnya menghargai pekerjaan.

2. Budaya non akademik
• Budaya salam
Yaitu dimana setiap kali bertemu (guru, siswa dan orang tua) saling mengucapkan salam dan berjabat tangan
• Budaya bersih
Yaitu adalah kegiatan kebersihan sekolah dan kebersihan diri sendiri,
• Budaya Kreatif
Yaitu melatih siswa menciptakan inovasi sesuai bakat dan minatnya.

• Etika
Etika atau akhlakul karimah adalah tata aturan untuk bisa hidup bersama dengan orang lain.
• Kejujuran
Semua warga sekolah harus dilatih berbuat jujur, mulai jujur kepada dirinya sendiri, jujur kepada Tuhan, jujur kepada orang lain.
• Kasih sayang
Kasih sayang telah melahirkan kepercayaan. Kepercayaan menghasilkan kepercayaan, dan kepercayaan akan menghasilkan kewibawaan.
• Menghormati hukum dan peraturan
Kita mengormati hukum dan peraturan atas dasar kesadaran bahwa hukum dan peraturan itu adalah kita buat untuk kebaikan hidup kita.
• Menghormati hak orang lain
Penghargaan kepada orang lain tidak boleh melihat perbedaan status sosial, ekonomi, agama, dan budaya.
• Suka menabung
• Ekstrakurikuler
Yaitu kegiatan non akademik yang memberi wadah /kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kreatifitasnya sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing.








Kesimpulan dan Saran
Budaya sekolah merupakan sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah sistem makna untuk membina mental agar pemikiran dan tindakan karyawan didasarkan pada pertimbangan moral dan dapat dipertanggung jawabkan.
Budaya sekolah memiliki fungsi dan peran yang penting dalam meningkatkan mutu sekolah termasuk kualitas sumber daya yang dimiliki sekolah, sebab budaya sekolah akan memberi dukungan dan identitas terhadap sekolah serta membentuk kerangka kerja bagi kegiatan pembelajaran.
Budaya sekolah mempunyai beberapa klasifikasi diantaranya Klasifikasi budaya sekolah berdasarkan usaha peningkatan kualitas pendidikan, berdasarkan kategori, berdasarkan model, berdasarkan tujuan, berdasarkan bentuk kegiatan, dan berdasarkan jenis.
Banyak sekali nilai-nilai sosial budaya yang harus dibangun di sekolah. Sekolah adalah ibarat taman yang subur tempat menanam benih-benih nilai-nilai sosial budaya tersebut.
Sebagai warga sekolah seharusnya menjunjung tinggi budaya sekolah yang telah diciptakan, dengan menjaga kekhasan sekolah masing-masing. Masing-masing komponen harus saling mendukung dan mengkaitkan peran masing-masing untuk bersatu menciptakan suatu budaya sekolah yang dikagumi masyarakat.

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusi, para guru di sekolaah reguler/sekolah umum perlu dibekali dengan berbagai pengetahuan tentang anak dengan kebutuhan khusus atau sering juga disebut anak berkebutuhan khusus. Dengan mengetahui siapa yang disebut anak dengan kebutuhan khusus serta karakteristiknya, maka diharapkan guru mampu melakukan identifikasi terhadap mereka, baik yang sudah menjadi terdaftar sebagai peserta didik pada sekolah yang bersangkutan maupun yang belum masuk sekolah yang ada atau bertempat tinggal di sekitar sekolah. Dengan identifikasi yang tepat guru dapat memberikan bantuan pelayanan yang sesuai untuk mendukung dan menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
Anak dengan kebutuhan khusus perlu dikenal dan diidentifikasi dari kelompok anak pada umumnya, karena mereka memerlukan pelayanan pendidikan yang bersifat khusus. Pelayanan tersebut dapat berbentuk pertolongan medik, latihan-latihan therapeutic, maupun program pendidikan khusus, yang bertujuan untuk membantu mengurangi keterbatasannya dalam hidup bermasyarakat.
Dalam rangka mengidentifiksi (menemukan) anak dengan kebutuhan khusus, diperlukan pengetahuan tentang berbagai jenis dan gradasi (tingkat) kelainan anak, diantaranya adalah kelainan fisik, mental intelektual, social, emosional. Di luar jenis kelainan tersebut terdapat anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa atau sering disebut sebagai anak yang memiliki kecerdasan dan bakat luar biasa. Masing-masing memiliki ciri dan tanda-tanda khusus atau karakteristik yang dapat digunakan oleh guru untuk menandai dalam rangka identifikasi anak dengan kebutuhan pendidikan khusus.
Buku Identifikasi Anak yang disertai Alat Identifikasi Anak dengan kebutuhan khusus (AI ALB) ini disusun untuk membantu guru dalam rangka pelaksanaan identifikasi anak berkebutuhan khusus. Alat ini daftar peryataan yang berisi gejala-gejala yang nampak pada anak untuk setiap jenis kelainan. Dengan mengamati gejala-gejala tersebut jika guru menemukan anak yang memiliki tanda-tanda mirip atau sama dengan gejala-gejala tertulis dalam alat/instrumen ini, dengan mudah guru dapat menandainya, dan jika secara kualitatif memenuhi standar miimal yang ditetapkan, maka anak tersebut dapat dikategorikan sebagai anak dengan kebutuhan khusus. Dengan alat identifikasi ini, secara sederhana dapat disimpulkan apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan. Tentu saja alat ini sifatnya masih sederhana, baru sebatas melihat gejala-gejala fisik yang nampak. Sedangkan untuk mendiagnosis yang sesungguhnya secara akurat, dibutuhkan tenaga profesional yang berwenang untuk itu, seperti dokter, psikolog, orthopedagog, dan sebagainya. Meskipun demikian jika sekolah tidak tersedia tenaga profesional dimaksud, dengan alat identifikasi ini, asal dilaksanakan dengan cermat dan hati-hati, sudah cukup untuk menetapkan seseorang berindikasi memerlukan layanan pendidikan khusus atau tidak.
Alat identifikasi ini dapat digunakan oleh orang-orang yang dekat (sering bergaul/berhubungan) dengan anak – seperti guru, orang tua, pengasuh – untuk menjaring kelompok anak usia pra-sekolah dan usia sekolah dasar, baik yang sudah bersekolah maupun yang belum bersekolah atau yang sudah drop-out.


B. Tujuan Penulisan Buku
Setelah selesai membaca buku Identifikasi Anak dengan kebutuhan khusus ini, diharapkan pembaca (terutama para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan) mampu mengidentifikasi apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan, dan mampu merencanakan tindak lanjutnya.

II. ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS DAN IDENTIFIKASINYA
Untuk mengidentifikasi apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan, perlu terlebih dahulu dirumuskan pengertian anak dengan kebutuhan khusus, karakteristik (ciri-ciri) anak dengan kebutuhan khusus, baru kemudian dirumuskan hal-hal yang berkaitan dengan identifikasi.

A. Pengertian Anak dengan kebutuhan khusus
Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, mental-intelektual, social, emosional) dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu, tetapi kelainan/penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus.
Ada bermacam-macam jenis anak dengan kebutuhan khusus, tetapi khusus untuk keperluan pendidikan inklusi, anak dengan kebutuhan khusus akan dikelompokkan menjadi 9 jenis. Berdasarkan berbagai studi, ke 9 jenis ini paling sering dijumpai di sekolah-sekolah reguler. Jika di luar 9 jenis tersebut masih dijumpai di sekolah, maka guru dapat bekerjasama dengan pihak lain yang relevan untuk menanganinya, seperti anak-anak autis, anak korban narkoba, anak yang memiliki penyakit kronis, dan lain-lain. Secara singkat masing-masing jenis kelainan dijelaskan sebagai berikut :

1. Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan
Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
2. Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran
Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
3. Tunadaksa/mengalami kelainan angota tubuh/gerakan
Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
4. Berbakat/memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa
Anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi), kreativitas, dan tanggungjawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
5. Tunagrahita
Tunagrahita (retardasi mental) adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan khusus.
6. Lamban belajar (slow learner) :
Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik
Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus (terutama dalam hal kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika), diduga disebabkan karena faktor disfungsi neugologis, bukan disebabkan karena factor inteligensi (inteligensinya normal bahkan ada yang di atas normal), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami kesulitan yang signifikan (berarti)
8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi;
Anak yang mengalami gangguan komunikasi adalah anak yang mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau kelancaran bicara, yang mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi bahasa, atau fungsi bahasa, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak yang mengalami gangguan komunikasi ini tidak selalu disebabkan karena faktor ketunarunguan.
9. Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku.
Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.

B. Karakteristik Anak dengan kebutuhan khusus
Setiap anak dengan kebutuhan khusus memiliki karakteristik (ciri-ciri) tertentu yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk keperluan identifikasi, di bawah ini akan disebutkan ciri-ciri yang menonjol dari masing-masing jenis anak dengan kebutuhan khusus.
1. Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan
a. a. Tidak mampu melihat
b. b. Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter
c. Kerusakan nyata pada kedua bola mata,
d. Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan,
e. Mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya,
f. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering,
g. Peradangan hebat pada kedua bola mata,
h. Mata bergoyang terus.
Nilai standar : 4 (di luar a dan b), maksudnya, jika a dan b terpenuhi, maka tidak perlu menghitung urutan berikutnya.
2. Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran
a. Tidak mampu mendengar,
b. Terlambat perkembangan bahasa
c. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi
d. Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara
e. Ucapan kata tidak jelas
f. Kualitas suara aneh/monoton,
g. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar
h. Banyak perhatian terhadap getaran,
i. Keluar cairan ‘nanah’ dari kedua telinga
Nilai Standar : 6 (di luar a), maksudnya jika a terpenuhi, maka berikutnya tidak perlu dihiung.
3. Tunadaksa/anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan
a. Anggauta gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh,
b. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali),
c. Terdapat bagian anggauta gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa,
d. Terdapat cacat pada alat gerak,
e. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam,
f. Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal
g. Hiperaktif/tidak dapat tenang.
Nilai Standar : 5
4. Anak Berbakat/ memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa
a. Membaca pada usia lebih muda,
b. Membaca lebih cepat dan lebih banyak,
c. Memiliki perbendaharaan kata yang luas,
d. Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat,
e. Mempunayi minat yang luas, juga terhadap masalah orang dewasa,
f. Mempunyai inisiatif dan dapat berkeja sendiri,
g. Menunjukkan keaslian (orisinalitas) dalam ungkapan verbal,
h. Memberi jawaban-jawaban yang baik,
i. Dapat memberikan banyak gagasan
j. Luwes dalam berpikir
k. Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan,
l. Mempunyai pengamatan yang tajam,
m. Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu panjang, terutama terhadap tugas atau bidang yang diminati,
n. Berpikir kritis, juga terhadap diri sendiri,
o. Senang mencoba hal-hal baru,
p. Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi,
q. Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan-pemecahan masalah,
r. Cepat menangkap hubungan sebabakibat,
s. Berperilaku terarah pada tujuan,
t. Mempunyai daya imajinasi yang kuat,
u. Mempunyai banyak kegemaran (hobi),
v. Mempunyai daya ingat yang kuat,
w. Tidak cepat puas dengan prestasinya,
x. Peka (sensitif) serta menggunakan firasat (intuisi),
y. Menginginkan kebebasan dalam gerakan dan tindakan.
Nilai Standar : 18
5. Tunagrahita
a. Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/ besar,
b. Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia,
c. Perkembangan bicara/bahasa terlambat
d. Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong),
e. Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali),
f. Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler)
Nilai Standar : 6
6. Anak Lamban Belajar
a. Rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah (kurang dari 6),
b. Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-teman seusianya,
c. Daya tangkap terhadap pelajaran lambat,
d. Pernah tidak naik kelas.
Nilai Standar : 4
7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik
• Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)
a. Perkembangan kemampuan membaca terlambat,
b. Kemampuan memahami isi bacaan rendah,
c. Kalau membaca sering banyak kesalahan
Nilai standarnya 3
• Anak yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia)
a. Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai,
b. Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya,
c. Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca,
d. Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang,
e. Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
Nilai standarnya 4.
• Anak yang mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia)
a. Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =
b. Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan,
c. Sering salah membilang dengan urut,
d. Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya,
e. Sulit membedakan bangun-bangun geometri.
Nilai standarnya 4.
8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi
a. Sulit menangkap isi pembicaraan orang lain,
b. Tidak lancar dalam berbicaraa/mengemukakan ide,
c. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi,
d. Kalau berbicara sering gagap/gugup,
e. Suaranya parau/aneh,
f. Tidak fasih mengucapkan kata-kata tertentu/celat/cadel,
g. Organ bicaranya tidak normal/sumbing.
Nilai standarnya 5.

9. Tunalaras (anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku).
a. Bersikap membangkang,
b. Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah
c. Sering melakukan tindakan aggresif, merusak, mengganggu
d. Sering bertindak melanggar norma social/norma susila/hukum.
Nilai standarnya 4.

C. Identifikasi
Istilah identifikasi secara harfiah dapat diartikan menemukan atau menemukenali. Dalam buku ini istilah identifkasi anak dengan kebutuhan khusus dimaksudkan merupakan suatu usaha seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, social, emosional/tingkah laku) dalam pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (anak-anak normal).
Setelah dilakukan identifikasi, kondisi seseorang dapat diketahui, apakah pertumbuhan/perkembangannya termasuk normal atau mengalami kelainan/penyimpangan.
Bila mengalami kelainan/penyimpangan, dapat diketahui pula apakah anak tergolong: (1) Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan; (2) Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran; (3) Tunadaksa/anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan); (4) Anak Berbakat/anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa; (5) Tunagrahita; (6) Anak lamban belajar; (7) Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik (disleksia, disgrafia, atau diskalkulia); (8) Anak yang mengalami gangguan komunikasi; dan (9) Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku.
Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih ditekankan pada menemukan (secara kasar) apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan. Maka biasanya identifikasi dapat dilakukan oleh orang-orang yang dekat (sering berhubungan/bergaul) dengan anak, seperti orang tuanya, pengasuhnya, gurunya, dan pihak-pihak yang terkait dengannya. Sedangkan langkah berikutnya, yang sering disebut asesmen, bila diperlukan dapat dilakukan oleh tenaga profesional, seperti dokter, psikolog, neurolog, orthopedagog, therapis, dan lain-lain.
Dalam istilah sehari-hari, identifikasi sering disebut dengan istilah penjaringan, sedangkan asesmen disebut dengan istilah penyaringan.

D. Tujuan Identifikasi
Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, social, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (anak-anak normal), yang hasilnya akan dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya.
Dalam rangka pendidikan inklusi, kegiatan identifikasi anak dengan kebutuhan khusus dilakukan untuk lima keperluan, yaitu: (1) penjaringan (screening), (2) pengalihtanganan (referal), (3) klasifikasi, (4) perencanaan pembelajaran, dan (5) pemantauan kemajuan belajar.

1. Penjaringan (screening)
Penjaringan dilakukan terhadap semua anak di kelas dengan Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (AI AKB) terlampir.
Pada tahap ini identifiksi berfungsi menandai anak-anak mana yang menunjukkan gejala-gejala tertentu, kemudian menyimpulkan anak-anak mana yang mengalami kelainan/penyimpangan tertentu, sehingga tergolong anak dengan kebutuhan khusus.
Dengan AI ALB guru, orang tua, maupun tenaga professional terkait, dapat melakukan kegiatan ini secara baik dan hasilnya dapat digunakan untuk bahan penanganan lebih lanjut.

2. Pengalihtanganan (referral)
Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan pada tahap penjaringan, selanjutnya anak-anak dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, ada anak yang tidak perlu dirujuk ke ahli lain (tenaga profesional) dan dapat langsung ditangani sendiri oleh guru dalam bentuk layanan pembelajaran yang sesuai.
Kedua, ada anak yang perlu dirujuk ke ahli lain terlebih dulu (referal) seperti psikolog, dokter, orthopedagog (ahli PLB), dan/atau therapis, baru kemudian ditangani oleh guru.
Proses perujukan anak oleh guru ke tenaga professional lain untuk membantu mengatasi masalah anak yang bersangkutan disebut proses pengalihtanganan (referral). Jika tenaga professional tersebut tidak tersedia dapat dimintakan bantuan ke tenaga lain yang ada seperti Guru Pembimbing Khusus (Guru PLB) atau Konselor.
3. Klasifikasi
Pada tahap klasifikasi, kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan apakah anak yang telah dirujuk ke tenaga professional benar-benar memerlukan penanganan lebih lanjut atau langsung dapat diberi pelayanan pendidikan khusus.Apabila berdasar pemeriksaan tenaga professional ditemukan masalah yang perlu penanganan lebih lanjut (misalnya pengobatan, therapy, latihan-latihan khusus, dan sebagainya) maka guru tinggal mengkomunikasikan kepada orang tua siswa yang bersangkutan. Jadi guru tidak mengobati dan/atau memberi therapy, melainkan sekedar meneruskan kepada orang tua tentang kondisi anak yang bersangkutan. Guru hanya akan membantu siswa dalam hal pemberian pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Apabila tidak ditemukan tanda-tanda yang cukup kuat bahwa anak yang bersangkutan memerlukan penanganan lebih lanjut, maka anak dapat dikembalikan ke kelas semula untuk mendapatkan pelayanan pendidikan khusus.
Kegiatan klasifikasi ini memilah-milah mana anak dengan kebutuhan khusus yang memerlukan penanganan lebih lanjut dan mana yang langsung dapat mengikuti pelayanan pendidikan khusus di kelas reguler.
4. Perencanaan pembelajaran
Pada tahap ini, kegiatan identifikasi bertujuan untuk keperluan penyusunan program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI). Dasarnya adalah hasil dari klasifikasi. Setiap jenis dan gradasi (tingkat kelainan) anak dengan kebutuhan khusus memerlukan program pembelajaran yang berbeda satu sama lain. Mengenai program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI) akan dibahas secara khusus dalam buku yang lain tentang pembelajaran dalam pendidikan inklusi.
5. Pemantauan kemajuan belajar
Kemajuan belajar perlu dipantau untuk mengetahui apakah program pembelajaran khusus yang diberikan berhasil atau tidak. Apabila dalam kurun waktu tertentu anak tidak mengalami kemajuan yang signifikan (berarti), maka perlu ditinjau lagi beberapa aspek yang berkaitan. Misalnya apakah diagnosis yang kita buat tepat atau tidak, Program Pembelajaran Individual (PPI) yang kita susun sesuai atau tidak, bimbingan belajar khusus yang kita berikan sesuai atau tidak, dan seterusnya.
Sebaliknya, apabila dengan program khusus yang diberikan, anak mengalami kemajuan yang cukup signifikan maka program tersebut perlu diteruskan sambil memperbaiki/menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada.
Dengan lima tujuan khusus di atas, identifikasi perlu dilakukan secara terus menerus oleh guru, dan jika perlu dapat meminta bantuan dan/atau bekerja sama dengan tenaga professional terkait.

III. PELAKSANAAN IDENTIFIKASI
A. Sasaran Identifikasi
Secara umum sasaran identifikasi anak dengan kebutuhan khusus adalah seluruh anak usia pra-sekolah dan usia sekolah dasar. Sedangkan secara khusus (operasional), sasaran identifikasi anak dengan kebutuhan khusus adalah:
1. Anak yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
2. Anak yang akan masuk ke Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
3. Anak yang belum/tidak bersekolah karena orangtuanya merasa anaknya tergolong anak dengan kebutuhan khusus sedangkan lokasi SLB jauh dari tempat tinggalnya; sementara itu, semula SD terdekat belum/tidak mau menerimanya;
4. Anak yang drop-out Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah karena factor akademik.

B. Petugas Identifikasi
Untuk mengidentifikasi seorang anak apakah tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan, dapat dilakukan oleh:
1. Guru kelas;
2. Orang tua anak; dan/atau
3. Tenaga professional terkait.

C. Pelaksanaan Identifikasi
Ada beberapa langkah dalam rangka pelaksanaan identifikasi anak berkebutuhan khusus. Untuk identifikasi anak usia sekolah yang belum bersekolah atau drop out sekolah, maka sekolah yang bersangkutan perlu melakukan pendataan ke masyarakat sekitar kerjasama dengan Kepala Desa/Lurah, RT, RW setempat. Jika pendataan tersebut ditemukan anak berkelainan, maka proses berikutnya dapat dilakukan pembicaraan dengan orangtua, komite sekolah maupun perangkat desa setempat untuk mendapatkan tindak lanjutnya.
Untuk anak-aak yang sudah masuk dan menjadi siswa pada sekolah tertentu, identifikasi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menghimpun data tentang anak
Pada tahap ini petugas (guru) menghimpun data kondisi seluruh siswa di kelas (berdasar gejala yang nampak pada siswa) dengan menggunakan Alat Identifikasi Anak dengan kebutuhan khusus (AI ALB). Lihat Format 3 terlampir.
2. Menganalisis data dan mengklasifikasi anak
Pada tahap ini tujuannya adalah untuk menemukan anak-anak yang tergolong anak dengan kebutuhan khusus (yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus). Buatlah daftar nama anak yaang diindikasikan berkelainan sesuai dengan ciri-ciri dan standar nilai yang telah ditetapkan. Jika ada anak yang memenuhi syarat untuk disebut atau berindikasi kelainan sesuai dengan ketentuan tersebut, maka dimasukkan ke dalam daftar nama-nama anak yang berindikasi kelainan sesuai dengan format khusus yang disediakan seperti terlampir (Lihat Format 4). Sedangkan untuk anak-anak yang tidak menunjukkan gejala atau tanda-tanda berkelainan, tidak perlu dimasukkan ke dalam daftar khusus tersebut.
3. Mengadakan pertemuan konsultasi dengan kepala sekolah
Pada tahap ini, hasil analisis dan klasifikasi yang telah dibuat guru dilaporkan kepada Kepala Sekolah untuk mendapat saran-saran pemecahan atau tindak lanjutnya.
4. Menyelenggarakan pertemuan kasus (case conference)
Pada tahap ini, kegiatan dikoordinasikan oleh Kepala Sekolah setelah data anak dengan kebutuhan khusus terhimpun dari seluruh kelas. Kepala Sekolah dapat melibatkan: (1) Kepala Sekolah sendiri; (2) Dewan Guru; (3) orang tua/wali siswa; (4) tenaga professional terkait, jika tersedia dan dimungkinkan; (5) Guru Pembimbing Khusus (Guru PLB) jika tersedia dan memungkinkan.
Materi pertemuan kasus adalah membicarakan temuan dari masing-masing guru mengenai hasil identifikasi untuk mendapatkan tanggapan dan cara-cara pemecahan serta penanggulangannya.
5. Menyusun laporan hasil pertemuan kasus
Pada tahap ini, tanggapan dan cara-cara pemecahan masalah dan penanggulangannya perlu dirumuskan dalam laporan hasil pertemuan kasus. Format laporan hasil pertemuan kasus dapat menggunakan contoh seperti terlampir (lihat Format 5)

D. ALAT IDENTIFIKASI
Secara sederhana ada beberapa aspek informasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan identifikasi. Contoh alat identifikasi sederhana untuk membantu guru dan orang tua dalam rangka menemukenali anak yang memerlukan layanan pendidikan khusus, antara lain sebagai berikut :
1. Form 1 : Informasi riwayat perkembangan anak
2. Form 2 : informasi/ data orangtua anak/wali siswa
3. Form 3 : informasi profil kelainan anak (AI-ALB)
Dari ketiga informasi tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut.
1. Informasi riwayat perkembangan anak
Informasi riwayat perkembangan anak adalah informasi mengenai keadaan anak sejak di dalam kandungan hingga tahun-tahun terakhir sebelum masuk SD/MI.. Informasi ini penting sebab dengan mengetahui latar belakang perkembangan anak, mungkin kita dapat menemukan sumber penyebab problema belajar.
Informasi mengenai perkembangan anak sangat penting bagi guru untuk mempertimbangkan kebijakan program pembelajaran yang akan diberikan kepada anak. Informasi perkembangan anak biasanya mencakup identitas anak, riwayat masa kehamilan dan kelahiran, perkembangan masa balita, perkembangan fisik, perkembangan sosial, dan perkembangan pendidikan.
Riwayat masa kehamilan dan kelahiran meliputi perkembangan masa kehamilan, penyakit yang diderita ibu, usia di dalam kandungan, proses kelahiran, tempat kelahiran, penolong persalinan, gangguan pada saat proses kelahiran, berat badan bayi, panjang badan bayi, dan tanda-tanda kelainan pada bayi.
Perkembangan masa balita sekurang-kurangnya mencakup informasi mengenai lama menyusu ibunya, usia akhir minum susu kaleng, kegiatan imunisasi, penimbangan, kualitas dan kuantitas makanan pada masa balita, kesulitan makan yang dialami, dan sebagainya.
Perkembangan fisik diperlukan terutama data mengenai kapan anak mulai dapat merangkak, berdiri, berjalan, naik sepeda roda tiga, naik sepeda roda dua, berbicara dengan kalimat lengkap, kesulitan gerakan yang dialami, status gizi balita, dan riwayat kesehatan.
Perkembangan sosial terutama berkaitan dengan hubungan dengan saudara, hubungan dengan teman, hubungan dengan orang tua dan guru, hobi anak, dan minat khusus. Perkembangan pendidikan meliputi informasi mengenai kapan masuk TK, berapa lama pendidikan di TK, kapan masuk SD, apa kesulitan selama di TK, apa kesulitan selama di SD, apakah pernah tinggal kelas, pelayanan khusus yang pernah diberikan, prestasi belajar tiap caturwulan atau semester, mata pelajaran yang dirasa paling sulit, dan mata pelajaran yang paling disenangi.
2. Data orang tua/wali siswa
Selain data mengenai anak, tidak kalah pentingnya adalah informasi mengenai keadaan orang tua/wali siswa yang bersangkutan. Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa lingkungan keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap keberhasilan belajar anak. Lingkungan keluarga dapat meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, status sosial ekonomi, sikap dan penerimaan orang tua terhadap anak, serta pola asuh yang diterapkan keluarga terhadap anak.
Data orang tua/wali siswa sekurang-kurangnya mencakup informasi mengenai identitas orang tua/wali, hubungan orang tua-anak, data sosial ekonomi orang tua, serta tanggungan dan tanggapan orang tua/ keluarga terhadap anak. Identitas orang tua harus lengkap, tidak hanya identitas ayah melainkan juga identitas ibu, misalnya umur, agama, status, pendidikan, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, dan tempat tinggal.
Hubungan orang tua-anak menggambarkan sejauh mana intensitas komunikasi antara orang tua dan anak. Misalnya apakah kedua orang tua satu rumah atau tidak, demikian juga dengan anak. Apakah diasuh salah satu orang tua, pembantu, atau keluarga lain. Semua kondisi tersebut mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar anak.
Mengenai data keadaan sosial ekonomi diperlukan agar sekolah dapat memperhitungkan kemampuan orang tua dalam pendidikan anaknya. Data sosial ekonomi dapat mencakup informasi mengenai jabatan formal maupun non formal ayah dan ibu, serta besarnya penghasilan rata-rata per bulan.
Sedangkan mengenai tanggapan orang tua yang perlu diungkapkan antara lain persepsi orang tua terhadap anak, kesulitan yang dirasakan orang tua terhadap anak yang bersangkutan, harapan orang tua dan bantuan yang diharapkan orang tua untuk anak yang bersangkutan.

3. Informasi mengenai profil kelainan anak (AI – ALB)
Informasi mengenai gangguan/kelainan anak sangat penting, sebab dari beberapa penelitian terbukti bahwa anak-anak yang prestasi belajarnya rendah cenderung memiliki gangguan/kelainan penyerta. Survei terhadap 696 siswa SD dari empat provinsi di Indonesia yang rata-rata nilai rapornya kurang dari 6,0 (enam, nol), ditemukan bahwa 71,8% mengalami disgrafia, 66,8% disleksia, 62,2% diskalkulia, juga 33% mengalami gangguan emosi dan perilaku, 31% gangguan komunikasi, 7,9% cacat / kelainan anggota tubuh, 6,6% gangguan gizi dan kesehatan, 6% gangguan penglihatan, dan 2% gangguan pendengaran (Balitbang, 1996).
Tanda-tanda kelainan atau gangguan khusus pada siswa (jika ada) perlu diketahui guru. Kadang-kadang adanya kelainan khusus pada diri anak, secara langsung atau tidak langsung, dapat menjadi salah satu faktor timbulnya problema belajar. Tentu saja hal ini sangat bergantung pada berat ringannya kelainan yang dialami serta sikap penerimaan anak terhadap kondisi tersebut.
Contoh format isian untuk identifikasi anak berkelainan yang dapat digunakan oleh sekolah.

E. TINDAK LANJUT KEGIATAN IDENTIFIKASI
Sebagai tindak lanjut dari kegiatan identifikasi anak berkelainan untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai, maka dilakukan tindak lanjut sebagai berikut:
1. Perencaanaan pembelajaran dan pengorganisasian siswa
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Menetapkan bidang-bidang atau aspek problema belajar yang akan ditangani: Apakah seluruh mata pelajaran, sebagian mata pelajaran, atau hanya bagian tertentu dari suatu mata pelajaran.
b. Menetapkan pendekatan pembelajaran yang akan dipilih termasuk rencana pengorganisasian siswa, apakah bentuknya berupa pelajaran remedial, penambahan latihan-latihan di dalam kelas atau luar kelas, pendekatan kooperatif, atau kompetitif, dan lain- lain.
c. Menyusun program pembelajaran individual.
2. Pelaksanaan pembelajaran
Pada tahap ini guru melaksanakan program pembelajaran serta pengorganisasian siswa berkelainan dalam kelas reguler sesuai dengan rancangan yang telah disusun dan ditetapkan pada tahap sebelumnya. Sudah tentu pelaksanaan pembelajaran harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan dan kemampuan anak, tidak dapat dipaksakan sesuai dengan target yang akan dicapai oleh guru. Program tersebut bersifat fleksibel.
3. Pemantauan kemajuan belajar dan evaluasi
Untuk mengetahui keberhasilan guru dalam membantu mengatasi kesulitan belajar anak, perlu dilakukan pemantauan secara terus menerus terhadap kemajuan dan/atau bahkan kemunduran belajar anak. Jika anak mengalami kemajuan dalam belajar, pendekatan yang dipilih guru perlu terus dimantapkan, tetapi jika tidak terdapat kemajuan, perlu diadakan peninjauan kembali, baik mengenai isi dan pendekatan program, maupun motivasi anak yang bersangkutan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangannya. Dengan demikian diharapkan pada akhirnya semua problema belajar anak, secara bertahap dapat diperbaiki sehingga anak terhindar dari kemungkinan tidak naik kelas atau bahkan putus sekolah.