THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 07 Maret 2011

Pendidikan Jasmani Untuk Tuna Netra

PENDIDIKAN JASMANI TUNANETRA

Definisi Tunanetra

Pertuni (2004) mendefinisikan tunanetra sebagian dari mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas)“.

Definisi ini menyiratkan bahwa terdapat dua kelompok orang tunanetra berdasarkan sisa kemampuan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa. Kelompok pertama adalah mereka yang tidak memiliki sama sekali kemampuan untuk membaca tulisan biasa sehingga memerlukan media lain seperti Braille atau audio. Kelompok ini selanjutnya kita sebut tunanetra berat. Kelompok kedua adalah mereka yang masih memiliki kemampuan visual untuk membaca tulisan biasa dengan adaptasi tertentu. Adaptasi itu mencakup pembesaran huruf menjadi sekurang-kurangnya 18 point, atau penggunaan alat-alat magnifikasi (kaca pembesar atau CCTV). Karena status penglihatannya sering kali tidak stabil atau tidak dapat difungsikan untuk waktu yang cukup lama, maka kelompok ini juga perlu belajar membaca dengan format lain. Kelompok ini selanjutnya kita sebut tunanetra ringan atau low vision.

Untuk mengatasi kehilangan atau keterbatasan penglihatan guna melakukan kegiatan sehari-harinya, orang tunanetra sering harus melakukan kegiatan itu dengan cara alternatif. Teknik alternatif adalah cara khusus (baik dengan ataupun tanpa alat bantu khusus) yang memanfaatkan indera-indera nonvisual atau sisa indera penglihatan untuk melakukan suatu kegiatan yang normalnya dilakukan dengan indera penglihatan. Karena begitu banyak teknik alternatif yang harus digunakannya, maka pola kehidupannya pun menjadi berubah, berbeda dari orang pada umumnya. Oleh karena itu, Jernigan (1994) mendefinisikan ketunanetraan sebagai berikut: “An individual may properly be said to be "blind" or a "blind person" when he has to devise so many alternative techniques - that is, if he is to function efficiently - that his pattern of daily living is substantially altered.”

A. Ketunanetraan dan Kognisi

Kognisi adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan obyek tergantung pada bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam dunia kognitifnya, dan citra atau "peta" dunia setiap orang itu bersifat individual. Setiap orang mempunyai citra dunianya masing-masing karena citra tersebut merupakan produk yang ditentukan oleh faktor-faktor berikut: (1) lingkungan fisik dan sosialnya, (2) struktur fisiologisnya, (3) keinginan dan tujuannya, dan (4) pengalaman-pengalaman masa lalunya (Krech, Crutchfield, & Ballachey, 1982). Lebih jauh Krech et al. mengemukakan bahwa meskipun tidak ada dua orang yang memiliki konsepsi yang persis sama mengenai dunia ini, tetapi terdapat banyak fitur yang sama dalam citra semua orang mengenai dunia ini. Hal ini terjadi karena semua orang mempunyai sistem syaraf yang serupa, karena semua orang menggunakan "ungkapan rasa" tertentu secara sama, dan karena semua orang harus menghadapi persoalan tertentu yang mirip. Dunia kognitif anggota suatu kelompok budaya tertentu bahkan memiliki tingkat kesamaan yang lebih besar karena adanya tingkat kesamaan yang lebih besar dalam keinginan dan tujuannya, dalam lingkungan fisik dan sosialnya, dan dalam pengalaman belajarnya.

Dari keempat faktor yang menentukan kognisi individu sebagaimana dikemukakan oleh Krech et al. di atas, individu tunanetra menyandang kelainan dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkunganya. Banyak di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsepsi mereka tentang dunia ini sejauh tertentu mungkin berbeda dari konsepsi orang awas pada umumnya.

Perbedaan penting antara perkembangan konsep anak tunanetra dan anak awas – khususnya untuk konsep obyek fisik - adalah bahwa anak tunanetra mengembangkan konsepnya terutama melalui pengalaman taktual sedangkan anak awas melalui pengalaman visual. Lowenfeld (Hallahan & Kauffman, 1991) mengidentifikasi dua jenis persepsi taktual, yaitu synthetic touch dan analytic touch. Perabaan sintetis mengacu pada eksplorasi taktual terhadap obyek yang cukup kecil untuk dicakup oleh satu atau kedua belah tangan. Bila obyek itu terlalu besar untuk dapat dipersepsi melalui perabaan sintetis, maka dipergunakan perabaan analitis. Perabaan analitis adalah kegiatan meraba bagian-bagian suatu obyek secara suksesif dan kemudian secara mental mengkonstruksikan bagian-bagian tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh. Orang awas dapat mempersepsi bermacam-macam obyek atau bagian-bagian dari satu obyek sekaligus, tetapi orang tunanetra harus mempersepsinya satu demi satu atau bagian demi bagian sebelum dapat mengintegrasikannya menjadi satu konsep.

Satu perbedaan penting lainnya antara perabaan dan penglihatan adalah bahwa perabaan menuntut jauh lebih banyak upaya sadar untuk memfungsikannya. Sebagaimana diamati oleh Lowenfeld (Hallahan & Kauffman, 1991), indera perabaan pada umumnya hanya berfungsi bila aktif dipergunakan untuk keperluan kognisi, sedangkan penglihatan aktif dan berfungsi selama mata terbuka. Oleh karena itu, untuk memperkaya kognisinya, anak tunanetra harus sering didorong untuk mempergunakan indera perabaannya untuk keperluan kognisi. Akan tetapi, di dalam masyarakat kita, di mana obyek-obyek tertentu ditabukan untuk diraba, dorongan untuk mempergunakan indera perabaan itu sering harus dibatasi demi menghindari perilaku yang bertentangan dengan norma-norma sosial.

Baiknya persepsi taktual, sebagaimana halnya dengan baiknya persepsi visual, tergantung pada kemampuan individu untuk menggunakan berbagai macam strategi dalam memperolehnya (Berla; Griffin & Gerber – dalam Hallahan & Kauffman, 1991). Anak tunanetra yang membandingkan antara pensil dan penggaris, misalnya, dengan menggunakan bermacam-macam strategi seperti membandingkan panjang masing-masing obyek itu dengan lengannya, dan mendengarkan perbedaan bunyinya bila obyek-obyek itu diketuk-ketukkan ke meja, akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang persamaan dan perbedaan antara kedua obyek tersebut. Satu strategi umum yang sangat penting untuk pengembangan persepsi taktual adalah kemampuan untuk memfokuskan eksplorasi pada fitur-fitur stimulus terpenting – yaitu bagian-bagian yang merupakan ciri khas dari obyek itu (Davidson – dalam Hallahan & Kauffman, 1991). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin dini anak tunanetra dilatih dalam penggunaan strategi ini, akan semakin baik perkembangan konsep taktualnya (Berla - dalam Hallahan & Kauffman, 1991).

Seberapa besar perbedaannya dari anak awas, perkembangan konsep anak tunanetra itu akan sangat tergantung pada dua faktor, yaitu tingkat ketunanetraannya dan usia terjadinya ketunanetraan itu (Hallahan & Kauffman, 1991). Anak yang berkesempatan memperoleh pengalaman visual sebelum menjadi tunanetra, sejauh tertentu akan dapat memanfaatkannya untuk memahami konsep-konsep baru. Anak yang tunanetra sejak lahir pada umumnya akan lebih bergantung pada indera taktualnya untuk belajar tentang lingkungannya daripada mereka yang ketunanetraannya terjadi kemudian. Demikian pula, anak yang buta total akan lebih bergantung pada indera taktual untuk pengembangan konsepnya daripada mereka yang masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional (low vision).


B. Ketunanetraan dan Inteligensi

Apakah ketunanetraan berdampak terhadap inteligensi? Kolk dan Tillman (Kingsley, 1999) menarik kesimpulan yang berbeda. Kolk mengkaji sejumlah hasil studi mengenai inteligensi anak-anak tunanetra dan menyimpulkan bahwa pada umumnya skor IQ rata-rata tidak berbeda secara signifikan antara anak tunanetra dan anak awas. Akan tetapi, Tillman menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan. Dengan menggunakan skala verbal WISC (the Wechsler Intelligence Scale for Children), Tillman melaporkan skor IQ rata-rata 92 untuk 110 anak tunanetra usia 7 13 tahun, dibandingkan dengan 96,5 untuk kelompok kontrol yang awas. Tillman menganalisis hasil dari masing-masing item tes dan menemukan bahwa anak-anak yang awas lebih tinggi daripada anak-anak yang tunanetra dalam item tes pemahaman dan tugas-tugas yang menuntut anak untuk menemukan persamaan di antara item-item yang disajikan; tidak ada perbedaan antara anak yang tunanetra dan anak yang awas dalam skala informasi, aritmetika dan kosa kata; tetapi anak tunanetra dapat lebih baik dibanding anak yang awas dalam pengerjaan soal-soal yang menggunakan rentangan bilangan 1-10. Penjelasan yang dikemukakan oleh Tillman untuk perbedaan-perbedaan itu adalah bahwa anak-anak tunanetra kurang mampu mengintegrasikan semua jenis fakta yang sudah mereka pelajari, sehingga masing-masing item informasi itu seolah-olah disimpan dalam kerangka acuan yang terpisah dari item lainnya. Anak-anak yang tunanetra tidak mengalami kesulitan dalam item-item yang menuntut informasi/pengetahuan umum, seperti item-item dalam skala aritmetika dan kosa kata, tetapi mereka mengalami kesulitan dalam item-item seperti pada tes pemahaman atau penilaian tentang persamaan antarobyek, yang menuntut anak menghubungkan berbagai macam item informasi. Seolah-olah semua pengalaman pendidikan anak tunanetra itu disimpan di dalam ruangan yang terpisah-pisah. Jika hal ini benar, maka dapat disimpulkan bahwa, untuk pembentukan persepsi, penglihatan memfasilitasi anak untuk menghubungkan pengalaman-pengalaman yang berbeda-beda, hubungan yang membantunya dalam memanfaatkan berbagai pengalamannya secara efektif.

Perbedaan temuan di atas mungkin diakibatkan oleh hakikat jenis tes yang dipergunakan untuk kelompok anak tunanetra dan kelompok anak awas. Pelopor dalam pembuatan tes inteligensi bagi individu tunanetra adalah Samuel P. Hayes (Hallahan & Kauffman, 1991). Hayes mengambil item-item verbal dari tes inteligensi Stanford-Binet untuk mengukur inteligensi individu tunanetra. Rasionalnya adalah bahwa item-item tersebut seyogyanya merefleksikan secara tepat inteligensi orang tunanetra karena item-item tersebut tidak begitu bergantung pada penglihatan seperti item-item pada performance test. Tes lain yang dirancang khusus bagi individu tunanetra adalah The Blind Learning Aptitude Test (BLAT), yang merupakan performance test, yang dirancang oleh Newland (Hallahan & Kauffman, 1991). Salah satu fiturnya adalah bahwa tes tersebut mengukur indera taktual (perabaan) - satu kemampuan yang dibutuhkan untuk membaca Braille.

Baik dengan menggunakan tes verbal ataupun tes kinerja, kita harus sangat berhati-hati dalam membandingkan inteligensi individu tunanetra dan individu awas. Warren (Hallahan & Kauffman, 1991) mengemukakan bahwa hampir tidak mungkin kita dapat membandingkan secara langsung antara kedua kelompok tersebut karena sangat sulit untuk mendapatkan alat ukur yang sebanding. Menggunakan tes verbal tidak benar-benar memuaskan karena banyak ahli berpendapat bahwa inteligensi terdiri lebih dari sekedar fasilitas verbal. Menuntut individu awas untuk menggunakan indera perabaannya dan tidak menggunakan indera penglihatannya dalam mengerjakan tes taktual juga tidak adil, karena mereka tidak terbiasa dengan itu. Oleh karena itu, akan bijaksana bila temuan-temuan di atas disimpulkan bahwa sekurang-kurangnya ketunanetraan tidak secara otomatis membuat inteligensi orang menjadi lebih rendah, sebagaimana dikemukakan oleh Hallahan & Kauffman (1991:309), "... there is no reason to believe that blindness results in lower intelligence."

Secara keseluruhan, Lowenfeld (Mason & McCall, 1999) mengemukakan bahwa ketunanetraan mengakibatkan tiga keterbatasan yang serius pada kemampuan individu, dan, pada gilirannya, sangat berdampak pada perkembangan fungsi kognitif. Ketiga keterbatasan tersebut adalah: (1) keterbatasan dalam sebaran dan jenis pengalaman; (2) keterbatasan dalam kemampuan untuk bergerak di dalam lingkungan; dan (3) keterbatasan dalam interaksi dengan lingkungan. Akan tetapi, Kingsley (1999) mengemukakan bahwa tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa keterbatasan-keterbatasan akibat hilangnya penglihatan ini juga membatasi potensi. Ini berarti bahwa dengan intervensi yang tepat, yang dapat meminimalkan keterbatasan-keterbatasan itu – sebagaimana telah banyak dibuktikan (Beadles et al., 2000; Jindal-Snape et al., 1998)- potensi kognitif anak tunanetra itu dapat berkembang secara lebih baik. Bahwa kognisi anak tunanetra berbeda dengan kognisi anak awas pada umumnya, itu memang merupakan hakikat dari kognisi yang bersifat individual. Apakah dunia kognitif anak tunanetra lebih miskin daripada anak awas? Itu memerlukan penelitian lebih lanjut, dan tergantung pada alat ukur yang dipergunakan, karena, sebagaimana dikemukakan oleh Krech, Crutchfield, & Ballachey (1982), kognisi individu itu diorganisasikannya secara selektif. Hanya obyek-obyek tertentu, di antara semua obyek yang ada di "luar sana", yang masuk ke dalam konsepsinya tentang dunia luar, dan karakteristik obyek-obyek tersebut dapat berubah, disesuaikan dengan tuntutan psikologisnya. “The cognitive map of the individual is not, then, a photographic representation of the physical world; it is, rather, a partial, personal construction in which certain objects, selected out by the individual for a major role, are perceived in an individual manner” (Krech, Crutchfield, & Ballachey, 1982:20). Ini berarti bahwa seorang anak tunanetra mungkin miskin dengan konsep-konsep tertentu tetapi kaya dengan konsep-konsep lain – sesuai dengan selektivitasnya.

C. Ketunanetraan dan Perkembangan Bahasa Anak

Pada umumnya para ahli yakin bahwa kehilangan penglihatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan memahami dan menggunakan bahasa, dan secara umum mereka berkesimpulan bahwa tidak terdapat defisiensi dalam bahasa anak tunanetra (Hallahan & Kauffman, 1991; Kingsley, 1999; Umstead, 1975; Zabel, 1982). Mereka mengacu pada banyak studi yang menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak berbeda dari siswa-siswa yang awas dalam hasil tes intelegensi verbal. Mereka juga mengemukakan bahwa berbagai studi yang membandingkan anak-anak tunanetra dan awas tidak menemukan perbedaan dalam aspek-aspek utama perkembangan bahasa. Karena persepsi auditer lebih berperan daripada persepsi visual sebagai media belajar bahasa, maka tidaklah mengherankan bila berbagai studi telah menemukan bahwa anak tunanetra relatif tidak terhambat dalam fungsi bahasanya. Banyak anak tunanetra bahkan lebih termotivasi daripada anak awas untuk menggunakan bahasa karena bahasa merupakan saluran utama komunikasinya dengan orang lain.



Satu defisiensi yang oleh beberapa peneliti ditemukan pada bahasa anak tunanetra – tetapi dibantah oleh beberapa peneliti lain (Zabel, 1982) adalah tingginya kadar verbalisme pada bahasa mereka, yaitu penggunaan kata-kata tanpa diverifikasi dengan pengalaman konkret. Verbalisme ini, menurut DeMott (Umstead, 1975), secara konseptual sama bagi anak tunanetra maupun anak awas, karena makna kata-kata dipelajarinya melalui konteksnya dan penggunaanya di dalam bahasa. Sebagaimana halnya dengan semua anak, anak tunanetra belajar kata-kata yang didengarnya meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan pengalaman nyata dan tak ada maknanya baginya.

Penelitian tentang perkembangan bahasa dan bicara pada anak balita tunanetra dan awas yang dilakukan oleh Umstead (Umstead, 1975) menghasilkan temuan-temuan sebagai berikut. Anak tunanetra dan anak awas melalui proses yang sama dalam caranya belajar bahasa dan bicara. Kaidah dasar bahasa sudah dikuasai oleh kedua kelompok anak ini sebelum usia empat tahun. Sebagaimana halnya dengan semua anak, jika anak tunanetra mengalami kelambatan dalam perkembangan fisiknya, proses perolehan bahasanya pun akan lebih lambat pula. Pada awal perkembangan bicaranya, beberapa anak tunanetra menunjukkan kelambatan, mungkin karena anak-anak ini tidak dapat mengamati gerakan bibir dan mulut orang lain. Terbatasnya cara belajar mereka melalui pendengaran tanpa masukan visual itu tampaknya mengurangi efisiensi perkembangan bicaranya tetapi tidak mengakibatkan kesulitan yang signifikan. Kurangnya stimulasi vokal dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan bicara. Jika bayi atau anak tunanetra tidak diajak bicara dan tidak diperlakukan dengan kasih sayang, maka perkembangan bicaranya secara umum akan terhambat. Banyak anak tunanetra lambat dalam pertumbuhan kosa katanya, tetapi ini tampaknya terkait dengan cara orang dewasa memperlakukannya. Pertumbuhan kosa katanya itu akan normal jika anak itu diberi pengalaman konkret dengan obyek yang sama dan dilibatkan dalam kegiatan yang sama sehingga mereka dapat turut melibatkan diri dalam percakapan mengenai kegiatan tersebut.

Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa kalaupun anak tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata akibat langsung dari ketunanetraannya melainkan terkait dengan cara orang lain memperlakukannya. Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan informasi ataupun pemahaman kaidah-kaidah bahasa.



Penyebab dan Gejala-Gejala

Gejala-gejala neuritis optik adalah jika ditemukan satu atau lebih gejala berikut ini:

penglihatan kabur
bintik/bercak buta, terutama pertengahan lapang pandang
nyeri saat pergerakkan bola mata
sakit kepala
buta warna mendadak
gangguan penglihatan pada malam hari
gangguan ketajaman penglihata
Neuritis optik sering diakibatkan oleh penyakit sklerosis multipel. Penyebab lainnya adalah infeksi virus, jamur, ensefalomielitis, penyakit-penyakit otoimun atau tumor yang menekan saraf penglihatan atau penyakit-penyakit pembuluh darah (misalnya radang arteri temporal). Beberapa bahan kimia beracun seperti metanol dan timah hitam dapat menyebabkan kerusakkan saraf optik. Kerusakkan saraf optik dapat juga dikarenakan penyalahgunaan alkohol dan rokok. Neuritis optik dapat juga disebabkan karena gangguan sistem kekebalan tubuh.



Diagnosis

Dokter mata akan memeriksa mata penderita dan menentukan diagnosis neuritis optik. Pemeriksaan mata lengkap termasuk pemeriksaan ketajaman penglihatan, pemeriksaan buta warna serta pemeriksaan retina dan diskus optik dengan menggunakan oftalmoskop. Tanda-tanda klinis seperti gangguan reaksi pupil jelas terlihat selama pemeriksaan mata tetapi pada beberapa keadaan mata terlihat normal. Riwayat medis penderita dapat digunakan untuk mengetahui apakah pernah terpapar/kontak dengan bahan-bahan beracun seperti timah hitam yang dapat menyebabkan neuritis optik.

Pemeriksaan lebih lanjut dengan menggunakan MRI (magnetic resonance imaging) diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Dengan MRI dapat dibuktikan tanda-tanda sklerosis multipel.



Terapi

Pengobatan neuritis optik tergantung pada penyebab yang mendasarinya. Gangguan penglihatan yang disebabkan infeksi virus akan membaik sendiri setelah diberikan pengobatan terhadap virus. Neuritis optik yang disebabkan bahan-bahan beracun dapat diatasi bila sumber-sumber/kontak dengan racun dihindari.

Pemberian kortikosteroid suntikan yang dilanjutkan dengan pemberian oral pada penderita neuritis optik akibat sklerosis multipel sangat cepat memperbaiki penglihatan penderita, tetapi masih diperdebatkan penggunaanya untuk mencegah kekambuhan. Terapi Percobaan Neuritis Optik menunjukkan bahwa steroid yang diberikan dengan suntikkan intravena efektif untuk mengurangi serangan neuritis optik akibat penyakit sklerosis multipel hingga 2 tahun, tetapi perlu penelitian lebih lanjut. Prednison yang diberikan secara oral tampaknya dapat meningkatkan serangan berulang neuritis optik sehingga terapi ini tidak dianjurkan.

Pencegahan

Gangguan penglihatan yang disebabkan karena neuritis optik biasanya bersifat sementara. Remisi (penyembuhan) spontan terjadi dalam dua hingga lima minggu. Saat masa pemulihan, 65% - 80% ketajaman penglihatan penderita menjadi lebih baik. Prognosis jangka panjang tergantung pada penyebab yang mendasarinya. Jika serangan ini ditimbulkan oleh infeksi virus maka akan mengalami penyembuhan sendiri tanpa meninggalkan efek samping. Jika neuritis optik dipicu oleh sklerosis multipel, maka serangan berikutnya harus dihindari. Tigapuluh tiga persen penderita neuritis optik akan kambuh dalam lima tahun. Tiap kekambuhan menyebabkan pemulihannya tidak sempurna bahkan memperburuk penglihatan seseorang. Ada hubungan yang kuat antara neuritis optik dengan sklerosis multipel. Pada orang yang tidak mengalami sklerosis multipel maka separuh dari mereka yang mengalami gangguan penglihatan akibat neuritis optik akan menderita penyakit ini dalam 15 tahun.

Ruang Lingkup Pendidikan Jasmani Tunanetra

Pendidikan jasmani merupakan salah satu mata pelajaran yang sama pentingnya dengan mata pelajaran lain di sekolah dasar dan sekolah luar biasa. Adapun ruang lingkup dan tujuan pembelajaran pendidikan jasmani tersebut di samping meningkatkan keterampilan gerak dasar juga meningkatkan kesegaran jasmani dan kesehatan serta terapi/rehabilitasi terhadap siswa penyandang cacat/berkelainan. Pendidikan jasmani merupakan pendidikan secara keseluruhan /komprehensif artinya pendidikan untuk Jasmani dan pendidikan melalui jasmani. Hal ini dimaksudkan bahwa pendidikan Jasmani itu untuk meningkatkan kesehatan tubuh dan juga merupakan pendidikan yang merangsang perkembangan personalia/kepribadian siswa meliputi: pengembangan kognitif, afektif, psikomotor, dan sosial-emosional.

Menurut Noerbai, (2000:7) menyebutkan ruang lingkup pendidikan jasmani adalah gagasan pemikiran sebagai hasil kegiatan fisik, mental, emosional, dan yang terjadi dari pengorganisasian program yang difokuskan pada kegiatan fisik untuk mencapai tujuan. Tujuan ini akan dapat dicapai bila pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah luar biasa dilaksanakan dengan efektif. Ini dimaksudkan bahwa semua anak dalam pembelajaran merasa tertarik, senang dan gembira untuk mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani.

Ruang lingkup pendidikan jasmani pada sekolah luar biasa adalah memacu pertumbuhan dan perkembangan jasmani, mental, emosional, sosial dan bersifat terapi atau rehabilitasi bagi siswa penyandang cacat.

Secara umum jenis-jenis kegiatan yang diajarkan siswa penyandang cacat/tunanetra meliputi

1. Kegiatan pokok, terdiri atas:

a. Pengembangan kemampuan Jasmani (PKJ)

b. Atletik

c. Senam

d. Permainan

2. Kegiatan pilihan, terdiri atas:

a. Pencak silat

b. Renang;

c. Bulu tangkis:

d. Tenis meja

e. Sepak takraw

f. Permainan tradisional

Modifikasi Pendidikan jasmani Tunanetra di SLB

Pengertian modifikasi olahraga dalam pendidikan jasmani bagi penyandang cacat tidak menunjuk pada salah satu metodologi, model, alat tertentu, dan pengajaran tertentu, namun ia merujuk pada berbagai keterampilan mengajar yang diadaptasi secara baik dan benar oleh guru Dikjas bersangkutan. Dengan derrdkdan dalam pendekatan modifikasi tidak mengubah materi tertentu tetapi disesuaikan dengan kebutuhan (special need physical education) bagi Siswa penyandang cacat. Modifikasi yang diterapkan terhadap siswa tunanetra meliputi: Sport modification. Modifikasi olahraga ini meliputi alat olahraga, metode dan gerak. Hal ini dimaksudkan agar pemberian materi dengan mengutamakan pendekatan suasana bergembira (enjoy and happy) dalam mengikuti gerak aktivitas dalam pendidikan jasmani. (Soepartono dan Isrianto, 1998: 12). Dengan rasa senang tersebut maka aktivitas gerakan tanpa disadari akan meningkat dengan baik. Siswa penyandang cacat dapat tumbuh berkembang menjadi manusia yang sehat, senang percaya diri sehat jasmani dan rohani. (Haag,1978:51).

Pengertian modifikasi olahraga dalam dikjas adalah bentuk layanan adaptasi/penyesuaian aktifitas pendidikan jasmani dengan siswa penyandang cacat. Layanan ini tidak hanya sakedar menunjuk pada salah satu alat atau metode tertentu, akan tetapi lebih dari itu menunjuk pada berbagai keterampilan pengajaran dikjas, agar pelaksanaan/implementasi terhadap kurikulum dikjas di SLB lebih intensif dan efektif. Pembelajaran tradisional tetap masih dilaks-anakan sesuai dengan keadaan di daerah yang berbeda-beda. Pembelajaran tradisional dan modern masing-masing terdapat kelebihan dan kecocokan dengan daerah setempat yang berbeda-beda.

Namun mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendekatan modern diterapkan untuk memudahkan pelaksanaan pembelajaran dalam mencapai tujuan. Meskipun demikian model tradisional hingga saat ini tetap terdapat banyak pangsa pasar yang tetap digunakannya, khususnya di derah-daerah terpencil/pedalaman

Pendekatan baru yang popular saat ini adalah pendekatan modifikasi. Konsep pembelajaran dengan mengunakan modifikasi akan lebih mengutamakan unsur kegembiraan dengan tidak meninggalkan tujuan pendidikan. Sebagai mana dinyatakan oleh (Mutohir, 1996:6, Indahwati, Darmawan, Suroto, Pudjijuniarto, dan Ferianto, 1998: 57, Soepartono, dan lsrianto, 1998: 12) bahwa penekanan utama dalam pembelajaran dengan modifikasi adalah suatu strategi untuk membuat anak menjadi senang-gembira dalam mengikuti berbagai aktifitas gerak.

Tabel 6.1

Perbedaan. Pendekatan Pembelajaran Tradisional .dengan

Pendekatan Modifikas dalam Pendidikan jasmani

(Diadop dari : Indahwati, dkk. 1998:61)

Traditional Aproach
Sport Modification Approach

- Teacher Oriented
- Student Centered

- Linear (Unilateral
- Multilateral

- Invareant (monotony
- Variant

- Sport Based
- Modified Sport Based


Dengan demikian tingkat keterlibatan dan intensitas gerak dasar anak menjadi optimal- Akhirnya tujuan pembelajaran dapat dicapai dan diwujudkan melalui kegiatan pengajaran dengan perencanaan yang matang(Noebai. 2000:15).

Modifikasi pembelajaran (Irztructional modification), disebutkan. oleh Annarino, Cowell, and Hazelton, (1980:332) untuk siswa penyandang cacat dijelaskan bahwa dengan keterbatasan tingkat partisipasi penyandang cacat, serta tuntutan-tuntutan khusus, padanya, baik dalam program pendidikan jasmani regular maupun khusus, memerlukan modifikasi dan penyesuaian strategi pengajarannya. Pemahaman guru Dikjas di SLB, sering melihat bahwa suatu materi dikjas kurang cocok bagi semua siswa, khususnya bagi penyandang cacat, perlu dimodifikasi. Untuk itu materi pembelajaran disesuaikan pada kebutuhan siswa, ambisi, perasaan, tujuan dan kemampuan serta keterbatasan individu, khususnya para penyandang cacat buta.



Aktivitas-aktivitas yang dimodifikasi untuk ekualitas (keseimbangan) partisipasi siswa penyandang cacat Fait & Dunn, (1984), dengan teknik:

1. Mengurangi durasi aktivitas.

2. Mengubah aturan untuk ekualitas partisipasi.

3. Menyesuaikan tinggi net basket, bulutangkis, pingpong, dan bola volly dari standart

4 Memperpendek jarak.

5. Menggunakan tipe tanda yang berbeda.

6. Menggunakan pasangan, kelompok atau obyek (kawat, tali, kayu, pegangan).

7. Meminimalkan aktivitas kontak.

8. Membatasi luas area permainan.

9. Menambah atau mengurangi ukuran obyek permainan.

10. Menambah area ukuran area sasaran.

11. Meminimalkan penggunaan aktivitas tipe eliminasi (Minimiz¬ing the ufe of elimination-type activities).

Ini hanyalah sebagian contoh untuk modifikasi teknik pengajaran Dikjas. Kondisi siswa ponyandano, cacat sangat bervareasi/berbeda akan menuntut adanya adaptasi dan modifikasi yang lebih spesifik. Guru dikjas yang kreatif dan sensitif akan menyadari kapasitas dan keterbatasan. anak-anak penyandang cacat, yang kemungkinan mereka tidak dapat berpartisipasi secara penuh dalam aktivitas pendidikan Jasmani. Tanpa adanya adaptasi atau modifikasi agar tercapai kepuasan atau kesenangan dalam partisipasi dalam pendidikan Jasmani, maka tujuan pembelajaran dikjas siswa penyandang cacat tidak efektif dan efisien, sehingga kualitas pengajaran tidak optimal. Soepartono dan Isrianto, (1998:12) menyebutkan pendekatan tradisional yang selama ini digunakan dalam pembelajaran Dikjas di sekolah-sekolah sudah harus diganti dengan pendekatan baru misalnya:"pendekatan sport modification dalam pelaksanaan Dikjas (Physical Education)". KBM dalam pendekatan ini ditekankan pada menciptakan suasana agar siswa senang dan gembira (enjoy and happy) dalam mengikuti berbagai aktivitas gerak dengan dernikian tanpa disadari terjadi pengalaman dasar gerak mereka meningkat. Dengan demikian mereka mendapatkan pengalaman gerak dasar, perkembangan keterampilan gerak, pernahaman dan sikap positif siswa terhadap gerak. Selanjutnya akan terns meningkat yang nantinya kelak akan menjadi manusia dewasa yang sehat jasmani rohani, segar bugar serta berkepribadian yang rnantap (Australian Sport Cornnilsion, 1993).

Layanan Dikjas bagi siswa penyandang cacat dengan fasilitas alat dan lapangan yang standart bukanlah merupakan tuntutan yang mutlak, bahkan akan menyulitkan satu kondisi cacat dengan cacat lainya. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa dengan. pendekatan modifikasi dan individual dapat meningkatkan partisipasi mereka sehingga kualitas pembelajaran meningkat (Soepartono dan Isrianto, 1998:13; Indahwati, Darmawan, G., Suroto, Pudjijuniarto, dan Ferianto, (1998). Misalnya lapangan 40 X 40 m untuk Jalan cepat dan lari yang disiapkan oleh guru.

Hakekatnya pembelajaran pendidikan Jasmani untuk membuat rasa senang, gembira, dan sejahtera melalui gerak aktivitas Jasmani.. (Zeigler, 1977:61) Australian Sport Commission, (1993) menyebutkan bahwa tujuan pendidikan Jasmani dengan dasar keterampilan gerak, pemahaman, dan sikap yang positif terhadap pendidikan Jasmani, diharapkan kelak akan menjadi manusia dewasa yang sehat dan segar Jasmani dan rohani serta kepribadian yang mantap (Soepartono dan Isrianto, 1998:12, Bucher, 1995:72)

Pelaksanaan pendidikan jasmani yang dilaksanakan saat ini berpedoman pada Lesson Plan, yaitu pada setiap pokok bahasan dikembangkan dengan tahapan-tahapan. Tahapan tersebut di antaranya:

a)tahap pendahuluan dan pemanasan,

b) tahap pengembangan keterampilan,

c) tahap keterampilan puncak, dan

d) tahap terahkir pendinginan dan penutup.

Jika diperhatikan dalam proses pembelajaran Dikjas, keterlibatan siswa penyandang cacat yang mengikuti kegiatan maka tampaklah sasaran yang akan dicapai adalah skill development dan affective development atau dua pengembangan yakni ranah keterampilan dan ranah afektif. Dalam program tersebut siswa diajak agar mereka dapat mengerti tujuan peinbelajaran Dikjas, siswa menginterpretasi dan menjelaskan partisipasinya dalam mengikuti kegiatan Dikjas. Hasil dari pemahaman; rasa senang, pengertian, serta keinginan (special need) untuk diterapkan dalam kegiatan gerak dan belajar melalui gerak merupakan kriteria keberhasilan tuivan pembelajaran Dikjas di SLB.





Program Pengajaran Individual dalam dikjas adaptif Tunanetra (Individualized Education Programs)

Program Pengajaran Individual adalah program pembelajaran yang dikhususkan dan diberikan secara individual. Hal ini disebabkan bahwa hakekatnya tidak ada seorangpun yang berkemampuan sama. Terlebih pada siswa panvandang cacat. Siswa penyandang cacat tersebut kemampuannya bervariasi, ad.a yang kemampuannya di atas normal, ada yang normal, dan ada yang di bawah normal. Untuk pengajaran yang dikembangkan akhir-akhir ini mengacu kepada pengajaran individual disebutkan dengan Individualized Physical Education for Special Children and Youth: "In¬dividualized instruction has been defined as an instructional strategy that adapts the teaching-learning process for each student. It is designed to provide the best instructional match to individual needs, interests, and characteristics" (Annarino, Cowell, and Hazelton, 1980: 319, Short, 1995:33-35). Siswa penyandang cacat netra di SLB/A pada kelas IV dan V kemampuan jasmani maupun intelektualnya bervareasi. Untuk itu diperlukan pendekatan individual dalam pendidikan jasmani.

Dalam perencanaan PPI terdapat langkah-langkah persiapan, di antaranya:

1. membentuk tim penilai program pengajaran individual (TP3I)

2. mengadakan assesmen kemampuan dan kelemahan siswa.

3. merancang tujuan jangka pendek dan jangka panjang,

4. menentukan metede-prosedur KBM

5. menentukan metode evaluasi.

Beberapa langkah yang ditempuh dalarn pembelajaran individual (Bucher, 1995) mengemukakan sebagai berikut:

Pertama dilakukan assesmen terhadap siswa dengan informasi tim:

a. Hasil tes formal

b. Evaluasi dan observasi informal guru

c. Hasil survey minat dan kebutuhan pendidikan jasmani siswa

d. Hasil evaluasi pernyataan orang tua

e. Informasi para ahli lainnya

Kedua dalam kegiatannya PPI trdapat 6 pernyatan.

Kemampuan siswa saat ini.

a. Tujuan umum dan tujuan kusus

b. Layanan khusus

c. Proyeksi (kapan dan berapa lama durasinya)

d. Memperluas layanan ALB agar ia dapat berpartisipasi dalam program regular

e. Prosedur evaluasi (Murtadlo. 1998: 56, Annarino, Cowell, and Hazelton, 1980: 321)



Daftar Pustaka

Hallahan, D.p. & Kauffman, J.m. (1991). Exceptional Children Introduction to Special Education. Virginia:Prentice hall International, Inc.
Jernigan, K. (1994). If Blindness Comes. Baltimore: National Federation of the Blind.
Jindal Snape, D.; Kato, M.; Maekawa, H. (1998). "Using Self Evaluation Procedures to Maintain Social Skills in a Child Who Is Blind". Journal of Visual Impairment and Blindness, May 1998, 362 366.
Kingsley, M. (1999). “The Effects of a Visual Loss”, dalam Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers
Krech, D.; Crutchfield, R. S.; & Ballachey, E. L. (1982). Individual in Society. Berkeley: McGraw-Hill International Book Company.
McGaha, C. G. & Farran, D. C. (2001). “Interactions in any Inclusive Classroom: The Effects of Visual Status and Setting”. Journal of Visual Impairments and Blindness. February 2001, 80-94.

Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers
Marzano, R. J. (1998). A Theory Based Meta Analysis of Research on Instruction. Aurora, Colorado: Mid continent Regional Educational Laboratory.

McGaha, C. G. & Farran, D. C. (2001). “Interactions in any Inclusive Classroom: The Effects of Visual Status and Setting”. Journal of Visual Impairments and Blindness. February 2001, 80-94.
Pertuni (2004). Anggaran Rumah Tangga Persatuan Tunanetra Indonesia, Pasal 1 Ayat 1.

KONSEP DASAR PENDIDIKAN JASMANI

KONSEP DASAR PENDIDIKAN JASMANI

A. HAKEKAT PENDIDIKAN JASMANI
Upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia terus menerus dilakukan. Upaya itu mengejewantah dalam berbagai kegiatan dan program, dari mulai upaya meningkatkan mutu guru yang menjadi ujung tombak di sekolah-sekolah dalam proses pembelajaran, hingga perubahan kurikulum seperti yang saat ini sedang dilakukan pemerintah melalui perubahan Kurikulum Nasional Tahun 2004 kepada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Perubahan Kurikulum memang bukan satu-satunya solusi dalam menangani permasalahan mutu, tetapi hanya salah satu faktor yang mendorong perubahan yang sifatnya mendasar, termasuk mendorong perubahan paradigma yang membelenggu semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan, termasuk guru. Bahkan, dalam kondisi saat ini, perubahan kurikulum saja diasumsikan tidak akan membantu banyak dalam upaya perubahan mutu tersebut, karena guru sendiri belum melihat kurikulum dari perspektif yang benar. Mereka masih melihat kurikulum sebagai “buku resep masakan” yang sudah jadi, tinggal mengumpulkan bahan yang disebutkan dalam Silabus dan melakukannya persis seperti yang diminta, seperti sudah dipraktekkan selama ini.
Ketika kurikulum yang saat ini hendak diberlakukan (KTSP) bersifat berbeda dalam kemudahannya untuk digunakan sebagai resep, karena mereka harus menentukan resep masakannya sendiri dalam bentuk Silabi, maka kebingungan dan salah kaprahpun merebak, di samping nama kurikulum berbasis kompetensi pun memang masih sangat kurang familiar di telinga para guru. Bahkan para ahli pun hingga sekarang belum secara kompak sepakat kata dalam menentukan “kompetensi” dari setiap mata pelajaran.
Ambil contoh dalam matapelajaran pendidikan jasmani, yang hingga saat ini masing-masing penetapan butir kompetensinya masih simpang siur, sesuai selera dan kepekaan masing-masing, terutama karena berangkat dari kaca mata sendiri-sendiri. Pada tahap awal, perbedaan pandangan tersebut harus diminimalisir dengan adanya sebuah pedoman dalam penyusunan silabus, bahkan jika mungkin sampai pada petunjuk pelaksanaan pembelajaran dan sistem evaluasinya.
Hal ini dipandang penting agar guru mampu keluar dari belenggu pemikiran gaya lama, dan pada saatnya mereka akan memiliki kemampuan untuk menyusun silabusnya sendiri serta secara tepat merumuskan materi ajar dan pengalaman pembelajaran bagi siswanya.
Materi ini adalah Pedoman Penyusunan Pembelajaran untuk Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani di SMA/MA, yang disusun dengan maksud untuk memandu pemahaman guru dalam menerjemahkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan versi Penulis Buku Penjasorkes SMA/MA PT. Erlangga yang disusun bersamaan dengan keluarnya buku panduan ini.
Kompetensi untuk Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan versi Penulis PT. Erlangga tersebut disusun secara proaktif menanggapi belum menyebarnya informasi tentang pembelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan yang disusun oleh Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas dan BNSP.
Istilah “Pendidikan” merupakan kata yang tidak asing lagi untuk hampir setiap orang. Namun demikian, istilah ini lebih sering diartikan secara berbeda dari masa ke masa, termasuk oleh ahli yang berbeda pula. Seseorang mungkin menerjemahkan pendidikan sebagai sebuah proses latihan. Orang lain mungkin menerjemahkannya sebagai sejumlah pengalaman yang memungkinkan seseorang mendapatkan pemahaman dan pengetahuan baru yang lebih baik. Atau mungkin pula diterjemahkan secara sederhana sebagai pertumbuhan dan perkembangan.
John Dewey, seorang pendidik yang mempunyai andil besar dalam dunia pendidikan, mendefinisikan pendidikan sebagai “rekonstruksi aneka pengalaman dan peristiwa yang dialami dalam kehidupan individu sehingga segala sesuatu yang baru menjadi lebih terarah dan bermakna. Definisi ini mengandung arti bahwa seseorang berpikir dan memberi makna pada pengalaman-pengalaman yang dilaluinya.
Lebih jauh definisi tersebut mengandung arti bahwa pendidikan seseorang terdiri dari segala sesuatu yang ia lakukan dari mulai lahir sampai ia mati. Kata kuncinya adalah melakukan atau mengerjakan. Seseorang belajar dengan cara melakukan. Pendidikan dapat terjadi di perpustakaan, kelas, tempat bermain, lapangan olahraga, di perjalanan, atau di rumah.
Morse (1964) membedakan pengertian pendidikan ke dalam istilah pendidikan liberal (liberal education) dan pendidikan umum (general education). Ia mengatakan bahwa pendidikan liberal lebih berorientasi pada bidang studi dan menekankan penguasaan materinya (subject centered). Tujuan utamanya adalah penguasaan materi pembelajaran secara mendalam dan bahkan jika mungkin sampai tuntas. Pemikiran pendidikan seperti ini sudah tidak bisa lagi diterapkan dalam konteks pendidikan jasmani sekarang ini, dan oleh karena itu, pengertian pendidikan seperti ini dipandang bersifat tradisional.
Sementara itu, pendidikan modern lebih bersifat memperhatikan pelakunya dari pada bidang studi atau materinya. Tujuan utamanya adalah mencapai perkembangan individu secara menyeluruh sambil tetap memperhatikan perkembangan perilaku intelektual dan sosial individu sebagai produk dari belajarnya (child centered).
Pendidikan pada jaman sekarang lebih banyak menekankan pada pengembangan individu secara total. Kebanyakan sekolah sekarang ini menganut filsafat modern. Setiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Pembelajaran secara individual pada dasarnya merupakan pembelajaran untuk semua siswa, termasuk program untuk siswa yang mempunyai kelambanan dalam perkembangannya, mengalami gangguan emosional, dan siswa yang memiliki cacat fisik atau mental. Setiap siswa diberi kebebasan untuk memilih materi pembelajaran yang diinginkannya dan memperoleh pelatihan dari bidang kejuruan yang berbeda-beda.
Dengan kata lain pendidikan pada jaman sekarang ini lebih menekankan pada pengembangan individu secara utuh. Pengajar tidak hanya memperhatikan perolehan akademisnya akan tetapi juga kemampuan bicara, koordinasi, dan keterampilan sosialnya. Para guru mencoba membantu setiap individu untuk belajar memecahkan masalah-masalah baik emosional maupun fisikal yang dihadapi oleh setiap siswa.
Para guru mungkin sering menemukan atau mendengar pengertian Pendidikan Jasmani dari berbagai sumber. Beberapa pengertian Pendidikan Jasmani yang diperoleh tersebut disusun dalam redaksi yang beragam. Apabila kita cermati lebih jauh, maka keragaman tersebut pada umumnya sama seperti pandangan terhadap pendidikan di atas.
1. Pandangan Tradisional
Pandangan pertama, atau juga sering disebut pandangan tradisional, menganggap bahwa manusia itu terdiri dari dua komponen utama yang dapat dipilah-pilah, yaitu jasmani dan rohani (dikhotomi). Pandangan ini menganggap bahwa Pendidikan Jasmani hanya semata-mata mendidik jasmani atau sebagai pelengkap, penyeimbang, atau penyelaras pendidikan rohani manusia. Dengan kata lain Pendidikan Jasmani hanya sebagai pelengkap saja.
Di Amerika Serikat, pandangan dikotomi ini muncul pada akhir abad 19 atau antara tahun 1885 - 1900. Pada saat itu, Pendidikan Jasmani di pengaruhi oleh system Eropa, seperti: Sistem Jerman dan Sistem Swedia, yang lebih menekankan pada perkembangan aspek fisik (fitnes), kehalusan gerak, dan karakter siswa, dengan gimnastik sebagai medianya.
Pada saat itu, Pendidikan Jasmani lebih berperan sebagai “medicine” (obat) daripada sebagai pendidikan. Oleh karena itu, para pengajar Pendidikan Jasmani lebih banyak dibekali latar belakang akademis kedokteran dasar (medicine). Pandangan Pendidikan Jasmani berdasarkan pandangan dikhotomi manusia ini secara empirik menimbulkan salah kaprah dalam merumuskan tujuan, program pelaksanaan, dan penilaian pendidikan. Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan Pendidikan Jasmani ini cenderung mengarah kepada upaya memperkuat badan, memperhebat keterampilan fisik, atau kemampuan jasmaniahnya saja. Selain dari itu, sering juga pelaksanaan Pendidikan Jasmani ini justru mengabaikan kepentingan jasmani itu sendiri, hingga akhirnya mendorong timbulnya pandangan modern.


2. Pandangan Modern
Pandangan modern, atau sering juga disebut pandangan holistik, menganggap bahwa manusia bukan sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian yang terpilah-pilah. Manusia adalah kesatuan dari berbagai bagian yang terpadu. Oleh karena itu Pendidikan Jasmani tidak hanya berorientasi pada jasmani saja atau hanya untuk kepentingan satu komponen saja.
Di Amerika Serikat, pandangan holistik ini awalnya dipelopori oleh Wood dan selanjutnya oleh Hetherington pada tahun 1910. Pada saat itu Pendidikan Jasmani dipengaruhi oleh “progressive education”. Doktrine utama dari progressive education ini menyatakan bahwa semua pendidikan harus memberi kontribusiterhadap perkembangan anak secara menyeluruh, dan pendidikan jasmani mempunyai peranan yang sangat penting terhadap perkembangan tersebut. Pada periode ini Pendidikan Jasmani diartikan sebagai pendidikan melalui aktivitas jasmani (education through physical).
Pandangan holistik ini, pada awalnya kurang banyak memasukkan aktivitas sport karena pengaruh pandangan sebelumnya, yaitu pada akhir abad 19, yang menganggap sport tidak sesuai di sekolah-sekolah. Namun tidak bisa dipungkiri sport terus tumbuh dan berkembang menjadi aktivitas fisik yang merupakan bagian integral dari kehidupan manusia.
Sport menjadi populer, siswa menyenanginya, dan ingin mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi di sekolah-sekolah hingga para pendidik seolah-olah ditekan untuk menerima sport dalam kurikulum di sekolah-sekolah karena mengandung nilai-nilai pendidikan. Hingga akhirnya Pendidikan Jasmani juga berubah, yang tadinya lebih menekankan pada gimnastik dan fitness menjadi lebih merata pada seluruh aktivitas fisik termasuk olahraga, bermain, rekreasi atau aktifitas lain dalam lingkup aktivitas fisik.

3. Pandangan Indonesia
Di Indonesia, salah satu contoh definisi Pendidikan Jasmani yang didasarkan pada pandangan holistik ini dikemukakan oleh Jawatan Pendidikan Jasmani (sekarang sudah dibubarkan) yang dirumuskan tahun 1960, sebagai berikut, Pendidikan Jasmani adalah pendidikan yang mengaktualisasikan potensi-potensi aktivitas manusia berupa sikap, tindak , dan karya yang diberi bentuk, isi, dan arah menuju kebulatan pribadi sesuai dengan cita-cita kemanusiaan.
Definisi yang relatif sama, juga dikemukakan oleh Pangrazi dan Dauer (1992) sebagai berikut, Pendidikan Jasmani merupakan bagian dari program pendidikan umum yang memberi kontribusi, terutama melalui pengalaman gerak, terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh. Pendidikan Jasmani didefinisikan sebagai pendidikan gerak dan pendidikan melalui gerak, dan harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan definisi tersebut.

Definisi Pendidikan Jasmani dari pandangan holistik ini cukup banyak mendapat dukungan dari para ahli Pendidikan Jasmani lainnya. Misalnya, Siedentop (1990), mengemukakan, Pendidikan Jasmani modern yang lebih menekankan pada pendidikan melalui aktivitas jasmani didasarkan pada anggapan bahwa jiwa dan raga merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Pandangan ini memandang kehidupan sebagai totalitas.
Wall dan Murray (1994), mengemukakan hal serupa dari sudut pandang yang lebih spesifik, masa anak-anak adalah masa yang sangat kompleks, dimana pikiran, perasaan, dan tindakannya selalu berubah-ubah. Oleh karena sifat anak-anak yang selalu dinamis pada saat mereka tumbuh dan berkembang, maka perubahan satu element sering kali mempengaruhi perubahan pada eleman lainnya. Oleh karena itulah, adalah anak secara keseluruhan yang harus kita didik, tidak hanya mendidik jasmani atau tubuhnya saja.
Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa Pendidikan Jasmani pada dasarnya merupakan pendidikan melalui aktivitas jasmani untuk mencapai perkembangan individu secara menyeluruh. Namun demikian, perolehan keterampilan dan perkembangan lain yang bersifat jasmaniah itu juga sekaligus sebagai tujuan.
Melalui Pendidikan Jasmani, siswa disosialisasikan ke dalam aktivitas jasmani termasuk keterampilan berolahraga. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila banyak yang meyakini dan mengatakan bahwa Pendidikan Jasmani merupakan bagian dari pendidikan menyeluruh, dan sekaligus memiliki potensi yang strategis untuk mendidik.


B. RASIONAL
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan sebagai suatu proses pembinaan manusia yang berlangsung seumur hidup, pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan yang diajarkan di sekolah memiliki peranan sangat penting, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat langsung dalam berbagai pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan yang terpilih yang dilakukan secara sistematis. Pembekalan pengalaman belajar itu diarahkan untuk membina pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik, sekaligus membentuk pola hidup sehat dan bugar sepanjang hayat.
Pendidikan memiliki sasaran pedagogis, oleh karena itu pendidikan kurang lengkap tanpa adanya pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, karena gerak sebagai aktivitas jasmani adalah dasar bagi manusia untuk mengenal dunia dan dirinya sendiri yang secara alami berkembang searah dengan perkembangan zaman.
Selama ini telah terjadi kecenderungan dalam memberikan makna mutu pendidikan yang hanya dikaitkan dengan aspek kemampuan kognitif. Pandangan ini telah membawa akibat terabaikannya aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, seni, psikomotor, serta life skill. Dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan akan memberikan peluang untuk menyempurnakan kurikulum yang komprehensif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan merupakan media untuk mendorong pertumbuhan fisik, perkembangan psikis, keterampilan motorik, pengetahuan dan penalaran, penghayatan nilai-nilai (sikap-mental-emosional-sportivitas-spiritual-sosial), serta pembiasaan pola hidup sehat yang bermuara untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan kualitas fisik dan psikis yang seimbang.

C. TUJUAN DAN FUNGSI PENDIDIKAN JASMANI
1. Tujuan Pendidikan Jasmani
Mata pelajaran Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
a. Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan olahraga yang terpilih
b. Meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik.
c. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan gerak dasar
d. Meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan
e. Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis
f. Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan
g. Memahami konsep aktivitas jasmani dan olahraga di lingkungan yang bersih sebagai informasi untuk mencapai pertumbuhan fisik yang sempurna, pola hidup sehat dan kebugaran, terampil, serta memiliki sikap yang positif.
2. Ruang Lingkup Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan di SMA/MA
Ruang lingkup mata pelajaran Pendiidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
a. Permainan dan olahraga meliputi: olahraga tradisional, permainan. eksplorasi gerak, keterampilan lokomotor non-lokomotor,dan manipulatif, atletik, kasti, rounders, kippers, sepak bola, bola basket, bola voli, tenis meja, tenis lapangan, bulu tangkis, dan beladiri, serta aktivitas lainnya.
b. Aktivitas pengembangan meliputi: mekanika sikap tubuh, komponen kebugaran jasmani, dan bentuk postur tubuh serta aktivitas lainnya.
c. Aktivitas senam meliputi: ketangkasan sederhana, ketangkasan tanpa alat, ketangkasan dengan alat, dan senam lantai, serta aktivitas lainnya.
d. Aktivitas ritmik meliputi: gerak bebas, senam pagi, SKJ, dan senam aerobic serta aktivitas lainnya.
e. Aktivitas air meliputi: permainan di air, keselamatan air, keterampilan bergerak di air, dan renang serta aktivitas lainnya.
f. Pendidikan luar kelas, meliputi: piknik/karyawisata, pengenalan lingkungan, berkemah, menjelajah, dan mendaki gunung.
g. Kesehatan, meliputi penanaman budaya hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari, khususnya yang terkait dengan perawatan tubuh agar tetap sehat, merawat lingkungan yang sehat, memilih makanan dan minuman yang sehat, mencegah dan merawat cidera, mengatur waktu istirahat yang tepat dan berperan aktif dalam kegiatan P3K dan UKS. Aspek kesehatan merupakan aspek tersendiri, dan secara implisit masuk ke dalam semua aspek.

3. Fungsi Pendidikan Jasmani
a. Aspek Organik
1) Menjadikan fungsi sistem tubuh menjadi lebih baik sehingga individu dapat memenuhi tuntutan lingkungannya secara memadai serta memiliki landasan untuk pengembangan keterampilan.
2) Meningkatkan kekuatan otot, yaitu jumlah tenaga maksimum yang dikeluarkan oleh otot atau kelompok otot.
3) Meningkatkan daya tahan otot, yaitu kemampuan otot atau kelompok otot untuk menekan kerja dalam waktu yang lama.
4) Meningkatkan daya tahan kardiovaskuler, kapasitas individu untuk melakukan aktivitas yang berat secara terus menerus dalam waktu yang relatif lama.
5) Meningkatkan fleksibilitas, yaitu: rentang gerak dalam persendian yang diperlukan untuk menghasilkan gerakan yang efisien dan mengurangi cidera.

b. Aspek Neuromuskuler
1) Meningkatkan keharmonisan antara fungsi saraf dan otot.
2) Mengembangkan gerak dasar lokomotor, seperti: berjalan, berlari, melompat, meloncat, meluncur, melangkah, mendorong, menderap/mencongklang, berguling, menarik.
3) Mengembangkan gerak dasar non-lokomotor, seperti: mengayun, melengok, meliuk, bergoyang, meregang, menekuk, menggantung, membongkok.
4) Mengembangkan gerak dasar manipulatif, seperti: memukul, menendang, menangkap, menghentikan, melempar, mengubah arah, memantulkan, menggulirkan, memvoli.
5) Mengembangkan komponen fisik, seperti: kekuatan, daya tahan, kelentukan, kecepatan, keseimbangan, ketepatan, power.
6) Mengembangkan kemampuan kinestetik seperti: rasa gerak, irama, waktu reaksi dan koordinasi.
7) Mengembangkan potensi diri melalui aktivitas jasmani dan olahraga, seperti: sepakbola, softball, bolavoli, bolabasket, bolatangan, baseball, atletik, tennis, tennis meja, beladiri dan lain sebagainya.
8) Mengembangkan aktivitas jasmani di alam bebas melalui berbagai kegiatan, seperti: menjelajah, mendaki, berkemah, dan lainnya.
c. Aspek Perseptual
1) Mengembangkan kemampuan menerima dan membedakan isyarat.
2) Mengembangkan hubungan-hubungan yang berkaitan dengan tempat atau ruang, yaitu kemampuan mengenali objek yang berada di depan, belakang, bawah, sebelah kanan, atau di sebelah kiri dari dirinya.
3) Mengembangkan koordinasi gerak visual, yaitu: kemampuan mengkoordinasikan pandangan dengan keterampilan gerak yang melibatkan tangan, tubuh, dan atau kaki.
4) Mengembangkan keseimbangan tubuh (statis dan dinamis), yaitu: kemampuan mempertahankan keseimbangan statis dan dinamis.
5) Mengembangkan dominasi (dominancy), yaitu: konsistensi dalam menggunakan tangan atau kaki kanan/kiri dalam melempar atau menendang.
6) Mengembangkan lateralitas (laterility), yaitu: kemampuan membedakan antara sisi kanan atau kiri tubuh dan diantara bagian dalam kanan atau kiri tubuhnya sendiri.

d. Aspek Kognitif
1) Mengembangkan kemampuan menemukan sesuatu, memahami, memperoleh pengetahuan dan mengambil keputusan.
2) Meningkatkan pengetahuan tentang peraturan permainan, keselamatan, dan etika.
3) Mengembangkan kemampuan penggunaan taktik dan strategi dalam aktivitas yang terorganisasi.
4) Meningkatkan pemahaman bagaimana fungsi tubuh dan hubungannya dengan aktivitas jasmani.
5) Menghargai kinerja tubuh, penggunaan pertimbangan yang berhubungan dengan jarak, waktu, tempat, bentuk, kecepatan, dan arah yang digunakan dalam mengimplementasikan aktivitas dan dirinya.

e. Aspek Sosial
1) Menyesuaikan diri dengan orang lain dan lingkungan dimana berada.
2) Mengembangkan kemampuan membuat pertimbangan dan keputusan dalam kelompok.
3) Belajar berkomunikasi dengan orang lain.
4) Mengembangkan kemampuan bertukar pikiran dan mengevaluasi ide dalam kelompok.
5) Mengembangkan kepribadian, sikap, dan nilai agar dapat berfungsi sebagai anggota masyarakat.
6) Mengembangkan rasa memiliki dan tanggungjawab di masyarakat.
7) Menggunakan waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat.

f. Aspek Emosional
1) Mengembangkan respon positif terhadap aktivitas jasmani.
2) Mengembangkan reaksi yang positif sebagai penonton.
3) Melepas ketegangan melalui aktivitas fisik yang tepat.
4) Memberikan saluran untuk mengekpresikan diri dan kreativitas.

g. Aspek Rehabilitasi
1) Terapi dan koreksi terhadap kelainan sikap tubuh.
2) Rehabilitasi terhadap cacat fisik dan penyakit fisik yang bersifat sementara.
3) Mengkoordinasikan berbagai hambatan melalui aktivitas jasmani.


D. MATERI PENDIDIKAN JASMANI
Struktur materi Pendidikan Jasmani dikembangkan dengan menggunakan model kurikulum kebugaran jasmani dan pendidikan olahraga (Jewtt, Ennis, & Bain, 1995). Asumsi yang digunakan kedua model ini adalah untukl menciptakan gaya hidup sehat dan aktif, dengan demikian manusia perlu memahami hakikat kebugaran jasmani dengan menggunakan konsep latihan yang benar.
Olahraga merupakan bentuk lanjut dari bermain dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan keseharian manusia. Untuk dapat berolahraga secara benar, manusia perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Pendidikan Jasmani diyakini dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk : (1) Berpartisipasi secara teratur dalam kegiatan olahraga, (2) pemahaman dan penerapan konsep yang benar tentang aktivitas-aktivitas tersebut agar dapat melakukannya dengan aman, (3) pemahaman dan penerapan nilai-nilai yang terkandung dalam aktivitas-aktivitas tersebut agar terbentuk sikap dan perilaku sportif dan positif, emosi stabil, dan gaya hidup sehat.
Struktur materi Pendidikan Jasmani dari TK sampai SMA dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Materi untuk TK sampai SD/MI kelas 3 SD meliputi kesadaran akan tubuh dan gerakan, kecakapan gerak dasar, gerakan ritmik, permainan, akuatik (olahraga di air/bila memungkinkan), senam, kebugaran jasmani dan pembentukan sikap dan perilaku.
2. Materi pembelajaran untuk SD/MI kelas 4 sampai 6 adalah aktivitas pembentukan tubuh, permainan dan modifikasi olahraga, kecakapan hidup di alam bebas, dan kecakapan hidup personal (kebugaran jasmani serta pembentukan sikap dan perilaku).
3. Materi pembelajaran untuk kelas 7 dan 8 SMP meliputi: teknik/keterampilan dasar permainan dan olahraga, senam, aktivitas ritmik, akuatik, kecakapan hidup di alam terbuka, dan kecakapan hidup personal (kebugaran jasmani serta pembentukan sikap dan perilaku).
Materi pembelajaran kelas 9 SMP sampai kelas 12 SMA/MA adalah teknik permainan dan olahraga, uji diri/senam, aktivitas ritmik, akuatik, kecakapan hidup di alam terbuka dan kecakapan hidup personal (kebugaran jasmani serta pembentukan sikap dan perilaku).

E. STRATEGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI
Gabbard, LeBlanc dan Lovy (1994) menyatakan bahwa strategi pembelajaran merujuk pada suatu proses mengatur lingkungan belajar. Setiap strategi merupakan gabungan beberapa variable. Variabel yang penting dalam strategi pembelajaran adalah metode penyampaian bahan ajar, pola organisasi yang digunakan guru untuk menyampaikan materi, dan bentuk komunikasi yang dipergunakan. Secara rinci strategi pembelajaran seperti yang dikemukakan di atas dapat diuraikan satu-persatu sebagai berikut.
1. Metode Pembelajaran (Teaching Method)
Menurut Griffin, Mitcheil, dan Oslin (1997); Joyce, Well dan Showers (1992); Magill (1993); Mosston dan Ashworth (1994); Singer dan Dick (1980); metode pembelajaran yang sering digunakan dalam pengajaran aktivitas jasmani sebanyak tujuh katagori. Ketujuh kategori metode tersebut dirinci sebagai berikut.
a. Pendekatan pengetahuan-keterampilan (knowledge-skill approach) yang memiliki dua metode, yaitu metode ceramah (lecture) dan latihan (drill).
b. Pendekatan sosialisasi (socialization approach) yang berdasarkan pandangan bahwa proses pendidikan harus diarahkan untuk selain meningkatkan keterampilan pribadi dan berkarya, juga keterampilan berinteraksi sosial dan hubungan manusiawi. Pendekatan ini memiliki kelompok metode the social family, the information processing family, the personal family, the havioral system family, dan the professional skills.
c. Pendekatan personalisasi yang berlandaskan atas pemikiran bahwa aktivitas jasmani dapat dipergunakan sebagai media untuk mengembangkan kualitas pribadi, metodenya adalah movement education (problem solving techniques).
d. Pendekatan belajar (learning approach) yang berupaya untuk mempengaruhi kompetensi dan proses belajar anak dengan metode terprogram (programmed instruction), computer assisted instruction (CAI), dan metode kreativitas dan pemecahan masalah (creativity and problem solving).
e. Pendekatan motor learning yang mengajarkan aktivitas jasmani berdasarkan klasifikasi keterampilan dan teori proses informasi yang diterima. Metode yang dikembangkan berdasarkan pendekatan ini adalah part-whole methods, dan modelling (demonstration).
f. Spektrum gaya mengajar yang dikembangkan oleh Muska Mosston. Spektrum dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa pembelajaran merupakan interaksi antara guru-siswa dan pelaksanaan pembagian tanggungjawab. Metode yang ada dalam spectrum berjumlah sebelas, yaitu: (1) komando/command, (2) latihan/practice, (3) resiprokal/reciprocal, (4) uji mandiri/self check, (5) inklusi/inclusion, (6) penemuan terbimbing/guded discovery, (7) penemuan tunggal/convergen discovery, (8) penemuan beragam/divergent production, (9) program individu/individual program, (10) inisiasi siswa/learner initiated, dan (11) pengajaran mandiri/self teaching.
g. Pendekatan taktis permainan (tactical games approaches). Pendekatan yang dikembangkan oleh Universitas Lougborough untuk mengajarkan permainan agar anak memahami manfaat teknik permainan tertentu dengan cara mengenal situasi permainan tertentu terlebih dahulu kepada anak.

2. Pola Organisasi (Organizational Pattern)
Menurut Gabbard, LeBlanc dan Lovy (1994) pola organisasi digunakan untuk mengelompokkan siswa aktivitas jasmani agar metode yang diinginkan dapat dipergunakan. Pola dasar organisasi adalah kelas (classical), kelompok (group) dua atau lebih, dan individu (individual).
Pengajaran kelas menempatkan siswa dalam kelompok besar dan mereka mendapatkan informasi secara klasikal. Guru menyampaikan materi kepada seluruh peserta pada suatu waktu tertentu. Siswa bekerja sebagai satu kesatuan, biasanya dalam bentuk kelompok, untuk menanggapi materi yang disampaikan.
Pengajaran kelompok atau perorangan membagi kelas menjadi beberapa unit (kelompok atau individu) sehingga beberapa kegiatan dapat dikerjakan pada satu satuan waktu tertentu. Penggunaan stasion atau pusat-pusat belajar (learning centers) merupakan bentuk yang populer dan bermanfaat untuk mengakomodasi pola ini. Selain itu, ada beberapa bentuk formasi yang dapat digunakan, yaitu: berjajar, melingkar, setengah lingkaran, dan bergerombol.

3. Bentuk Komunikasi (Communication Mede)
Menurut Gabbard, LeBlanc dan Lovy (1994) bentuk komunikasi adalah bentuk interaksi yang dipilih guru untuk menyampaikan pesan. Pada umumnya, bentuk komunikasi adalah verbal, written, visual, auditory, dan gabungannya. Komunikasi verbal adalah komunikasi lisan melalui kontak pribadi, biasanya antara guru dan siswa dan bentuk ini sering dipergunakan. Komunikasi auditori dipresentasikan dengan menggunakan hasil rekaman atau pita kaset yang menyampaikan gaya presentasi yang dipilih.
Bentuk komunikasi tertulis (written) dan visual merupakan jenis komunikasi yang efektif dan memberikan motivasi yang tinggi dalam proses pembelajaran. Kertas tugas, kartu tugas, poster dapat digunakan secara efektif dalam organisasi kelompok atau individu.
F. MANAJEMEN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI
Guru perlu membedakan antara kegiatan pengajaran dan manajemen kelas. Kegiatan pengajaran meliputi: (1) mendiagnosa kebutuhan kelas, (2) merencanakan dan mempresentasikan informasi, (3) membuat pertanyaan, (4) mengevaluasi kemajuan. Kegiatan manajemen kelas terdiri dari (1) menciptakan dan memelihara kondisi kelas, (2) memberi pujian terhadap perilaku yang baik, dan (3) mengembangkan hubungan guru dengan siswa.
Keterampilan manajemen kelas merupakan hal yang penting dalam pengajaran yang baik. Praktik menajemen kelas yang baik yang dilaksanakan oleh guru akan menghasilkan perkembangan keterampilan-keterampilan manajemen diri siswa yang baik pula. Ketika siswa telaha belajar untuk mengatur diri lebih baik, guru akan lebih mudah berkonsentrasi untuk meningkatkan efektifitas pembelajaran.
Teknik manajemen kelas harus diupayakan agar tidak mengganggu aspek pembelajaran dalam pelajaran. Bila direncanakan dengan baik, pembelajaran akan bergerak dengan cepat dan lancer dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya. Manajemen kelas yang efektif akan dapat terwujud dengan melaksanakan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Menetapkan aturan kelas
Salah satu bagian penting dalam manajemen kelas adalah penetapan aturan kelas. Siswa adalah insane yang memiliki kebiasaan. Aturan kelas mencakup bagaimana pelajaran dimulai, apa tanda yang dipakai untuk mengumpulkan perhatian siswa, apa yang diharapkan saat siswa mendengarkan dan mengikuti perintah, bekerjasama, saat menggunakan ruangan untuk kegiatan tertentu, dan penggunaan yang lainnya. Aturan perilaku tetap ini harus diketahui oleh siswa pada awal pertemuan.
2. Memulai kegiatan tepat waktu
Pemberian suatu tanda mulai segera dilakukan bila kegiatan sudah siap untuk dilaksanakan. Banyak waktu akan terbuang bila aturan ini tidak ditetapkan. Aba-aba untuk melaksanakan kegiatan jangan sampai membingungkan siswa. Contohnya, jan gan memberikan perintah dengan tanda-tanda yang mirip untuk dua kegiatan yang berbeda.
3. Mengatur pelajaran
Guru harus tetap menjaga kegiatan tetap berlangsung dan tidak terganggu oleh kegiatan yang tak terduga. Pergantian antartopik harus dilakukan oleh guru secara cermat dan penuh kesadaran. Guru perlu memaksimalkan kesempatan keikutsertaan setiap siswa dalam proses pembelajaran. Guru perlu memaksimalkan penggunaan peralatan dan mengorganisasikan kelompok agar siswa sebanyak mungkin bergerak aktif sepanjang pelajaran. Bila peralatan yang ada terbatas jumlahnya, gunakan pendekatan stasion/learning centers, dan modifikasi aktivitas.
4. Mengelompokkan siswa
Guru perlu mengelompokkan siswa agar pembelajaran berlangsung secara efektif. Dengan pengelompokkan yang tepat siswa memiliki peluang melakukan aktivitas lebih banyak, bermain dengan jenjang kemampuan dan keterampilan yang seimbang.
5. Memanfaatkan ruang dan peralatan
Guru perlu merencanakan penjagaan dan pemanfaatan peralatan dan ruang secara efisien. Peralatan yang akan digunakan dalam pembelajaran harus dipersiapkan dengan baik. Selain hal di atas, siswa perlu dibiasakan untuk ikut bertanggungjawab terhadap peralatan yang dipergunakan dalam pembelajaran.
6. Mengakhiri pelajaran
Setiap pertemuan pelajaran di dalam maupun di luar kelas harus diakhiri tepat waktunya dan diupayakan memberikan kesan mendalam bagi siswa. Dengan kesan yang baik, setiap episode pelajaran akan menjadi lebih bermanfaat dan bermankna. Dengan demikian, siswa akan selalu mengingat kegiatan yang dilakukan, dan memperoleh pengalaman yang menyenangkan.


G. KURIKULUM PENDIDIKAN JASMANI
Peningkatan keterampilan gerak, kesegaran jasmani, pengetahuan, dan sikap positif terhadap Pendidikan Jasmani sangat ditentukan oleh sebuah kurikulum yang baik. Kurikulum itu sendiri nampaknya terlalu abstraks untuk didefinisikan secara tegas dan jelas sebab di dalam kurikulum tersebut termasuk segala sesuatu yang direncanakan dan diterapkan oleh para guru, baik secara implisit maupun eksplisit. Namun secara sederhana mungkin dapat dikatakan bahwa kurikulum pada dasarnya merupakan perencanaan dan program jangka panjang tentang berbagai pengalaman belajar, model, tujuan, materi, metode, sumber, dan evaluasi termasuk pula ‘apa’ dan ‘mengapa’ diajarkan.
Seperti halnya sistem tubuh manusia, semua bagian dari kurikulum harus terpadu dan bekerja terarah untuk membantu mengembangkan anak didiknya yang sedang belajar. Pembuat kurikulum sudah selayaknya bertanya, apakah program yang ada dalam kurikulum itu sudah valid? Apakah kurikulum tersebut sudah dapat meraih tujuan yang akan dicapainya? Contoh pertanyaan yang lebih spesifik: apakah dengan kurikulum itu siswa lulusannya sudah mempunyai berbagai keterampilan gerak dasar dan siap untuk belajar keterampilan yang lebih bersifat spesifik dan kompleks pada jenjang berikutnya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah barang tentu sangat untuk sulit dijawab dengan tegas, namun demikian pertanyaan tersebut paling tidak akan membantu para guru dalam menentukan arah program yang dibuatnya. Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat gambaran arah program Pendidikan Jasmani pada jenjang pendidikan SD/MI dikaitkan dengan beberapa karakteristik yang melandasinya, yang antara lain meliputi: asumsi dasar, pelaksanaan, dan keberhasilannya sehingga dengan demikian diharapkan kita dapat melihat berbagai isu dan alternatif pemecahannya.
Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengemukakan yang dimaksud dengan Pendidikan Jasmani adalah suatu proses pembelajaran melalui aktivitas jasmani yang didesain untuk meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan keterampilan motorik, pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan aktif, sikap sportif, dan kecerdasan emosi. Lingkungan belajar diatur secara seksama untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan seluruh ranah, jasmani, psikomotor, kognitif, dan afektif setiap siswa.

1. Asumsi Dasar Program Pendidikan Jasmani
Asumsi dasar pada dasarnya adalah pijakan yang kokoh dan dapat dipertanggungjawabkan dalam menyelenggarakan sesuatu. Asumsi dasar program Penddikan Jasmani merupakan pijakan yang kokoh yang dapat dipertanggungjawabkan dalam membuat dan menyelenggarakan program penjas. Tiga asumsi dasar program Penddikan Jasmani meliputi:
a. Program Penddikan Jasmani dan program olahraga mempunyai tujuan yang berbeda
Pembuatan program olahraga terutama ditujukan untuk mereka yang betul-betul mempunyai keinginan atau tertarik untuk mengkhususkan diri pada salah satu atau beberapa cabang olahraga dan berkeinginan untuk memperbaiki kemampuannya agar dapat berkompetisi dengan orang yang lain yang mempunyai keinginan dan minat yang sama pula.
Sebaliknya, pembuatan program Penddikan Jasmani ditujukan untuk setiap anak didik (dari mulai anak yang berbakat sampai anak yang yang sangat kurang keterampilannya; dari mulai anak yang tertarik dan tidak tertarik sama sekali). Tujuan utama pembuatan program tersebut adalah menyediakan dan memberikan berbagai pengalaman gerak untuk membentuk fondasi gerak yang kokoh yang pada akhirnya diharapkan dapat mempengaruhi gaya hidupnya yang aktif dan sehat (active life style). Olahraga mungkin akan merupakan salah satu bagian dari program Penddikan Jasmani, akan tetapi bukan satu-satunya pilihan.



b. Anak-anak bukanlah ‘miniature’ orang dewasa
Kemampuan, kebutuhan, perhatian, dan minat anak-anak berbeda dari kemampuan, kebutuhan, minat, dan perhatian orang dewasa. Oleh karena itu, sudah barang tentu kurang cocok apabila pembelajaran dikonotasikan seperti menuangkan air dari gelas yang satu ke gelas yang lainnya. Para guru tidak cukup dengan memberikan program aktivitas jasmani atau olahraga untuk orang dewasa kepada anak-anak.
Demikian juga pengalaman latihan yang diperoleh para guru sewaktu kuliah belum tentu cocok diberikan kepada anak didiknya. Anak-anak membutuhkan program yang secara khusus dibuat sesuai dengan minat, kemampuan, dan kebutuhannya (Developmentally Appropriate Practice/DAP).

c. Anak-anak yang kita ajar sekarang tidak untuk dewasa sekarang
Para pendidik mempunyai tantangan yang cukup besar dalam mempersiapkan anak didik di masa yang akan datang, yang belum bisa didefinisikan dan dimengerti secara jelas. Atau paling tidak, dalam berbagai aspek, dunia nanti mungkin akan sangat berbeda dengan dunia yang ada sekarang. Program Penddikan Jasmani yang ada sekarang berusaha memperkenalkan anak didik pada dunia yang ada sekarang dan juga sekaligus mempersiapkan anak didik untuk hidup dalam dunia yang belum pasti di masa yang akan datang. Dengan kata lain program tersebut berusaha membantu siswa belajar bagaimana belajar (learning how to learn) dan membantu siswa menyenangi proses discovery dan eksplorasi tantangan-tantangan baru dan berbeda dalam domain fisik.
Aktivitas fisik dan olahraga di masa yang akan datang mungkin sangat berbeda dengan aktivitas fisik dan olahraga yang ada dan popular pada masa sekarang. Oleh karena itu program yang ada sekarang selayaknya mempersiapkan anak didik dengan keterampilan-keterampilan gerak dasar yang sangat diperlukan untuk setiap aktivitas fisik, baik yang sedang popular pada masa sekarang maupun aktivitas fisik yang mungkin akan ditemukan di masa yang akan datang.
Penguasaan berbagai keterampilan gerak dasar oleh para siswa akan mendorong perkembangan dan perbaikan berbagai keterampilan fisik yang lebih kompeks, yang pada akhirnya akan membantu siswa memperoleh kepuasan dan kesenangan dalam melakukan aktivitas fisiknya.

2. Karakteristik Program Pendidikan Jasmani
Sehubungan dengan anggapan dasar tersebut di atas, maka program dan penyelenggaraan program Pendidikan Jasmani hendaknya mencerminkan anggapan dasar tersebut di atas. Dua pedoman yang seing digunakan untuk dapat mencerminkan anggapan dasar tersebut antara lain adalah “Developmentally Appropriate Practices” (DAP) dan “Instructionally Appropriate Practices” (IAP).
a. Developmentally Appropriate Practices (DAP)
Maksudnya adalah tugas ajar yang memperhatikan perubahan kemampuan anak dan tugas ajar yang dapat membantu mendorong perubahan tersebut. Dengan demikian tugas ajar tersebut harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik yang sedang belajar. Tugas ajar yang sesuai ini harus mampu mengakomodasi setiap perubahan dan perbedaan karakteristik setiap individu serta mendorongnya ke arah perubahan yang lebih baik.

b. Instructionally appropriate practices (IAP)
Maksudnya adalah tugas ajar yang diberikan diketahui merupakan cara-cara pembelajaran yang paling baik. Cara pembelajaran tersebut merupakan hasil penelitian atau pengalaman yang memadai yang memungkinkan semua anak didik memperoleh kesempatan dan keberhasilan belajar secara optimal. Untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang karakteristik pembelajaran penjas tersebut, berikut ini dipaparkan komponen-komponen kurikulum yang harus dilihat kesesuaiannya.

3. Keberhasilan Program Pendidikan Jasmani
Untuk mengetahui apakah program pendekatan Pendidikan Jasmani yang kita gunakan tersebut cukup berhasil atau masih perlu disempurnakan, maka diperlukan suatu evaluasi. Untuk keperluan itu banyak kriteria yang dapat digunakan. Untuk itu, khususnya di Amerika, NASPE (National Association for Sport and Physical Education, 1992) telah menentukan “Physically Educated Person” sebagai salah satu kriterianya. Kriteria ini menjabarkan keberhasilan program Pendidikan Jasmani ke dalam 20 karakteristik yang diklasifikasikan ke dalam lima katagori dan merupakan penjabaran dari pencapaian tujuan jangka pendek (short term) dan jangka panjang (long term) dari program Pendidikan Jasmani di sekolah-sekolah. Untuk lebih jelasnya karakteristik seseorang yang terdidik jasmaninya tersebut adalah sebagai berikut:
a. Memiliki keterampilan-keterampilan yang penting untuk melakukan bermacam-macam kegiatan fisik antara lain:
(1) Bergerak dengan menggunakan konsep-konsep kesadaran tubuh, kesadaran ruang, usaha, dan hubungannya.
(2) Menunjukkan kemampuan dalam aneka ragam keterampilan manipulatif, lokomotor, dan non lokomotor.
(3) Menunjukkan kemampuan mengkombinasikan keterampilan manipulatif, locomotor dan non-locomotor baik yang dilakukan secara perorangan maupun dengan orang lain.
(4) Menunjukkan kemampuan pada aneka ragam bentuk aktivitas jasmani.
(5) Menunjukkan penguasaanpada beberapa bentuk aktivitas jasmani.
(6) Memiliki kemampuan tentang bagaimana caranya mempelajari keterampilan baru.

b. Bugar secara fisik
(1) Menilai, meningkatkan, dan mempertahankan kebugaran jasmaninya.
(2) Merancang program kesegaran jasmani sesuai dengan prinsip latihan tetapi tidak membahayakan.

c. Berpartisipasi secara teratur dalam aktivitas jasmani
(1) Berpartisipasi dalam program pembinaan kesehatan melalui aktivitas jasmani minimal 3 x per minggu.
(2) Memilih dan secara teratur berpatisipasi dalam aktivitas jasmani pada kehidupan sehari-hariya.

d. Mengetahui akibat dan manfaat dari keterlibatan dalam aktivitas jasmani
(1) Mengidentifikasi manfaat, pengorbanan, dan kewajiban yang berkaitan dengan teraturnya partisipasi dalam aktivitas jasmani.
(2) Menyadari akan faktor resiko dan keselamatan yang berkaitan dengan teraturnya partispasi dalam aktivitas jasmnai.
(3) Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip pengembangan keterampilan gerak.
(4) Memahami bahwa hakekat sehat tidak sekedar fisik yang bugar.
(5) Mengetahui aturan, strategi, dan perilaku yang harus dipenuhi pada aktivitas jasmani yang dipilih.
(6) Mengetahui bahwa partisipasi dalam aktivitas jasmani dapat memperoleh dan meningkatkan pemahaman terhadap budaya majemuk dan budaya internasional.
(7) Memahami bahwa aktivitas jasmani memberi peluang untuk mendapatkan kesenangan, menyatakan diri pribadi, dan berkomunikasi.

e. Menghargai aktivitas jasmani dan kontribusinya terhadap gaya hidup yang sehat
(1) Menghargai hubungan dengan orang lain yang diperoleh dari partisipasi dalam aktivitas jasmani.
(2) Hormat terhadap peraturan yang terdapat dalam aktivitas jasmani sebagai cara untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang hayat.
(3) Menikmati perasaan bahagia yang diperoleh dari partisipasi teratur dalam aktivitas jasmani.


H. ISU KURIKULUM PENDIDIKAN JASMANI
Berdasarkan uraian di atas, secara teortis kita menyadari bahwa pembuatan dan pelaksanaan kurikulum Pendidikan Jasmani cenderung diarahkan dalam membantu anak didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan pendidikan. Namun demikian harapan tersebut tidak selalu dapat dengan mudah terwujud dalam pelaksanaannya.
Beberapa isu yang muncul dalam kurikulum Pendidikan Jasmani SMA/MA dapat kita telusuri berdasarkan beberapa sudut pandang sebagai berikut.

1. Isu Program
Isu program kurikulum SMA/MA dapat kita amati antara lain dari dua sisi, yaitu materi kurikulum dan distribusi alokasi waktunya. Walaupun tujuan Pendidikan Jasmani di SMA/MA sangat sesuai dengan tujuan pendidikan pada umumnya, namun seringkali para guru terlena oleh materi kurikulumnya. Materi kurikulum SMA/MA pada dasarnya merupakan berbagai gerak dasar, yang antara lain dapat diklasifikasikan ke dalam cabang olahraga atletik, permainan, senam, beladiri, dan olahraga tradisional. Kenyataan ini sering menggiring para guru:
a. Memaksakan diri mengajar olahraga yang untuk beberapa siswa mungkin belum saatnya karena persyaratan fisik dan koordinasinya belum memadai sehingga PBM kurang DAP.
b. Berpegang teguh bahwa penguasaan keterampilan olahraga merupakan tujuan utama dari Pendidikan Jasmani di SMA/MA.
c. Kurang memperhatikan tujuan yang bersifat afeksi seperti kesenangan dan keceriaan.
d. Kurang menyadari bahwa olahraga merupakan media untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya.
e. Kurang memperhatikan aspek gerak dasar siswa yang bermanfaat bagi keterlibatannya dalam berbagai aktivitas sehari-hari untuk mengisi waktu luang dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas fisik di sekolah maupun di masyarakat dan pembentukan gaya hidup yang sehat.

Apabila dilihat dari distribusi alokasi waktunya yang hanya satu kali dalam satu minggu dengan lama 2 x 45 menit, kemungkinan besar tujuan yang berhubungan dengan pengembangan kesegaran jasmani tidak bisa tercapai. Program aktivitas untuk pengembangan kebugaran jasmani menuntut frekuensi 3 x dalam seminggu. Sementara itu perkembangan kesegaran jasmani siswa seringkali merupakan tujuan yang paling diharapkan tercapai dalam pendidikan jasmani. Untuk itu program kesegaran jasmani yang realistik untuk situasi seperti ini perlu dipertimbangkan.

2. Isu Proses Pembelajaran
Beberapa isu yang berhubungan dengan proses belajar mengajar dan perlu mendapat perhatian para pelaksana di lapangan antara lain adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan dan variasi aktivitas belajar yang diberikan cenderung miskin dalam hal pengembangan tujuan secara holistic dan cenderung didasarkan terutama pada minat, perhatian, kesenangan, dan latar belakang gurunya. Dengan kata lain, aktivitas belajar cenderung kurang didasarkan pada karakteristik anak didiknya, misal, terdiri dari sejumlah permainan olahraga untuk orang dewasa.
b. Aktivitas Pendidikan Jasmani yang diperoleh siswa cenderung terbatas. Siswa berpartisipasi pada permainan dan aktivitas yang jumlahnya relatif terbatas. Demikian juga kesempatan dan waktu aktif belajar untuk mengembangkan konsep dasar dan keterampilan gerakpun terbatas. Hasil penelitian Lutan dkk. (1992) mengungkapkan bahwa aktif belajar siswa SMA berkisar 1/3 dari seluruh alokasi Penjas.
c. Siswa diharuskan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas penjas, namun aktivitas tersebut kurang membantu siswa memahami dampaknya bagi peningkatan kebugaran jasmani dan gaya hidup sehatnya di masa yang akan datang.
d. Peranan unik dari Pendidikan Jasmani, yaitu belajar gerak dan belajar sambil bergerak, cenderung kurang dipahami oleh para pengajar dan kurang tercermin dalam pembelajaran.
e. Siswa kurang mendapat kesempatan untuk mengintegrasikan aktivitas Pendidikan Jasmani dengan pengalaman-pengalaman pendidikan pada bidang bidang lainnya.
f. Guru kurang mengembangkan aspek afektif karena kurang melibatkan aktivitas yang dapat mengembangkan keterampilan sosial, kerjasama, dan kesenangan siswa terhadap Pendidikan Jasmani.
g. Guru cenderung masih kurang memperhatikan kesempatan pemberian bantuan kepada siswa agar mengerti emosi-emosi yang dirasakannya pada waktu melakukan aktivitas Pendidikan Jasmani.
h. Siswa disuruh untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang terlalu mudah atau terlalu sukar yang dapat menyebabkan mereka bosan, frustrasi, atau melakukannya dengan salah.
i. Jumlah siswa dalam pelajaran penjas lebih dari jumlah siswa dalam kelas yang sebenarnya, misal, mengajar empat kelas sekaligus.
j. Siswa disuruh mengikuti pelajaran lain karena alasan-alasan lain atau sebagai hukuman atas perbuatannya dalam pelajaran Pendidikan Jasmani.
k. Proporsi jumlah waktu aktif belajar sangat terbatas sebab siswa harus menunggu giliran, memilih team, terbatasnya peralatan, atau karena permainan gugur yang pada umumnya siswa yang lamban yang gugur.

3. Isu Penilaian
Evaluasi merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan (integral) dari suatu proses belajar mengajar. Evaluasi berfungsi sebagai salah satu cara untuk memantau perkembangan belajar dan mengetahui seberapa jauh tujuan pengajaran dapat dicapai oleh siswa. Beberapa isu yang seringkali muncul daam pelaksanaan evaluasi antara lain adalah sebagai berikut:
a. Pelaksanaan penilaian belum begitu nampak terintegrasi dalam sebuah proses belajar mengajar. Pengecekan terhadap pemahaman siswa dan pemberian umpan balik yang memadai dalam rangka meningkatkan penguasaan materi oleh siswa sebagai salah satu bentuk evaluasi, nampaknya belum merupakan bagian yang menyatu dalam sebuah proses belajar mengajar. Guru merasa dikejar-kejar oleh bahan yang harus tuntas pada pertemuan itu tanpa memperhatikan apakah siswa sudah saatnya menerima materi berikutnya atau belum. Untuk itu seringkali guru memberikan evaluasi harian yang sifatnya formalitas saja, asal menyampaikan tanpa dijadikan umpan balik untuk perbaikan proses berikutnya.
b. Materi evaluasi terkadang kurang kurang relevan dengan materi yang diberikan pada proses belajar mengajar. Kecenderungan untuk mengambil materi evaluasi dari bang-bang soal dari luar sekolah atau dari soal sebelumnnya tanpa terlebih dahulu direvisi atau disesuaikan dengan materi belajar yang sudah diberikan, memang merupakan cara yang cepat. Namun apabila hal itu tidak dilakukan dengan teliti, bisa jadi akan melemahkan validitas dan reliabilitas soalnya. Suatu soal yang valid pada kelompok siswa sekolah tertentu belum tentu valid untuk sekolah tempat kita mengajar. Tingkat keterampilan siswa, fokus pembelajaran, dan relevansi materi evaluasi seringkali merupakan aspek pokok validitas instrumen.
c. Situasi pelaksanaan evaluasi. Dalam situasi ujian tes tulis di kelas, hasil tes mungkin hanya diketahui oleh yang dites dan gurunya. Sementara itu, dalam tes penampilan di lapangan, hasil tes diketahui oleh semua orang. Semua siswa tahu siapa yang larinya paling lambat, siapa yang skor shootingnya paling rendah, dsb. Keadaan ini sedapat mungkin dihindari oleh para guru Penjas sehingga dapat memelihara kondisi perasaan siswa agar tetap positif.
d. Alokasi waktu pelajaran Penjas di sekolah amat terbatas untuk mengadakan pengetesan. Alokasi waktu pelajaran Penjas rata-rata satu kali perminggu, selama 2 x 45 menit dalam setiap semester (kurang lebih enam bulan) dengan pertemuan sebanyak 12 kali. Pengetesan sering menggunakan waktu yang cukup lama. Untuk melakukan satu butir tes kesegaran jasmani saja, missal tes lari 2,4 km (tes aerobik) diperlukan satu pertemuan bahkan kadang lebih.
e. Masalah lain adalah evaluasi seolah-olah hanya dapat dilakukan oleh ahli statistik, sebab statistik diperlukan untuk pengolahan data. Bila demikian guru harus bekerja ekstra keras, menyisihkan waktu dan mengeluarkan tenaga yang lebih banyak, dan konsentrasi penuh pada evaluasi. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana mengurangi masalah tersebut di atas?

4. Isu Jumlah dan Karakteristik Siswa
Guru penjas di SMA/MA sering dihadapkan dengan masalah jumlah siswa yang cukup banyak mulai dari Kelas X sampai Kelas XII, bahkan ditambah dengan siswa dari kelas paralel. Lebih rumit lagi karena yang dipelajari adalah sesuai dengan kemampuan fisik dan perkembangan mental yang berbeda-beda. Guru Penjasorkes harus menangani siswa sebanyak 400 sampai 500 perminggunya.

5. Isu Sarana dan Prasarana Pembelajaran Penjas
Kurangnya sarana dan prasarana pembelajaran penjas merupakan salah satu isu yang cukup merata dan sangat terasa oleh para pelaksana penjas di lapangan. Pada umumnya sekolah-sekolah di Indonesia pada setiap jenjang pendidikannya selalu dihadapkan dengan permasalahan kekurangan sarana dan prasarana ini. Tidak sedikit sekolah di Indonesia, khususnya di daerah perkotaan tidak memiliki tempat atau lahan untuk melakukan aktivitas jasmani, khususnya yang berkaitan dengan olahraga misalnya lapangan. Walaupun ada, jumlahnya tidak proporsional dengan jumlah siswa, seringkali ditambah dengan kualitasnya yang kurang memenuhi tuntutan pembelajaran.
Sarana dan prasarana ini meliputi alat-alat, ruangan, dan lahan untuk melakukan berbagai aktivitas Pendidikan Jasmani, termasuk olahraga. Idealnya sarana dan prasarana ini harus lengkap, tidak hanya yang bersifat standar dengan kualitas yang standar pula, tetapi juga meliputi sarana dan prasarana yang sifatnya modifikasi dari berbagai ukuran dan berat ringannya. Modifikasi ini sangat penting untuk melayani berbagai kebutuhan tingkat perkembangan belajar anak didik di sekolah bersangkutan yang terkadang sangat beragam karakteristik kemampuannya.

6. Isu Keberhasilan Kurikulum Penjas
Keberhasilan kurikulum Pendidikan Jasmani pada setiap jenjang pendidikan sampai saat ini masih dirasakan samar. Ukuran yang digunakan oleh setiap orang dalam menafsirkan keberhasilan program masih bersifat samara dan cenderung bersifat lokal belum menyeluruh sebagaimana tercantum dalam tujuannya. Namun demikian salah satu indikator yang mungkin dapat kita telusuri adalah karakteristik para lulusannya.
Untuk itu kita dapat bercermin pada karakteristik lulusan Pendidikan Jasmani yang dijadikan patokan di beberapa negara maju, misalnya seperti yang dikemukakan oleh NASPE (National Association for Sport and Physical Education, 1992) yang intinya adalah sebagai berikut:
a. Memiliki keterampilan-keterampilan yang penting untuk melakukan bermacam-macam kegiatan fisik.
b. Bugar secara fisik.
c. Berpartisipasi secara teratur dalam aktivitas jasmani.
d. Mengetahui akibat dan manfaat dari keterlibatandalam aktivitas jasmani.
Menghargai aktivitas jasmani dan kontribusinya terhadap gaya hidup yang sehat.