THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 13 April 2011

Peranan PAKEM

MAKALAH MBS
PERANAN PAKEM DALAM PEMBELAJARAN

Untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Manajemen Berbasis Sekolah








OLEH
DRAJAT SUNU JIWANDANA
(08390196)




JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2010
KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yana Maha Esa yang elah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusunsn makalah ini yang berjudul “Peranan Pakem Dalam Pembelajaran”, dengan baik. Adapun tujuan pembuatan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas Manajemen Berbasis Sekolah.
Penyusun menyadari bahwa berhasilnya pembuatan makalah ini berkat petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1. M. Syaifuddin selaku dosen pembimbing mata kuliah Manajemen Berbasis Sekolah.
2. Teman-teman yang telah membantu, sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penyusun mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Sehingga, makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.




Malang, 19 Juni 2010


Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Beberapa orang memandang bahwa Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM) sama dengan kerja kelompok. Jika dalam suatu kelas sedang berlangsung pembelajaran dan di sana siswa tetap duduk seperti orang menonton bioskop, semua menghadap ke depan, duduk berdua dengan satu bangku, maka dengan mudah dan cepat dikatakan kelas itu tidak PAKEM. Sebaliknya, Jika di suatu kelas siswa sedang duduk berkelompok, maka dengan mudah kita mengatakan kelas itu PAKEM. Padahal bisa jadi mereka hanya duduk dalam kelompok dan tidak semua siswa bekerja. Seharusnya menilai PAKEM tidaknya suatu pembelajaran tidak cukup hanya dengan melihat pengaturan tempat duduk siswa, tetapi harus diperhatikan pula intensitas keterlibatan siswa dalam belajar, dan seperti apa kegiatan belajar yang dilakukan siswa. Pelaksanaan PAKEM sebenarnya juga memberikan kesempatan pada guru untuk membelajarkan beberapa keterampilan hidup atau kecakapan hidup. kecakapan hidup adalah kemampuan dan keberanian untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara aktif dan kreatif, mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya. Dengan belajar kelompok yang benar misalnya, siswa belajar salah satu kecakapan hidup yaitu berkomunikasi dan bekerja sama dalam tim. melalui bentuk-bentuk tugas yang menantang, siswa bisa membangun kemampuan mencari dan mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah. Usaha-usaha yang menawarkan sebuah pembaharuan, termasuk penerapan PAKEM di kelas, memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Penyajian PAKEM dalam pelatihan manajemen berbasis Sekolah (MBS) dan Peran Serta masyarakat (PSM) dilakukan dengan harapan agar sekolah, komite Sekolah, dan orang tua siswa membantu dan mendukung keberhasilan PAKEM.
Di bawah ini ada sejumlah isu penting tentang pelaksanaan PAKEM, yang dapat digunakan sebagai masukan dalam upaya untuk meningkatkan kualitas PAKEM.Beberapa isu penerapan PAKEM di kelas adalah sebagai berikut:
1. Guru belum memperoleh kesempatan menyaksikan pembelajaran PAKEM yang baik.
2. Pembelajaran masih sering berupa pengisian lembar kerja siswa (LKS) yang sebagian besar pertanyaannya bersifat tertutup.
3. Pengelompokan siswa masih dari segi pengaturan tempat duduk. kegiatan yang dilakukan siswa seringkali belum mencerminkan belajar kooperatif yang benar.
4. Pembelajaran belum membelajarkan kecakapan hidup.
5. Perbedaan individual siswa belum diperhatikan termasuk laki-laki/perempuan, pintar/kurang pintar, dan sosial ekonomi tinggi/rendah.
6. Guru merasa khawatir untuk melaksanakan PAKEM di kelas 6 dan 9.
Pajangan sering menampilkan hasil kerja siswa yang cenderung seragam.

B. Rumusan Masalah.
1. Apa pengertian PAKEM?
2. Bagaimanakah peranan PAKEM dalam proses pembelajaran?

C. Manfaat
1. Mengetahui pengertian PAKEM.
2. Mengetahui bagaimanakah peranan PAKEM dalam proses pembelajaran.





BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian PAKEM.
PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Aktif maksudnya, proses pembelajaran harus menciptakan suasana yang dapat mendorong peserta didik aktif bertanya, mempertanyakan dan mengemukakan gagasan. Kreatif artinya, seorang guru dituntut untuk mampu menciptakan kegiatan yang beragam sehingga memenuhi beragam kemampuan peserta didik. Menyenangkan adalah suasana belajar megajar yang dapat membuat peserta didik memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar, sehingga waktu curah perhatian tinggi dan kerasan di sekolah. Efektif artinya seorang guru haruslah mampu membuat/menghasilkan materi apa yang harus dikuasai peserta didik setelah pembelajran berlangsung sesuai dengan kompetansi yang ditetapkan.
Pada pendekatan PAKEM, peranan guru sangatlah penting. Guru dapat berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan pencipta suasana yang aktif, kreatif, efectif dan juga menyenangkan. Guru aktif mementau kegiatan belajar siswa, memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang, mempertanyakan gagasan siswa. Jika kondisi ini bisa tercapai, maka siswa akan bisa menjadi aktif. Disamping itu guru harus dapat mengembangkan kegiatan sehingga terasa lebih menarik dan beragam, membuat alat bantu belajar, memanfaatkan lingkungan, mengelola kelas dan sumber belajar untuk mencapai hasil belajar yang diinginkan. Guru harus mampu mengembangkan pembelajaran yang dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran yaitu tercapainya kompetensi siswa.


Pembelajaran yang menyenangkan bukan semata-mata pembelajaran yang menjadikan siswa tertawa terbahak-bahak, melainkan suatu proses pembelajaran yang didalamnya terdapat kohesi yang kuat antara guru dan peserta didik dalam suasana yang sama sekali tidak ada tekanan, baik fisik maupun psikologis. Jika pembelajaran berada dalam kondisi tekanan, maka akan mengerdilkan pikiran siswa, sedangkan kebebasan apapun wujudnya akan dapat mendorong terciptanya iklim pembelajaran (learning climate) yang kondusif.

B. Ciri-Ciri PAKEM.
Dari penjabaran tentang PAKEM di depan, maka kita dapat menarik suatu kesimpulan bagaiamakah ciri dari model pembelajaran yang PAKEM. Ciri-ciri tersebut yang dapat kita tarik dari penjelasan didepan antara lain sebagi berikut :
1. Peserta didik harus terlibat penuh dalam berbagai kegiatan pembalejaran.
2. Guru menggunakan berbagai alat bantu (bahan ajar) yang sesuai dengan pembelajaran yang dilaksanakan agar pembelajaran lebih menarik, menyenangkan dan cocok bagi peserta didik.
3. Guru mampu mengkondusifkan suasana ruang kelas.
4. Dalam pembelajaran PAKEM, guru harus menerapkan strategi pembelajaran yang lebih kooperatif dan interaktif.
5. Guru mampu mendorong siswa untuk lebih memahami dirinya sendiri, sehingga siswa menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkan peserta didik dalam menciptakan lingkungan sekolah.


C. Peranan PAKEM dalam Proses Pembelajaran
Dengan mengacu pada yang telah dijelaskan diatas, maka kita bisa mngembangkan suatu proses pembelajaran yang lebih efektif berdasarkan pada pengertian PAKEM dan beserta ciri-cirinya. Dalam pembelajaran yang berpacu pada PAKEM diharapkan hal yang paling utama dipahami oleh seorang guru adalah karakteristik anak didiknya,karena dalam pemilihan materi dan metode agar lebih sinkron antara guru dengan peserta didik. Kepala sekolah juga wajib terlibat langsung dalam pengembangan mutu pendidikan seklah yang sedang dipimpinnya.
Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang dalam pelaksanaanya melibatkan tenaga pengajar yang profesional, peralatan, buku, biaya perndidikan, teknologi, dan input-input lainnya pada bidang pendidikan. Dengan adanya komponen-komponen tersebut, seorang pendidik harus mampu menerapkan PAKEM dalam proses belajar mengajar. Dalam upaya meningkatkan proses pembelajaran untuk mencapai hasil belajar yang lebih baik, maka perencanaan pembelajaran harus selalu disiapkan. Persiapan yang disusun dalam kerangka MBS adalah suatu perancanaan yang sesuai dengan kebutuhan siswa sehingga siswa dapat mengikuti pembelajaran sesuai dengan apa yang diharapkan, memahami bahan-bahan ajar, dan memperoleh berbagai pengalaman baru yang bermuara pada tercapainya kompetensi dasar siswa yang telah ditetapkan dalam silabus.
Perencanaan pembelajaran yang baik harus disusun dengan mengacu kepada kebutuhan siswa, tujuan pembelajaran, standar kompetensi yang ingin dicapai, strategi dan pendekatan pembelajaran yang akan digunakan untuk mencapai kompetensi. Dengan berlandaskan pada PAKEM, maka sebuah pembelajaran dapat dikomunikasikan dengan efektif. Pada pembelajaran yang efektif, seorang guru bukan sebagai sumber utama dalam pembelajaran, melainkanlebih sebagai fasilitator yang mengantarkan siswa untuk mencapai kompetensinya dengan menggunakan berbagai sumber yang ada. Dalam pembelajaran yang aktif dan kreatif harus didukung oleh pengembangan strategi pembelajaran yang mampu membelajarkan siswa. Strategi pembelajaran yang efektif didasarkan pada sejauh mana pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara aktif.
Setelah strategi pembelajaran telah tercapai, maka yang selanjutnya yang harus dilakukan adalah penguasaan kelas. Dalam penguasaan kelas ini tidak terlepas dari arti pengelolaan kelas. Pembelajaran yang efektif dipengaruhi oleh sejauh mana guru mampu mengelola dan menguasai kelas dengan baik. Ciri yang menunjukkan bahwa penguasaan dan pengelolaan kelas oleh guru adalah menguasai bahan ajar atau materi, tampil energik, ceria dan optimis, sehingga senantiasa menarik minat siswa untuk belajar.
Yang terakhir adalah bagaimana seirang guru memberikan evaluasi terhadap pembelajaran yang telah diberikannya kepada anak didiknya dan sejauh mana peserta didik menangkap materi yang telah diberikan oleh guru. Suatu proses pembelajaran tidaklah lengkap atau sempurna sebelum diadakannya evaluasi pembelajaran. Kemampuan seorang guru dalam melakukan evaluasi pun juga harus selalu dilatih untuk menghindari kesalahan dalam mengevaluasi pembelajaran siswa. Dengan mengacu pada KTSP dan konsep belajar tuntas, maka peran evaluasi sangatlah penting agar pembelajaran efektif . Disamping itu juga berguna untuk mengetahui pencapaian kompetensi siswa, juga informasi yang diperoleh dari eveluasi dapat digunakan untuk perencanaan pembelajaran berikutnya.
Jadi, dari uraian tentang PAKEM diatas dapat dikatakan bahwa sebuah proses pembelajaran yang bisa dikatakan lengkap/sempurna apabila sudah di implementasikannya model PAKEM dalam pembelajarannya, hal ini dikarenakan PAKEM sangat efektif digunakan dalam mendidik anak didik untuk menguasai kompetensi-kompetensi yang diharapkan dalam silabus.


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Aktif maksudnya, proses pembelajaran harus menciptakan suasana yang dapat mendorong peserta didik aktif bertanya, mempertanyakan dan mengemukakan gagasan. Kreatif artinya, seorang guru dituntut untuk mampu menciptakan kegiatan yang beragam sehingga memenuhi beragam kemampuan peserta didik. Menyenangkan adalah suasana belajar megajar yang dapat membuat peserta didik memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar, sehingga waktu curah perhatian tinggi dan kerasan di sekolah. Efektif artinya seorang guru haruslah mampu membuat/menghasilkan materi apa yang harus dikuasai peserta didik setelah pembelajran berlangsung sesuai dengan kompetansi yang ditetapkan.
Ciri dari pembelajran PAKEM adalah sebagai berikut : 1).Peserta didik harus terlibat penuh dalam berbagai kegiatan pembalejaran. 2).Guru menggunakan berbagai alat bantu (bahan ajar) yang sesuai dengan pembelajaran yang dilaksanakan agar pembelajaran lebih menarik, menyenangkan dan cocok bagi peserta didik. 3).Guru mampu mengkondusifkan suasana ruang kelas. 4).Dalam pembelajaran PAKEM, guru harus menerapkan strategi pembelajaran yang lebih kooperatif dan interaktif. 5).Guru mampu mendorong siswa untuk lebih memahami dirinya sendiri, sehingga siswa menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkan peserta didik dalam menciptakan lingkungan sekolah.
PAKEM sangat berperan penting dalam pelaksanaan pembelajaran yang berkualitas terbaik, karena dalam PAKEM seluruh komponen pendidikan terlibat dan saling berketerkaitan satu sama lain, sehingga saling melengkapi kekurangan satu sama lain.

B. SARAN
Pembelajaran yang digunakan para guru hendaknya selalu update, sehingga guru tidak kehabisan cara mendidik/melaksanakan proses pembelajaran kepada siswa. Salah satu cara yang sangat diharapkan digunakan oleh guru dalam mendidik anak didiknya dikelas maupun diluar kelas adalah menggunakan strategi pembelajaran yang kooperatif dan interaktif. Maka dari pada itu kemunculan PAKEM adalah sebuah revolusi pembelajaran yang harus dilaksanakan oleh para pendidik agar anak didiknya lebih mudah dalam menguasai kompetensi-kompetensi yang telah diharapkannya.

Rencana Pengembangan Sekolah

Contoh RPS by Drajat Sunu Jiwandana

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Peran pendidikan sangatlah penting bagi kemajuan bangsa dalam rangka mencetak generasi- generasi muda yang siap bersaing dalam dunia global dan juga tanpa melupakan benteng pertahanan akhir yang bersumber dari nilai agama luhur. Pendidikan yang sesuai adalah bertumpu pada bidang IPTEK dan Imtaq dan juga didukung oleh pendidikan yang mengembangkan sikap emosional dan spiritual yang bersumber pada ajaran agama dan budi pekerti.
Salah satu permasalahan pendidikan yang diharapkan bangsa Indonesia saat ini adalah rendahnya mutu pendiodikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Untuk memecahkan masalah tersebut perlu segera ditangani secara sungguh-sungguh dan serius melalui kegiatan pendidikan yang makin bervariatif, inovatif dan efisien di sekolah-sekolah.

Kondisi Riil SDN GAding Kulon 3 pada sat ini antara lain:
• Ruang belajar dan sarana belajar sudah cukup baik, tinggal satu ruang kelas yang masih perlu dibenahi gedungnya.
• Sarana ibadah sudah ada untuk kegiatan keagamaan.
• Sarana kamar mandi ada 2 kamar, dan perlu ditambah untuk menyesuaikan jumlah murid.
• Kegiatan belajar mengajar sedah mengarah ke PEMBELAJARAN TEMATIK khususnya kelas 1,2, 3.
• Sudah cukup sering mengikuti berbagai perlombaan baik akademik maupun non akademik dari tingkat kecamatan maupun kabupaten, begitu pula hasil kelulusannya sudah mencapai 100% dan siswa yang masuk SMP negeri mencapai 60%
• Dukungan dan perhatian masyarakat orang tua murid sangat baik sekali sesuai dengan SK Mendiknas nomor: 044/2002 Tentang Komiute Sekolah dan Dewan Pendidikan, Masyarakat yang berpotensi memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah.
• Perpustakaan yang menjadi salah satu sumber belajar utma di sekolah sedang difungsikan secara bertahap karena buku-bukunya sebagian bersar sudah punya, tetapi kami masih membutuhkan buku-buku yang bermutu guna lebih melengkapi koleksi perpustakaan.
• Sistem administrasi dikerjakan secara manual dan komputerisasi sehingga mempermudah mencari data-data yang diperlukan.
B. LANDASAN HUKUM PENYUSUNAN RENCANA PENGEMBANGAN SEKOLAH(RPS)
Program kerja ini disusun atas dasar landasan hal-hal seperti tersebut dibawah ini:
1. Landasan idiil pancasila
2. Landasan konstitusional UUD 1945 bab 13 (tentang pendidikan) pasal 31 ayat 1,2
3. Landasan operasional:
a. Undang-undang Republik Indonesia No. 2 tahun 1989 tentang PENDIDIKAN NASIONAL. JO. UU NO.20 TAHUN 2003 TENTANG SISDIKNAS
b. Peraturan pemerintah No. 19/2005 tentang standar nasional pendidikan
c. Peraturan menteri pendidikan nasional No. 22 tahun 2006 tentang standar isi.
d. Peraturan menteri Pendidikan Nasional No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah No. 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 dan 23
e. Kebijakan Operasianal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur tentang Meningkatkan Kualitas, Professional, Citra, Harkat Martabat dan Kewajiban Guru Dalam Proses belajar Mengajar.


BAB II
VISI, MISI TUJUAN SEKOLKAH

A. VISI
BERSAING DALAM PRESTASI
UNGGUL DALAM BUDI PEKERTI
BERDASARKAN IPTEK DAN IMTAQ

B. MISI
1. Melaksanakan pembelajaran yang interaktif dan efektif.
2. Menumbuihkan akhlaq yang berkualitas.
3. Menumbuhkan semangat kerja keras kepada seluruh warga sekolah.
4. Menerapkan budaya mutu.
5. Melaksanakan manajemen partisipatif

C. TUJUAN
Tujuan jangka pendek Tahun 2009-2010.
1. Mewujudkan sekolah SDN Gading Kul;on 3 sebagai sekolah yang mampu bersaing akademis dan non akademis.
2. Menciptakan lingkungan sekoplah yang kondusif, aman dan nyaman unutk proses belajar mengajar.
3. Menjadikan sekolah sebagi pusat pengembangan bakat, minat dan pembinaan prestasi murid.
4. Mewujudkan SDN Gabding Kulon 3 sebagai sekolah yang mamiliki sarana dan prasarana ideal untuk bersaing dalam dunia global.
5. Menjali kerja sama yang erat dengan. lembaga-lembaga pendidikan maupun non kependidikan dalam rangka pengembangan mutu sekolah.

Tujuan jangka menengah empat tahun.
1. Melanjutkan program-program yang belum terselesaikan dalam rencana 1 tahuntahap pertama.
2. Menjadikan sekolah sebagai pusat pertukaran informasi pendiodikan bagi sekolah-sekolah dilingkungannya.
3. Bekerja sama dengan lembaga lain yang relevan dalam rangka mensosialisasikan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidanmg pendidikan.

Tujuan jangka panjang setiap lima tahun.
1. Melanjutkan program-program yang belum terselesaikan dalam rencana lima tahun sebelumnya.
2. Mewujudkan sekolah SDN Gading Kulon 3 sebagai sekolah yang memiliki sarana dan prasarana ideal untuk bersaing dalam dunia global atau internasional.







BAB III
KONDISI OBYEKTIF

A. LETAK SEKOLAH
1. Desa/Kecamatan : Gading Kulon/Dau
2. Kabupaten : Malang
3. Provinsi : Jawa Timur
B. TANAH
1. BATAS TANAH
a. Sebelah Utara : Jl. Desa Gading Kulon
b. Sebelah Timur : Areal persawahan
c. Sebelah Selatan : Areal persawahan
d. Sebelah Barat : Sungai
2. LAHAN
a. Luas Lahan : 2091 m2
b. Luas Bagunan : 1455 m2
c. Asal Usul : Tanah Kas Desa
d. Status : Hak Pakai
3. GEDUNG
a. Pendirian : Tahun 1979
b. Dioperasionalkan : Tanggal 20 Mei 1980
c. Rehap Ringan : Tahun 1992 (unit I)
d. Jumlah Ruangan :
1) Ruang belajar : 6 ruang
2) Ruang kantor : 1 ruang
3) Ruang perpustakaan : 1 ruang
4) Ruang aula : 1 ruang
5) Kamar mandi : 2 ruang
6) Toilet : 2 ruang
7) Ruang computer : 1 ruang
8) UKS : 1 ruang
9) Gudang : 1 ruang
10) Tempat Ibadah : 1 ruang
11) Tempat parkir : 1 buah

4. KEPALA SEKOLAH, GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Adapun jumlah personalia pejabat sekolah yang terdiri atas Kepala sekolah, Guru dan Tenaga Kependidikan, Penjaga Sekolah adalah sebanyak 15 orang. Dengan rincian sebagai berikut:
a. Kepala Sekolah : 1 orang
b. Guru kelas : 6 orang
c. Guru Agama : 1 orang
d. Guru Penjaskes : 1 orang
e. Guru Sukwan Guru Kelas : 1 orang
f. Sukwan TU : 1 orang
g. Penjaga sekolah : 1 orang
5. MURID
Jumlah murid SDN Landung Sari I ada 240 orang, terdiri atas 135 murid laki-laki dan 105 murid perempuan, dengan rincian sebagai berikut:
a. Kelas I : 7 + 3 = 10 orang anak
b. Kelas II : 5 + 5 = 10 orang anak
c. Kelas III : 4 + 6 = 10 orang anak
d. Kelas IV : 4 + 5 = 9 orang anak
e. Kelas V : 3 + 6 = 9 orang anak
f. Kelas VI : 5 + 7 = 12 orang anak
Jumlah : 28 + 32 = 60 orang anak
6. KEGIATAN PENUNJANG
a. Patrol keamanan sekolah (PKS) oleh siswa, tiap hari dilaksanakan 3 orang anak
b. Usaha kegiatan sekolah (UKS), untuk menciptakan sekolah bersih dan sehat
c. Perpustakaan sekolah dibuka setiap hari (kecuali hari libur dam hari besar) pada setiap jam istirahat
d. Ekstra kurikuler:
1) Pendidikan keperamukaan, setiap jum’at pukul 15.00-17.00 WIB
2) Penambahan jam mata pelajaran yang di-UASBN/UAS-kan oleh guru kelas 6 pada jam sore, mulai pertengahan semester 1
e. Kegiatan peribadatan yang dilaksanakan dimasjid darusalam
1) Sholat jama’ah yang di ikuti sebagain murid dan masyarakat sekitar ialah: sholat dhuhur dan shalat dhuha.
BAB IV
PERMASALAHAN
Proses perjalanan SDN Gading Kulon I dalam pembinaan anak didik yang merupakan tugas pokok masih kurang mencapai hasil sesuai ketentuan pemerintah, khususnya untuk mencapai target kurikulum yang sempurna sebab masih banyak hal-hal yang perlu diatasi
Adapun hal-hal yang menjadi hambatan dan peyebabnya dapat diuraikan dalam bidang sebagai berikut:
A. Bidang Pendidikan dan Pengajaran
1. Para guru masih kesulitan membagi waktu antara tugas dinas dan kewajiban mereka dengan bagaimana cara mengembangkan silabus yang efectif.
2. Kesadaran orang tua murid terhadap pentingnya pendidikan yang masih rendah
3. Buku pegangan yang terbatas dan buku pelengkap sulit diperoleh karena tidak adanya anggaran sehingga menghambat kelancaran jalannya pelajaran
B. Bidang Kemuridan
1. Kesadaran untuk menuntut ilmu dan pentingnya ilmu masih cukup, akan tetapi kadang kala siswa mengabaikan pelajaran.
2. Waktu belajar dirumah kurang efektif sebab keterlibatan orang tua dalam mendidik anak di bidang akademik kurang.
3. Mental peserta didik yang masih rendah dalam menerima kemajuan
C. Bidang Peralatan dan Gedung
1. Bangku dan meja murid telah banyak yang rusak (60 % baik) sebab telah lama dipakai dan bahannya hanya dari kayu dan triplek
2. Alat peraga sangat kurang, sehingga kegiatan belajar mengajar kurang konkrit dan mantap, laboratorium pun belum ada.
3. Buku bacaan perpustakaan masih sangat kurang umumnya buku-buku lama, oleh karena itu minat baca anak-anak juga sangat kurang
4. Keadaan gedung masih kurang memuaskan.
D. Bidang Keuangan
Selama ini masih menggantungkan diri pada dana BOS, belum berani menggali dana yang lain dari wali murid ataupun masyarakat.


E. Hubungan Sekolah Dengan Masyarakat
1. Hubungan sekolah dengan masyarakat cukup baik, dengan bukti bahwa setiap tahun orang tua/wali murid jika diundang ke sekolah untuk rapat bersama 90% menghadiri rapat.
2. Keputusan rapat orang tua/wali murid masih belum dapat dilaksanakan secara maksimal, ini disebabkan:
a. Masih sulit merubah pola berfikir masyarakat untuk diajak memajukan pendidikan.
b. Keadaan lingkungan yang kurang mendukung terhadap kemajuan pendidikan dengan maraknya teknologi baru yang berdampak negatif bagi peserta didik.
c. Penegakan tata tertib sekolah belum sepenuhya didukung oleh sebagian kecil orang tua murid, sehingga menimbulkan kesalah pahaman.

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)

ditulis Oleh : M Ihsan Dacholfany M.Ed Dan Evi Yuzana SKM
(kiriman makalah dari Bpak M Ihsan Dacholfany M.Ed Dan Evi Yuzana SKM)
DAFTAR ISI
hal
Pendahuluan ………………………….. 1
Batasan Masalah ………………………….. 1
Pengertian Manajemen Sekolah ………………………….. 2
Manajemen berbasis sekolah ………………………….. 3
Manfaat manajemen berbasis sekolah …………………………. 6
Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan ………………………….
pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan …………………………
daerah, dan dewan Manajemen sekolah ……………………….. 7
Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah ……………………….. 10
Hambatan Dalam Penerapan MBS ……………………….. 11
Manajemen Berbasis se kolah Yang berhubungan ………………………..
Prestasi Belajar Murid ……………………….. 13
Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar ……………………….. 17
Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui ………………………..
Penerapan MBS ……………………….. 21
Kesimpulan ……………………….. 22
Daftar Pustaka …………………. 23
BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2 masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Batasan masalah :
1. Apa itu Manajemen Sekolah
2. Apa yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah (MBS)
3. Apa manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS)
4. Apa Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan sekolah?
5. Apa Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
6. Apa karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS)
7. Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses Pemberdayaan
1. Pengertian Manajemen Sekolah
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
1. merencanakan (planning),
2. mengorganisasikan (organizing),
3. mengarahkan (directing),
4. mengkoordinasikan (coordinating),
5. mengawasi (controlling), dan
6. mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Manajemen berbasis sekolah
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya.
Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah
3. Manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
1. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
4. Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat
(Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan Manajemen sekolah?
Penerapan MBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar.
MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mencakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (dinas pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan bantuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah, ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.
Dalam rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.
Di Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut dewan manajemen sekolah (school management council). Dewan ini beranggotakan kepala sekolah, wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga anggota masyarakat lainnya, staf administrasi, dan wakil murid. Dewan ini melakukan analisis kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan dan sasaran terukur yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat distrik.
Di beberapa distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua keputusan pada tingkat sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi pendapat kepada kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah memainkan peran yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai bagian dari sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.
Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.
Setiap sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang dialokasikan kepada mereka untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah, sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan cara ini, didorong adanya perencanaan jangka panjang dan efisiensi.
5. Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
6. Hambatan Dalam Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1) Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2). Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3). Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4) Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5) Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6). Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
7. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula.
Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.
Studi-studi terkini (Caldwell & Hayward, 1998; Caldwell & Spinks, 1998; Fullan & Watson, 2000; Ouchi & Segal, 2003; Volansky & Friedman, 2003) telah menggarisbawahi pentingnya pembuatan keputusan setempat yang sejak awal tertuju pada belajar dan mengajar dan dukungan terhadap belajar dan mengajar, terutama dalam membangun kapasitas staf untuk mendesain dan menyampaikan kurikulum dan pembelajaran yang memenuhi kebutuhan siswa, dengan memperhatikan prioritas kebutuhan setempat, termasuk kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan memonitori keluaran. Juga terlihat pentingnya membangun kapasitas masyarakat untuk mendukung upaya sekolah. Dengan kata lain, penerapakn manajemen berbasis sekolah mungkin tidak berdampak pada belajar kecuali aturan-aturan ini, yang secara umum disebut peningkatan kapasitas dan pemanfaatan kapasitas, telah berhasil.
Di tingkat makro, studi internasional tentang prestasi siswa seperti TIMSS dan TIMSS-R dan PISA dan PISA telah mengkonfirmasi pentingnya keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi, dengan manajemen berbasis sekolah relatif lebih tinggi sebagai satu unsur desentralisasi, termasuk pembuatan keputusan lokal menyangkut masalah personel, profesionalisme, monitoring keluaran, dan membangun dukungan masyarakat.
Hal-hal di atas mencerminkan pentingnya modal intelektual dan modal sosial dalam membangun satu sistem sekolah yang mengelola diri sendiri. (self-managing school). Membangun modal intelektual merupakan contoh pengembangan kapasitas, yang dibahas lebih rinci pada proposisi 11. Modal sosial merujuk pada membangun hubungan yang saling mendukung di antara sekolah, rumah, masyarakat, lembaga keagamaan, dunia usaha dan industri, dan lembaga lain di sektor publik dan swasta.
Pengalaman menunjukkan bahwa, batapapun kuatnya kehendak strategis, diperluan waktu betahun-tahun agar pergeseran dalam keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi memungkinkan desentralisasi berdampak pada keluaran. Ini merupakan pengesahan satu legislasi untuk pergeseran kewenangan, otoritas, tanggung jawab, dan pengaruh dari satu tingkat ke tingkat lain pergeseran itu merupakan perubahan dalam struktur. Pergeseran lain adalah membangun kapasitas agar diperoleh dampak yang diharapkan dari belajar dan mengubah kultur di semua tingkat.
Satu implikasi penting adalah, pemimpin sekolah harus memastikan bahwa dia dan koleganya memperbarui pengetahuan tentang praktik yang baik dalam peningkatan sekolah, dan bahwa membangun modal sosial dan intelektual merupakan inti pekerjaan pemimpin senior di sekolah
Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang baru.
Ada juga Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran kepemimpinan pendidikannya diabaikan.
Namun, kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya. Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.
8. Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar ?
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung jawab atas kinerja mereka.
Penerapan MBS yang efektif seyogyanya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.
Pertanyaannya, sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan perubahan.
Manajemen berbasis sekolah telah menimbulkan perdebatan karena berbagai kekuatan pendorong telah membentuk kebijakan, dan kekuatan-kekuatan ini telah tercermin atau diduga mencerminkan preferensi politik atau orientasi ideologi. Manajemen berbasis sekolah yang digerakkan oleh kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat dan peningkatan profesi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Pusat. Manajemen berbasis sekolah telah digerakkan oleh kepentingan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar atau lebih banyak diferensiasi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Daerah, Manajemen berbasis sekolah yang telah digerakkan, dimana manajemen berbasis sekolah sering dipandang sebagai manifestasi dari upaya menciptakan satu pasar di antara sekolah dalam sistem pendidikan umum.
Manajemen berbasis sekolah sering menimbulkan perdebatan pada tahap-tahap awal pengadopsian, tetapi ia terus diterima setelah beberapa waktu, sedemikian rupa sehingga hanya sedikit pemangku kepentingan ingin kembali pada pendekatan yang lebih sentralistik dalam mengelola sekolah.
Akan tetapi ada pengecualian penting, terutama mengenai kasus di Hong Kong – Cina. School Management Initiative (SMI) merupakan inisitatif manajemen berbasis sekolah mulai awal 1990-an. Tetapi pelaksanaannya lambat, terutama pada sektor yang dibantu, dimana banyak orang berpendapat bahwa SMI menghambat ketimbang memberdayakan. Leung (2003) menyimpulkan bahwa “tujuan reformasi desentralisasi oleh pemerintah adalah memperkuat kendali dan memastikan mutu pendidikan melalui teknik-teknik manajemen. Yaitu bahwa ‘mutu’ diartikan dalam hal penggunaan sumber daya yang lebih efisien, asesmen keluaran (outcome), indikator kinerja, dan evaluasi eksternal. Bukan pembagian kewenangan ataupun pemberdayaan stakeholder menjadi tujuan”. Reformasi tetap menjadi perdebatan di Hong Kong.
Dalam analisis terakhir, meskipun ada kekuatan pendorong yang lain, kriteria kritis untuk menilai efektivitas reformasi yang mencakup manajemen berbasis sekolah adalah sejauh mana manajemen berbasis sekolah mengarah pada atau berhubungan dengan pencapaian hasil belajar yang membaik, termasuk prestasi siswa ke tingkat yang lebih tinggi, bagaimana pun mengukurnya.
Belakangan banyak terjadi perubahan dalam pandangan bahwa tujuan utama manajemen berbasis sekolah adalah peningkatan hasil pembelajaran, dan untuk alasan inilah, kebanyakan pemerintahan memasukkan manajemen berbasis sekolah dalam kebijakan bagi reformasi pendidikan.
Satu implikasi penting adalah bahwa pemimpin sekolah harus memastikan bahwa perhatian masyarakat sekolah (termasuk tenaga kependidikan) tidak hentinya difokuskan pada hasil belajar siswa, dan ini harus menjadi kepedulian utama meskipun makna manajemen berbasis sekolah sangat sering menimbulkan perdebatan.
Para pengeritik sering mengutip temuan ini. Akan tetapi banyak dari penelitian terdahulu hanya mengambil informasi atau opini dari sistem dimana dampak dari keluaran tidak pernah menjadi tujaun utama, atau bahkan tujuan kedua.
Hal ini terutama berlaku bila manajemen berbasis sekolah diimplementasikan sebagai satu strategi untuk membongkar birokrasi pusat yang besar, mahal, dan tidak responsif atau sebagai satu strategi untuk memberdayakan masyarakat dan profesional. Bahkan ketika dampak atas keluaran menjadi tujuan utama, sulit menarik kesimpulan terhadap dampak karena database tentang prestasi siswa lemah.
Satu telaah terhadap penelitian (Caldwell, 2002) menunjukkan bahwa telah ada tiga generasi studi, dan justeru pada studi generasi ketiga bahwa bukti dampak pada hasil ditemukan, tetapi hanya bila kondisi-kondisi tertentu dipenuhi. Generasi pertama adalah saat di mana dampak atas hasil tidak menjadi tujuan utama atau kedua. Generasi kedua adalah ketika dampak menjadi tujuan utama atau kedua tetapi database lemah. Ketiga, muncul pada akhir 1990-an dan dengan mengumpulnya momentum awal 2000-an, yang berbarengan dengan kepedulian terhadap hasil belajar dan pengembangan database yang kuat.
Satu implikasi penting adalah, para pemimpin sekolah harus sadar bahwa manajemen-diri tidaklah selalu berdampak pada hasil belajar siswa dan mereka harus melakukan setiap upaya untuk menjamin bahwa ada mekanisme untuk menghubungkan manajemen dengan beberapa area dalam pelaksanaan sekolah.
Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif. Ada yang kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no firm”. Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and improved outcomes is minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”.
Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif. Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-based management has led to higher student achievement” De Grouwe (1999).
Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa “enhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved students’ language skills and diminished absenteeism”. Jemenez dan Sawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.
9. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Kesimpulan.
Satu cara yang berguna dalam menyimpulkan adalah melihat tantangan sebagai satu cara menciptakan suatu jenis sistem pendidikan baru yang sesuai abad ke-21. Kita membutuhkan sistem-sistem baru yang terus-menerus mampu merekonfigurasi kembali dirinya untuk menciptakan sumber nilai publik baru. Ini berarti secara interaktif menghubungkan lapisan-lapisan dan fungsi tata kelola yang berbeda, bukan mencari cetak biru (blueprint) yang statis yang membatasi berat relatifnya.
Pertanyaan mendasar bukannya bagaimana kita secara tepat dapat mencapai keseimbangan yang tepat antara lapisan-lapisan pusat, regional, dan lokal atau antara sektor-sektor berbeda: publik, swasta, dan sukarela. Justeru, kita perlu bertanya Bagaimana suatu sistem secara keseluruhan menjadi lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya ?. (Bentley & Wilsdon, 2004).
Secara sederhana dikatakan, manajemen berbasis sekolah bukanlah “senjata ampuh” yang akan menghantar pada harapan reformasi sekolah. Bila diimplementasikan dengan kondisi yg benar, ia menjadi satu dari sekian strategi yang diterapkan dalam pembaharuan terus-menerus dengan strategi yang melibatkan pemerintah, penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem sekolah.
Referensi
Caldwell, B. J. (2002). Autonomy and self-management: Concepts and evidence. In Bush, T., & Bell, L. (Eds.), The Principles and Practice of Educational Management’ (pp. 21-40 ). London: Paul Chapman Publishing.
Bentley, T. & Wilsdon, J. (2004). The Adaptive State: London: Demos.
Caldwell, B. J., & Hayward, D. K. (1998). The Future of Schools: Lessons from the Reform of Public Education. London: Falmer Press.
Caldwell, B. J., & Spinks, J. M. (1998). Beyond the Self-Managing School. London: Falmer Press.
Fullan, M., & Watson, N. (2000). School-based management: Reconceptualizing to improve learning outcomes. School Effectiveness and School Improvement, 11(4), 453-474.
Hargreaves, D. (2003). Education Epidemic. London: Demos.
Jesson, D. (2004). Educational Outcomes andValueAdded by Specialist Schools. London: Specialist Schools Trust.
Leung, Y.H. (2003). The politics of decentralization: A case study of school management reform in Hong Kong. In Mok, K.H. (Ed.), Centralization and Decentralization: Educational Reforms and Changing Governance in Chinese Societies (pp. 21-38). Hong Kong: Comparative Education Research Centre, The University of Hong Kong, & Kluwer Academic Publishers.
LLECE (2002). Qualitative Study of Schools with Outstanding Results in Seven Latin American Countries. Report of the Latin American Laboratory for Assessment of the Quality of Education (LLECE). Santiago: UNESCO.
Ouchi, W. G., & Segal, L. G. (2003). Making Schools Work: A Revolutionary Plan To Get Your Children The Education They Need. New York: Simon & Schuster.
Prime Minister’s Delivery Unit (2003). ‘Key Stage 4 Priority Review: Final Report’. London: PMDU.
Ross, K. N., & Levacic, R. (Eds.). (1999). Needs-Based Resource Allocation in Education Via Formula Funding of Schools. Paris: International Institute for Educational Planning, UNESCO.
Volansky, A., & Friedman, I. A. (2003). School-based management: An International Perspective. Israel: Ministry of Education.
American Association of School Administrators, National Association of Elementary
School Principals, and National Association of Secondary School Principals. School-
Based Management: A Strategy for Better Learning. Arlington, Virginia: 1988.
David Peterson, School-Based Management and Student Performance,